ISLAM AGAMA SYUMUL

FIRMAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA; "Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan, kerana sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian." [TMQ AL-BAQARAH(2):208]

MASA ITU EMAS


KEWAJIBAN MENDIRIKAN PARTI POLITIK ISLAM


KEWAJIBAN MENDIRIKAN PARTI POLITIK ISLAM

(Tafsir QS Ali Imran[3]: 104)


وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan serta melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran [3]: 104).


Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang ditujukan kepada kaum Mukmin. Diawali ayat 102, mereka diperintahkan untuk benar-benar bertakwa kepada Allah Swt. dan menjaga keislaman mereka hingga akhir hayat. Dalam ayat berikutnya, mereka diperintahkan untuk berpegang tegung pada agama-Nya dan bersatu dengan orang-orang yang seakidah dengan mereka. Diingatkan pula, persaudaraan di antara mereka merupakan nikmat Allah Swt.

Setelah mereka diperintahkan menyempur-nakan diri, dalam ayat ini mereka diperintahkan untuk menyempurnakan orang lain dengan jalan membentuk suatu jamaah yang melakukan tugas dakwah. Dalam ayat sesudahnya, mereka dilarang menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih pada perkara agama yang telah jelas.

Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Waltakun minkum ummah (Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat). Khithâb ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin.1 Huruf al-wâwu di awal ayat ini merupakan harf al-'athf yang menghubungkan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Seruan: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû (Hai orang-orang yang beriman) pada ayat 102 menunjukkan, pihak yang diseru ayat ini dan seterusnya adalah kaum Mukmin. Adapun huruf al-lâm pada kata waltakun adalah lâm al-amr yang memberikan makna perintah.

Menurut al-Asfahani, ummah adalah setiap jamaah yang dipersatukan oleh suatu perkara, baik perkara itu berupa agama, zaman, atau tempat yang sama; yang bersifat paksaan atau ikhtiari.2 Az-Zuhaili juga mendefinisikan ummah sebagai jamaah yang diikat oleh suatu ikatan tertentu yang mempersatukan mereka. 3 Para mufassir pun memaknai kata ummah dalam ayat ini sebagai jamaah,4 sedangkan perkara pengikatnya adalah Islam.

Berkaitan dengan huruf min pada kata minkum, terdapat perbedaan pendapat di kalangan mufassir. Menurut sebagian mufassir seperti az-Zujjaj dan al-Baghawi, huruf min memberikan pengertian li al-bayân (sebagai penjelasan). 5 Karena itu, frasa tersebut bermakna, walitakûnû ummat[an] (hendaklah kalian menjadi umat)6 atau wakûnû ummat[an] (jadilah kalian sebagai umat).7 Alasan mereka, aktivitas amar makruf nahi mungkar merupakan fardhu 'ain sebagaimana dinyatakan Rasulullah saw.:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيمَانِ

Siapa saja yang melihat suatu kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tidak mampu, dengan hatinya; dan itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR Muslim dan Ahmad).

Namun, menurut sebagian besar mufassir, seperti al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, an-Nasafi, asy-Syaukani, al-Baidhawi, al-Qinuji, dan az-Zuhaili huruf min tersebut li al-tab'îdh (menunjukkan makna sebagian).8 Di antara alasan mereka, amar makruf nahi mungkar merupakan fardhu kifayah.

Jika diperhatikan susunan kalimat ayat ini, pendapat terakhir lebih sesuai. Sebab, dalam pemaknaannya tidak perlu melakukan takwil. Frasa ayat ini memang: waltakun minkum ummah (hendaklah ada umat di antara kalian), bukan walitakûnû ummah (hendaklah kalian menjadi umat). Artinya, lahiriah ayat ini memerintahkan umat Islam mewujudkan suatu jamaah— firqah (kata az-Zuhaili dan Ibn Katsir), atau thâ'ifah (kata al-Jazairi)—dari kalangan mereka yang secara khusus mendakwahkan al-khayr dan amar makruf nahi mungkar. 9 Secara lebih tegas, al-Jazairi menyatakan wajibnya keberadaan thâ'ifah tersebut.10

Ibnu Katsir dan az-Zuhaili menandaskan, kendati telah ada jamaah yang khusus melakukan aktivitas dakwah, bukan berarti tidak ada lagi kewajiban bagi tiap-tiap individu melakukan aktivitas tersebut. Amar makruf nahi mungkar tetap diwajibkan bagi tiap-tiap individu sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing sebagaimana ditetapkan dalam hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah di atas.11

Setelah diperintahkan untuk mengadakan suatu jamaah dari kalangan kaum Muslim, dijelaskan pula aktivitas yang harus dikerjakan jamaah itu. Allah Swt. berfirman: yad'ûna ilâ al-khayr (yang menyeru kepada al-khayr). Menurut as-Sa'di, kata al-khayr bermakna ad-dîn secara keseluruhan: ushûl, furû', dan syarâ'i'-nya. 12Ath-Thabari juga menafsirkannya dengan Islam beserta seluruh syariah yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya.13 Ringkasnya, al-khayr adalah al-Islâm. Demikian penafsiran Muqatil bin Hayyan,14 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Jazairi, al-Baghawi, as-Samarqandi, dan beberapa mufassir lainnya. 15

Selanjutnya Allah Swt. berfirman: wa ya'murûna bi al-ma'rûf wa yanhawna 'an al-munkar (menyuruh kemakrufan dan mencegah kemungkaran). Al-Ma'rûf adalah segala hal yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah. al-Munkar adalah segala hal yang bertentangan dengan keduanya. 16

Sebenarnya, kata al-khayr mencakup seluruh taklif, baik perbuatan yang harus dikerjakan maupun yang harus ditinggalkan, termasuk di dalamnya amar makruf nahi mungkar. Namun demikian, aktivitas itu disebutkan secara khusus untuk menunjukkan kemuliaan dan keistimewaannya. Dalam bahasa Arab, susunan seperti itu dikenal dengan athf al-khâshsh 'alâ al-âmm (menambahkan yang khusus pada yang umum).17 Biasanya digunakan untuk mengungkapkan kelebihan, keutamaan, atau keistimewaan perkara yang disebutkan secara khusus itu.

Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: wa ulâ'ika hum al-muflihûn (merekalah orang-orang yang beruntung). Kata ulâ'ika merujuk kepada orang-orang yang tergabung dalam jamaah yang mendakwahkan Islam serta melakukan amar makruf nahi mungkar itu. Mereka dinyatakan sebagai orang-orang yang berhak mendapatkan al-falâh (kemenangan dan keberuntungan). Ungkapan ini memberikan dorongan kepada kaum Muslim agar ikut bergabung dalam jamaah tersebut.

Kewajiban Membentuk Parpol Islam

Ayat ini menjadi dalil bagi kewajiban untuk membentuk organisasi politik atau partai politik Islam. 18 Hal ini dapat disimpulkan dari alur pemikiran berikut.

Pertama : perkara yang diperintahkan ayat ini. Sebagaimana telah terpapar, ayat ini memerintahkan umat Islam untuk membentuk suatu kelompok atau jamaah dari kalangan mereka yang mengerjakan dua aktivitas: mendakwahkan Islam dan melakukan amar-makruf nahi mungkar.

Dalam tataran ini, umat yang diperintahkan itu bisa berbentuk kelompok, organisasi, atau partai. Semua itu termasuk dalam cakupan kata ummah. Hanya saja, kelompok, organisasi, atau partai itu harus memiliki sifat layaknya sebuah jamaah sebagaimana ditetapkan ayat ini dan nash-nash lain.

Sebagai sebuah ummah maka kelompok, organisasi, atau partai harus memiliki perkara yang dijadikan sebagai pengikat di antara anggota-anggotanya. Mengingat jamaah yang diperintahkan itu harus mengemban tugas dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar, maka perkara yang menjadi pengikat kelompok, organisasi, atau partai itu harus berdasarkan Islam. Konsekuensinya, ide-ide, hukum-hukum, dan pemecahan masalah yang diadopsi oleh kelompok, organisasi, atau partai tersebut harus bersumber dari Islam. Tidak boleh ada kelompok, organisasi, atau partai yang berlandaskan paham dan ideologi selain Islam. Bahkan umat Islam haram mendirikannya, bergabung dengannya, dan berjuang bersamanya. Alasannya, karena kelompok, organisasi, atau partai yang tidak didasarkan pada paham atau ideologi Islam—seperti Sosialisme, Kapitalisme, patriotisme, sektarianisme, dan sebagainya—niscaya akan menyerukan dan memperjuangkan paham atau ideologi yang mungkar itu. Ini justru bertentangan dengan apa yang dituntut ayat ini, yakni menyerukan amar makruf nahi mungkar. Tindakan ini juga dilarang keras (lihat QS Ali Imran [3]: 85).

Kedua : aktivitas yang dikerjakan oleh jamaah tersebut. Secara jelas, ayat ini menyebutkan dua aktivitas yang wajib dijalankan jamaah tersebut, yakni mendakwahkan al-khayr atau Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar.

Aktivitas pertama, yakni mendakwahkan Islam masih bisa dilakukan oleh semua jenis jamaah, baik yang berbentuk kelompok, organisasi, atau partai yang bersifat politik maupun tidak. Namun, tidak demikian dengan aktivitas kedua: amar makruf nahi mungkar. Aktivitas ini hanya bisa dijalankan secara sempurna oleh jamah yang bersifat politik, baik organisasi politik ataupun partai politik. Pasalnya, aktivitas amar makruf nahi mungkar juga wajib ditujukan kepada penguasa.

Tiga kata kerja pada ayat ini, yakni yad'ûna, ya'murûna, dan yanhawna tidak disebutkan maf'ûl (obyek)-nya. Menurut al-Alusi, itu disebabkan karena obyeknya telah diketahui, yakni manusia. Artinya, dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar harus ditujukan seluruh manusia, sekalipun mereka bukan termasuk mukallaf.19 Sudah barang tentu, penguasa termasuk dalamnya.

Di samping itu, kata al-ma'rûf dan kata al-munkar dalam ayat ini bersifat umum; di dalamnya termasuk kemakrufan dan kemungkaran yang dilakukan penguasa. Karena itu, amar makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada penguasa juga harus dilakukan. Bahkan ini termasuk amal yang paling utama. Abu Said al-Khudri menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

Jihad yang paling utama adalah ucapan yang adil di hadapan penguasa yang fasik atau amir yang fasik. (HR Ahmad, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah).

Demikian mulianya amal tersebut hingga pelakunya dimasukkan ke dalam sayyid al-syuhadâ' (pemimpin para syuhada) jika ia gugur tatkala melakukannya. Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Jabir ra.:

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامً جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ وَقَتَلَهُ

Pemimpin para syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di depan penguasa lalim, lalu ia melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap pengua itu, lalu penguasa itu membunuhnya. (HR al-Hakim).

Aktivitas amar makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada penguasa itu jelas merupakan aktivitas siyâsah (politik), yakni ri'âyah syu'ûn al-ummah (pengaturan dan pemeliharaan urusan umat). Tugas ri'âyah ini secara praktis dilakukan oleh penguasa. Rasulullah saw. bersabda:

وَاْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ

Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya. (HR Muslim).

Karena tugas ri'âyah terhadap urusan umat yang dilakukan penguasa disebut merupakan aktivitas politik, demikian pula dengan aktivitas amar makruf nahi mungkar terhadap para penguasa agar mereka menjalankan ri'âyah secara benar.

Bertolak dari kenyataan ini, jamaah yang memenuhi kriteria ayat ini hanyalah organisasi politik Islam atau partai politik Islam. Sebab, jika bukan organisasi politik Islam atau partai politik Islam maka ada bagian dari amar makruf nahi mungkar yang tidak dijalankan, yakni amar makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada penguasa. Apabila itu terjadi, berarti jamaah itu tidak memenuhi secara total kriteria ummah yang diwajibkan ayat ini.

Patut ditegaskan, keberadaan organisasi politik atau partai politik fardhu kifayah. Karena fardhu kifayah, apabila sudah ada organisasi politik atau partai politik yang memenuhi kriteria ayat ini, kewajiban umat Islam telah gugur. Meskipun demikian, mereka tidak dilarang untuk mendirikan organisasi politik atau partai politik lagi. Dalam ayat ini dinyatakan: ummat[un], dan bukan ummat[un] wâhidah. Kata ummat[un] merupakan ism al-jins yang berbentuk nakirah (umum) ini tidak memberikan batasan jumlah.

Wallâh a'lam bi ash-shawâb . d

Catatan Kaki:

1 Ath-Thabari, Jâmi' al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur'ân, III/385(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992); al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur'ân al-Majîd, 1/474 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); Mahmud Hijazi, At-Tafsîr al-Wâdhih, 1/262. (Zaqaziq: Dar al-Tafsir, 1992).

2 Ar-Raghib al-Asfahani, Mu'jam Mufradât Alfâzh al-Qur'ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 19

3 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, III/32 (Berut: Dar al-Fikr, 1991).

4 Al-Alusi, h al-Ma'ânî, II/237(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); as-Samarqandi, Bahr al-'Ulûm, 1/289 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992); al-Biqai, Nazhm ad-Durar, II/132 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); Ali al-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, I/201 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996).

5 Ibnu 'Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, 1/485 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); al-Baghawi, al-Ma'âlim at-Tanzîl, 1/263 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).

6 Sa'id Hawa, Al-Asâs fî Tafsîr, II/849 (Kairo: Dar al-Salam, 1999).

7 Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl li 'Ulûm at-Tanzîl, 1/155 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995).

8 Al-Qurthubi, Al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, IV/106 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, II/23 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 1/288 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta'wîl, 1/94 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/465 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta'wîl, 1/173 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988); al-Qinuji, Fath al-Bayân, II/204 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989); Ibnu 'Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, 1/485 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, II/32; Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl, 1/155.

9 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, 1/477 (Riyadh: Dar 'Alam al-Kutub, 1997); az-Zuhaili, Ibid., 33; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, 1/357-358 (tt: Nahr al-Khair, 1993).

10 Al-Jazairi, Ibid., 357-358.

11 Ibnu Katsir, Op.cit.; az-Zuhaili, Op. cit., 33;

12 Abd ar-Rahman as-Sa'di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 1/288 (Beirut: Alam al-Kutub, 1993).

13 Ath-Thabari, Op.cit. III/385.

14 Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur'ân, 1/474-475 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, II/110 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990).

15 Abu Hayyan al-Andalusi, Op.cit., II/23; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, 1/357; al-Baghawi, Op.cit., 1/263; al-Samarqandi, Op.cit., 1/289;

16 An-Nasafi, Op.cit., 1/94.

17 Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2 (Qathr: Idarât Ihyâ' al-Turats al-Islâmiyy, 1989),205; asy-Syaukani, Op.cit., 1/465; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta'wîl, 1/374 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).

18 Kesimpulan ini beserta penjelasannya disarikan dari kitab Muqaddimah ad-Dustûr (tt: Hizbut Tahrir, 1963), 98-108; Abdul Qadim Zallum, Ta'rîf Hizb al-Tahrîr

19 Al-Alusi, Op.cit., II/238.

0 comments:

Post a Comment



 

MENGENAL HIZBUT TAHRIR