ISLAM AGAMA SYUMUL

FIRMAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA; "Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan, kerana sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian." [TMQ AL-BAQARAH(2):208]

MASA ITU EMAS


UUD NEGARA KHILAFAH (PASAL 2)


Muqaddimah ad Dustur (UUD Negara Khilafah) Pasal 2 : Pengertian Negara Islam dan Negara Kafir

Pengantar

Telaah kitab kali ini membahas pasal kedua Masyrû’ Dustûr li ad-Dawlah al-Islâmiyyah yang berbunyi: Negara Islam adalah negara yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum Islam dan keamanan negara tersebut berada di bawah keamanan Islam. Negara kafir adalah negara yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum kufur dan keamanan negara tersebut berada di bawah keamanan bukan Islam.

Pasal di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa sebuah negara barulah absah disebut Negara Islam (Darul Islam) ketika telah memenuhi dua syarat: (1) hukum yang diterapkan di negara tersebut adalah hukum Islam; (2) kekuasaan (pemerintahan) di negara tersebut dikendalikan dan dipimpin sepenuhnya oleh kaum Muslim. Dengan demikian, pengkategorian Negara Islam atau negara kafir tidak didasarkan pada seberapa banyak jumlah penduduk Muslim atau kafir yang ada di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh hukum yang diterapkan dan kekuasaan yang mengendalikan negara tersebut. Kategorisasi inilah yang dipilih dan dianggap paling râjih (kuat) oleh Hizbut Tahrir, setelah sebelumnya dilakukan pengkajian yang jernih dan mendalam terhadap realitas Negara Islam dan negara kafir pada masa Nabi saw. dan Khulafaur Rasyidin, juga setelah dilakukan penelitian dan tarjîh terhadap pendapat para ulama.

Dasar Argumentasi Pasal Kedua

Pertama: realitas negeri Makkah dan Madinah pasca hijrah. Sebelum hijrah ke Madinah, Makkah dan seluruh dunia adalah darul kufur. Setelah Nabi Muhammad saw. dan para Sahabatnya hijrah ke Madinah dan menegakkan Daulah Islamiyah di sana, maka terwujudlah Darul Islam pertama kali dalam sejarah kaum Muslim. Adapun Makkah dan negeri-negeri di sekitarnya tetap berstatus darul kufur.

Berdasarkan kedua realitas yang bertentangan inilah kita bisa memahami syarat dan sifat Darul Islam dan darul kufur. Di Makkah saat itu, hukum-hukum Islam tidak diterapkan dalam konteks negara dan masyarakat, meskipun di sana telah tampak sebagian syiar agama Islam, yakni shalat yang dikerjakan oleh kaum Muslim yang masih tinggal di Malkah; itu pun harus seijin orang-orang kafir sebagai penguasa Makkah. Di sisi lain, kaum Muslim yang ada di Makkah tidak mampu menjamin keamanannya secara mandiri; mereka hidup di bawah jaminan keamanan kaum kafir. Realitas ini menunjukkan kepada kita, bahwa di Makkah tidak ditampakkan hukum-hukum Islam dan jaminan keamanan atas penduduknya berada di tangan orang kafir. Karena itulah, Makkah disebut dengan darul kufur. Ini berbeda dengan Madinah. Di Madinah, hukum-hukum Islam diterapkan dan ditampakkan secara jelas, dan jaminan keamanan dalam dan luar negeri berada di bawah tangan kaum Muslim.

Kedua: bukti lain yang mendukung pasal di atas adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah, yang di dalamnya dituturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

أُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ ما لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِريْنَ

Serulah mereka pada Islam. Jika mereka menyambutnya, terimalah mereka, dan hentikanlah peperangan atas mereka, kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (darul kufur) ke Darul Muhajirin (Darul Islam, yang berpusat di Madinah), dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka telah melakukan semua itu maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum Muhajirin (HR Muslim).

Darul Muhajirin pada riwayat di atas adalah sebutan untuk Darul Islam pada masa Rasulullah saw. Manthûq hadis di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan para Sahabat untuk memerangi negeri-negeri yang tidak berada dalam kekuasaan kaum Muslim meskipun di negeri tersebut telah tampak sebagian syiar Islam. Adanya azan di wilayah tersebut menunjukkan dengan jelas adanya syiar agama Islam. Hanya saja, Nabi saw. dan para Sahabat tetap memerangi wilayah tersebut karena kekuasaan negeri tersebut tidak berada di bawah kendali penguasa Islam.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Darul Islam adalah negara yang di dalamnya diterapkan hukum Islam, sementara jaminan keamanannya ditanggung dan dikendalikan sepenuhnya oleh kaum Muslim; tanpa memperhatikan lagi komposisi penduduk Muslim dan kafirnya.
 
Pendapat Ulama Mengenai Negara Islam dan Negara Kafir

Dr. Muhammad Khair Haekal menyatakan bahwa sesungguhnya frasa dâr al-Islâm adalah istilah syar’i yang dipakai untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Frase dâr al-kufr juga merupakan istilah syar’i yang digunakan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang berlawanan dengan Darul Islam. Begitu pula istilah dâr al-kufr, dâr as-Syirk dan dâr al-harb; semuanya adalah istilah syar’i yang maknanya sama1 untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang faktanya berbeda dengan fakta pertama (Darul Islam).

Istilah dâr al-Islâm dan dâr al-kufr telah dituturkan di dalam Sunnah dan atsar para Sahabat. Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dari Nabi saw. bahwa beliau pernah bersabda, “Semua hal yang ada di dalam Darul Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam dâr asy-syirk telah dihalalkan.”2

Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Darul Islam, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Darul Islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar’i. Sebaliknya, penduduk darul kufur, maka harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar’i yang mewajibkan kaum Muslim melindungi harta dan darahnya.3

Di dalam kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf dituturkan, bahwa ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hijrah. Di dalam surat itu tertulis:

Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah), yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Mal kaum Muslim, selama mereka masih bermukim di Darul Hijrah dan Darul Islam. Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Darul Hijrah maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk mencukupi nafkah mereka.4

Ibnu Hazm mengatakan, “Semua tempat selain negeri Rasulullah saw. adalah tempat yang boleh diperangi; disebut dâr al-harb, serta tempat untuk berjihad.”5

Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa frasa dâr al-Islâm adalah istilah syar’i yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Darul Islam dan darul al-kufur.

Para fukaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka. Dengan penjelasan para fukaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut negara Islam. Imam al-Kasai, di dalam kitab Badâi’ ash-Shanai’, mengatakan:

Tidak ada perbedaan di kalangan fukaha kami, bahwa darul kufur (negeri kufur) bisa berubah menjadi Darul Islam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana. Mereka berbeda pendapat mengenai Darul al-Islam, kapan ia bisa berubah menjadi darul al-kufur? Abu Hanifah berpendapat, Darul; al-Islam tidak akan berubah menjadi darul al-kufur kecuali jika telah memenuhi tiga syarat. Pertama: telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufur di dalamnya. Kedua: meminta perlindungan kepada darul kufur. Ketiga: kaum Muslim dan dzimmi tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanaan yang mereka dapat pertama kali, yakni jaminan keamanan dari kaum Muslim.

Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, “Darul al-Islam berubah menjadi darul kufur jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur.6

Di dalam hâsyiyah (catatan pinggir) Ibnu ‘Abidin atas kitab Ad-Durr al-Mukhtâr Syarh Tanwîr al-Abshâr disebutkan:

Darul Islam tidak akan berubah menjadi dâr al-harb….(karena) misalnya, orang kafir berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak menjadikan Darul Islam berubah menjadi dar al-harb jika telah memenuhi tiga syarat. Adapun Abu Yusuf dan Mohammad berpendapat, cukup dengan satu syarat saja, yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas.7

Syaikh Muhammad Abu Zahrah berkomentar:

Barangkali buah perbedaan di antara dua pendapat tersebut tampak jelas pada masa kita sekarang ini. Karena itu, jika pendapat Abu Hanifah itu diterapkan maka negeri-negeri mulai dari wilayah barat hingga daerah Turkistan dan Pakistan terkategori Darul Islam. Sebab, walaupun penduduknya tidak menerapkan hukum-hukum Islam, mereka hidup dalam perlindungan kaum Muslim. Karena itu, negeri-negeri ini termasuk Darul Islam. Jika pendapat Abu Yusuf dan Muhammad serta para fukaha yang sejalan dengan keduanya diterapkan maka negeri-negeri Islam sekarang ini tidak terhitung sebagai Darul Islam, tetapi dâr al-harb. Sebab, di negeri-negeri itu tidak tampak dan tidak diterapkan hukum-hukum Islam.8

Di dalam kamus fikihnya, Syaikh Sa’di Abu Habib menjelaskan tentang Darul Islam dan dâr al-harb sebagai berikut:

Menurut pengikut mazhab Syafii, dâr al-harb adalah negeri-negeri kaum kafir (bilâd al-kuffâr) yang tidak memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim. Adapun Darul Islam menurut pengikut mazhab Syafii adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Baghdad dan Bashrah; atau penduduknya masuk Islam, seperti Madinah atau Yaman; atau negeri yang ditaklukkan dengan perang, semacam Khaibar, Mesir dan wilayah kota Irak; atau ditaklukkan secara damai; atau wilayah yang kita miliki dan orang kafir yang hidup di dalamnya membayar jizyah.

Adapun menurut pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, “Darul Islam adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Bashrah, atau negeri yang ditaklukkan oleh kaum Muslim, seperti kota Yaman.”9

Abdul-Qadir Audah menyatakan:

Darul Islam adalah negeri yang tampak jelas di dalamnya penerapan hukum-hukum Islam, atau penduduknya yang Muslim mampu menampakkan hukum-hukum Islam di negeri itu.  

Termasuk Darul Islam setiap negeri yang seluruh penduduknya beragama Islam, atau mayoritasnya beragama Islam. Juga termasuk Darul Islam setiap negeri yang dikuasai dan diperintah oleh kaum Muslim, walaupun mayoritas penduduknya bukan kaum Muslim. Termasuk Darul Islam juga setiap negeri yang dikuasai dan diperintah oleh non-Muslim, namun penduduknya yang Muslim masih tetap bisa menampakkan hukum-hukum Islam, atau tidak ada satu pun halangan yang merintangi mereka untuk menampakkan hukum-hukum Islam.10

Di dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah karya Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khalaf dituturkan, “Darul-Islam adalah negeri yang diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Islam dan keamanan negeri itu dibawah keamanan kaum Muslim, sama saja, apakah penduduknya Muslim atau dzimmi. Adapun dâr al-harb adalah negeri yang tidak diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Islam dan keamanan negeri itu tidak dijamin oleh kaum Muslim.11

Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani merinci apa yang dijelaskan di dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah karya Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khalaf sebagai berikut:

Penetapan suatu negeri termasuk Darul Islam atau darul al-kufur harus memperhatikan dua perkara. Pertama: hukum yang diberlakukan di negeri itu adalah hukum Islam. Kedua: keamanan di negeri itu harus dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya. Jika suatu negeri memenuhi dua perkara ini maka ia disebut Darul Islam dan negeri itu telah berubah dari darul kufur menuju Darul Islam. Akan tetapi, jika salah satu unsur itu lenyap maka negeri itu menjadi darul kufur. Negeri Islam yang tidak menerapkan hukum-hukum Islam adalah darul kufur. Begitu pula sebaliknya, jika negeri Islam menerapkan hukum-hukum Islam, namun keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya, namun dijamin oleh kaum kafir, maka negeri itu termasuk darul kufur. Oleh karena itu, seluruh negeri kaum Muslim sekarang ini termasuk darul al-kufur. Alasannya, negeri-negeri itu tidak menerapkan hukum Islam. Suatu negeri juga tetap disebut darul kufur seandainya di dalamnya kaum kafir menerapkan hukum-hukum Islam atas kaum Muslim, namun kekuasaannya dipegang oleh kaum kafir. Dalam keadaan semacam ini, keamanan negeri itu di bawah keamanan kafir, dan secara otomatis ia termasuk darul kufur.12

Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, dari pendapat-pendapat di atas, pendapat yang paling râjih adalah pendapat yang menyatakan, bahwa Darul Islam adalah negeri yang sistem pemerintahannya adalah sistem pemerintahan Islam (diatur dengan hukum Islam) dan pada saat yang sama, keamanan negeri tersebut, baik keamanan dalam dan luar negeri, berada di bawah kendali kaum Muslim.13

Wallâhu a’lam. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

Catatan kaki:

1 Lihat: Dr. Muhammad Khair Haekal, Al-Jihâd wa al-Qitâl, 1/660. Lihat pula: Imam asy-Syafii, Al-Umm, IV/270-271.

2 Imam al-Mawardi, Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 60.

3 Dr. Mohammad Khair Haekal, Op. Cit., 1/661.

4 Abu Yusuf, Al-Kharâj, hlm. 155-156.

5 Imam Ibnu Hazm, Al-Muhalla, VII/305 [969]

6 Al-Kasai, Badâi’ al-Shanâi’, VII/130.

7 Hâsyiyyah Ibnu ‘Abidîn, III/390.

8 Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarîmah wa al-’Uqûbah fî Fiqh al-Islâmi, hlm. 343.

9 Sa’di Abu Habib, Al-Qâmûus al-Fiqhi, hlm. 470-471.

10 Abdul-Qadir Audah, At-Tasyrî’ al-Jana’i al-Islâmi, 1/ 421.

11 Syaikh ‘Abdul-Wahhab Khalaf, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, hlm. 69.

12 Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/215-216.

13 Dr. Muhammad Khair Haekal, Op. Cit., 1/669.

0 comments:

Post a Comment



 

MENGENAL HIZBUT TAHRIR