ISLAM AGAMA SYUMUL

FIRMAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA; "Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan, kerana sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian." [TMQ AL-BAQARAH(2):208]

MASA ITU EMAS


KERAJAANKAH PEMERINTAHAN PASCA KHULAFAUR RASYIDIN?


Soal:

Ada sebagian orang menuduh Muawiyah telah mengubah sistem Khilafah menjadi kerajaan (monarki). Bagaimana sebenarnya kita mendudukkan masalah ini?

Jawab:

Sebagian orang berkesimpulan seperti itu karena ada isyarat yang dinyatakan dalam hadis riwayat Ahmad:

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ e وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ e فِي الأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ e تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ.

An-Nu’man bin Basyir berkata: Kami pernah duduk-duduk di dalam masjid bersama Rasulullah saw., kemudian Basyir menahan pembacaan hadisnya. Lalu datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyani dan berkata, “Wahai Basyir bin Sa’d, apakah kamu hapal hadis Rasulullah saw. berkenaan dengan Umara’. (para pemimpin)?” Kemudian Hudzaifah berkata, “Aku hapal khutbah beliau.” Abu Tsa’labah pun duduk, kemudian Hudzaifah berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Akan berlangsung nubuwwah (kenabian) di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya (berakhir) bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya.  Kemudian berlangsung Kekhilafahan menurut sistem Kenabian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung kerajaan yang bengis selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya.  Kemudian berlangsung pemerintahan yang menindas (diktator) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian akan berelangsung kembali Kekahalifahan menurut sistem Kenabian.  Kemudian beliau berhenti.’”

Dari pernyataan Nabi saw. yang menyatakan akan adanya mulkan ‘addhan (kerajaan yang bengis), mereka berkesimpulan, bahwa periode ini berlangsung sejak Muawiyah berkuasa. Hadis ini pula yang dijadikan sebagai justifikasi, bahwa Muawiyahlah yang mengubah sistem Khilafah menjadi sistem kerajaan (monarchi). Pertanyaannya, apakah memang benar demikian?

Tentu tidak demikian. Sebab, apa yang dinyatakan dalam hadis-hadis tersebut sebenarnya tidak bertentangan dengan status Khilafah tetap sebagai sistem pemerintahan hingga akhir Kekhilafahan Utsmani. Muawiyah sendiri dibaiat untuk menduduki jabatan khalifah sebagaimana khalifah yang lain. Meski tetap tidak bisa dipungkiri, bahwa peristiwa Perang Shiffin, hingga naiknya Muawiyyah adalah fase abnormal, karena status pemerintahannya merupakan hukm at-tasalluth (pemerintah yang diperoleh melalui kudeta). Dari segi fakta, bahwa ini merupakan kesalahan, jelas. Karenanya, pada fase ini, status pemerintahannya tidak sah, memang benar.

Namun, setelah peristiwa ‘Am al-Jama’ah (Tahun Rekonsiliasi), yaitu ketika Sayidina Hasan bin Ali ra.  menyatakan mundur dari jabatannya sebagai khalifah pada 25 Rabiul Awwal 41 H, atau 6 bulan setelah wafatnya Imam Ali kw., maka status hukumnya berbeda. Peristiwa ‘Am al-Jama’ah adalah peristiwa saat Sayidina Hasan menyerahkan kekuasaan (Khilafah) kepada Muawiyah. Dengan begitu terjadilah rekonsialisasi (ishlah) dan kekuasaan Muawiyah yang asalnya tidak sah pun akhirnya menjadi sah. Setelah peristiwa itu, Muawiyah secara resmi menjadi khalifah kaum Muslim yang kelima, yang dibaiat dengan baiat yang sah, yaitu bi ar-ridha wa al-ikhtiyar (dengan sukarela).

Karena itu, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyimpulkan, bahwa Muawiyah adalah khalifah yang dibaiat sebagaimana pembaiatan Abu Bakar as-Shiddiq. Demikian juga penunjukkan yang dilakukan oleh Muawiyah kepada anaknya, Yazid, menurut beliau, sebenarnya sama dengan penunjukan yang dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar. Meski tidak sama persis, keduanya sama-sama melakukan penunjukan. Hal yang sama kemudian dilakukan oleh para khalifah setelahnya, yaitu melakukan penunjukan putra mahkota, kemudian setelahnya dibaiat.

Bedanya, mekanisme dan tatacara penunjukan dan baiatnya tidak tepat. Abu Bakar menunjuk Umar bukan karena faktor kekerabatan, tetapi karena, dalam pandangan Khalifah Abu Bakar, beliaulah orang yang paling layak dan tepat untuk memimpin kaum Muslim. Setelah itu, beliau pun menyampaikan pandangan beliau kepada kaum Muslim. Baru kemudian beliau ditunjuk setelah mayoritas kaum Muslim setuju dengan pandangan beliau. Dengan begitu, status penunjukan beliau kepada Umar ini sama dengan praktik pencalonan dan pemilihan. Setelah itu, mereka pun dibiarkan memilih dan membaiat Umar dengan sukarela, tidak ada paksaan dari siapapun.

Namun, Muawiyah menunjuk anaknya, Yazid, sebagai putra mahkota, sedangkan para khalifah setelahnya menunjuk kerabatnya sebagai putra mahkota. Pada saat yang sama, Yazid pun mengambil baiat dari kaum Muslim bukan dengan sukarela, melainkan dengan kekuatan senjata dan paksaan, sehingga disebut oleh ahli sejarah dengan bai’at bi as-sayf wa al-mal (baiat yang diambil dengan pedang dan uang). Tidak sedikit Khalifah setelahnya mengambil baiat untuk diri mereka sendiri dengan kekuatan kekuasaan yang dimilikinya.

Karena itu, jika pertanyaannya, apakah sistem ini masih layak disebut sistem Khilafah? Jawabanya, tetap layak, karena tidak ada yang berubah dalam sistem tersebut. Kesalahan-kesalahan dalam praktik penunjukan dan baiat tersebut tidak bisa mengubah status sistem Khilafah menjadi sistem kerajaan atau yang lain. Juga harus dipahami, bahwa kesalahan-kesalahan seperti ini juga lazim terjadi dalam praktik sistem apapun, tetapi tetap tidak mengubah status sistem itu. Sebab, di sana ada faktor manusia;  pelaksana sistem tersebut adalah manusia, bukan malaikat. Karena itu, negara Khilafah adalah negara manusia (dawlah basyariyyah), bukan dawlah uluhiyyah (negara teokrasi), yakni para penguasanya adalah manusia, bukan malaikat, bukan wakil tuhan atau dalam bahasa kekaisaran disebut titisan dewa. Dengan demikian, sistem pemerintahan dalam sepanjang sejarah Islam tetap merupakan sistem Khilafah. Itulah fakta hukum dan sejarah yang harus dipahami oleh kaum Muslim.[1]

Adapun apa yang dituduhkan oleh kaum kafir penjajah yang bekerjasama dengan para orientalis, bahwa sistem Khilafah itu telah berakhir pada zaman Sayidina Ali, itu menunjukkan ketidakpahaman mereka tentang fakta sistem pemerintahan Islam yang sesungguhnya. Celakanya, ada orang yang diklaim sebagai intelektual Muslim berpandangan dangkal seperti mereka. 
Catatan kaki:


 
[1] Pandangan ini tertuang dalam nasyrah yang dikeluarkan oleh Hizbut  Tahrir  pada  awal dekade  tujuh puluhan, ketika al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani masih menjadi Amir Hizb, sebelum beliau wafat pada tahun 1977 M. 
 
source : Hizbut Tahrir Indonesia

HUKUM ARAH QIBLAT


Tanya :

Ustadz, benarkah arah kiblat telah bergeser? Sahkah shalat kita sementara kita belum tahu pergeseran arah kiblat itu? (Sukiyono, Pekanbaru)

Jawab :

Memang terjadi pergeseran arah kiblat akibat pergeseran lempeng bumi, tapi itu kecil sekali sehingga dapat diabaikan. Pergeseran arah kiblat hingga 30 cm ke arah kanan seperti diberitakan, menurut pakar astronomi ITB Dr Moedji Raharto, hanya mengubah arah kiblat kurang dari sepersejuta derajat saja. Jadi tidak mengubah arah kiblat masjid atau arah kiblat kita saat shalat di luar masjid.

Namun harus diakui banyak masjid yang arah kiblatnya kurang tepat. Bukan karena pergeseran arah kiblat, melainkan karena penentuan arah kiblat sebelum pembangunannya memang tidak akurat, atau sekedar mengikuti arah kiblat masjid terdekat yang ternyata kurang akurat.

Para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat (istiqbal al-qiblah) wajib hukumnya bagi orang yang shalat. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1/667; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 51; Muhammad al-Mas’udi, Al-Ka’bah al-Musyarrafah Adabuha wa Ahkamuha, hal. 41). Imam Ibnu Hazm berkata,”Para ulama sepakat menghadap kiblat wajib bagi yang melihat ka’bah atau yang mengetahui petunjuk-petunjuk arah kiblat, selama ia bukan orang yang berperang (muharib) atau orang yang sedang ketakutan (kha`if) [karena perang].” (Maratibul Ijma’, hal. 11).

Kewajiban menghadap kiblat dalilnya firman Allah (artinya),”Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS Al-Baqarah : 144). Dalil as-Sunnah sabda Nabi SAW,”Jika kamu berdiri hendak shalat, sempurnakanlah wudhu lalu menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah.” (HR Bukhari). Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,”Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya meninggalkan arah kiblat pada shalat wajib. Ini merupakan ijma’ tapi ada rukhsah dalam kondisi ketakutan yang sangat [karena perang].” (Fathul Bari, 1/501).

Bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, arah kiblatnya adalah bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah) itu sendiri. Dalilnya firman Allah SWT (artinya) : “Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS al-Baqarah : 149). Imam Qurthubi berkata,”Ayat ini berlaku untuk orang yang melihat Ka’bah.” (Tafsir al-Qurthubi, 2/160). Imam Syafi’i berkata,“Orang Makkah yang dapat melihat Ka’bah, harus tepat menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainul bait).” (Al-Umm, 1/114).

Sedang bagi orang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah), yang wajib adalah menghadap ke arah Ka’bah (jihatul ka’bah), tidak harus tepat/eksak ke arah bangunan Ka’bah. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i (dalam salah satu riwayat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 366).

Dalilnya sabda Nabi SAW,”Apa yang ada di antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi). Imam Shan’ani menjelaskan,”Hadis ini menunjukkan yang wajib adalah menghadap arah Ka’bah (jihatul ka’bah), bukan menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah), yakni bagi orang yang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah.” (Subulus Salam, 1/134).

Dengan demikian, bagi penduduk Indonesia yang berada di sebelah timur Masjidil Haram, pada dasarnya cukup menghadap arah Ka’bah (jihat ka’bah), yaitu ke arah Barat. Menurut kami ini sudah cukup dan sudah sah shalatnya. Kalaupun melenceng beberapa derajat, menurut kami itu dapat dimaafkan, selama masih mengarah ke Barat. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syai’a u’thiya hukmuhu (Apa yang mendekati sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M. Said al-Burnu, Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, 9/252). Wallahu a’lam.  (KH Siddiq Al Jawie)

source : Hizbut Tahrir Indonesia
 

KOLEKSI SOAL-JAWAB


Soal Jawab Tentang Mahar dan Lain-lain

بسم الله الرحمن الرحيم

Soal Jawab :

  1. Mahar di an-Nizhâm al-Ijtimâ’î
  2. Hukuman Disetrika Dengan Api di Muqaddimah ad-Dustûr
  3. Kata Masy’aril Haram di Mafâhîm Hizb at-Tahrîr
  4. Kasus Warisan Salim di Ajhizah Dawlah al-Khilâfah


Pertanyaan pertama:

Di dalam kitab an-Nizhâm al-Ijtimâ’î halaman 121 disebutkan syarat-syara in’iqad perkawainan yang jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka akad perkawinan itu batil. Dan di halaman 122 disebutkan syarat-syarat sah perkawinan yang jika tidak terpenuhi maka akad pernikahan itu fasad. Tetapi saya tidak menemukan di kedua halaman itu disebutkan “mahar”. Jika mahar itu bukan merupakan syarat in’iqad maupun syarat sah, artinya akad perkawinan itu sah tanpa mahar. Jika demikian apa posisi mahar dari sebuah akad perkawinan?

Jawab:

Terkait mahar, betul mahar bukan syarat in’iqad maupun syarat sah. Artinya akad perkawinan jika memenuhi syarat-syarat in’iqad dan syarat-syarat sahnya maka akad tersebut sah meski tidak disebutkan mahar. Hanya saja hukum syara’ itu ada dua jenis:

Hukum-hukum wadh’i, diantaranya adalah syarat dan sebab… Dan hukum-hukum taklifi diantaranya adalah haram, wajib… Dan hukum-hukum permasalahan syar’iyah tidak keluar dari kedua jenis tersebut. Kadang hukumnya masuk dalam cakupan hukum taklif sehingga hukumnya wajib, mandhub, mubah, makruh atau haram. Dan kadang hukumnya masuk dalam bagian hukum-hukum wadh’i sehingga berupa sah, batil, fasid, syarat, sebab, mâni’… Begitulah.

Dengan mengkaji masalah mahar jelas bahwa mahar itu masuk dalam hukum taklif. Mahar itu adalah fardhu yang wajib atas suami kepada isteri. Jika disebutkan maka mahar itu seperti yang disebutkan. Jika tidak disebutkan maka wajib berupa mahar mitsli.

Adapun kenapa wajib, hal itu sesuai hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari jalur Sahal bin Sa’ad:

An-Nasai mengeluarkan hadits semisal itu di Sunan al-Kubrâ dan di dalam riwayatnya dinyatakan:

Rasul saw telah meminta laki-laki yang ingin dinikahkan oleh Rasul dengan salah seorang wanita itu untuk membayar mahar meski berupa cincin besi. Ketika laki-laki itu tidak mampu karena hanya memiliki sepotong izar (kain bawahan) maka ia menawarkan untuk merobek izarnya menjadi dua bagian dan ia berikan separonya sebagai mahar untuk isteri. Ketika izar itu tidak cukup untuk menutupi aurat suami dan isteri, Rasul saw memintanya untuk mengajari isterinya al-Quran yang dia hafal. Upah mengajarkan al-Quran itu menjadi mahar isterinya. Semua itu menjadi indikasi jazim (tegas) atas wajibnya mahar.

Sedangkan bahwa bagi wanita, mahar semisalnya (mahar mitsli) jika mahar itu belum disebutkan, hal itu berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh imam at-Tirmidzi dari jalur Abdullah bin Mas’ud dan at-Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih:

« أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَلَمْ يَفْرِضْ لَهَا صَدَاقًا وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتَّى مَاتَ فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نِسَائِهَا لَا وَكْسَ وَلَا شَطَطَ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَلَهَا الْمِيرَاثُ فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الْأَشْجَعِيُّ فَقَالَ قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بِرْوَعَ بِنْتِ وَاشِقٍ امْرَأَةٍ مِنَّا مِثْلَ الَّذِي قَضَيْتَ فَفَرِحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ»

Dia (Ibn Mas’ud) ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita dan belum menetapkan mahar wanita itu dan ia tidak menggauli isterinya hingga ia meninggal. Ibn Mas’ud berkata: bagi wanita itu semisal mahar isterinya tidak lebih dan tidak kurang. Wanita itu harus menjalani masa ‘iddah dan berhak atas harta waris. Maka Ma’qil bin Sinan al-Asyja’iy berdiri dan berkata: “Rasulullah saw memutuskan dalam kasus Birwa’ binti Wasyiq isteri salah seorang dari kami seperti yang engkau putuskan.” Maka Ibn Mas’ud gembira karenanya.

Hadits yang semisal juga dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam Sunannya.
Wanita itu menikah dan belum disebutkan maharnya. Maka Rasulullah saw memutuskan bahwa baginya mahar semisal (mahar mitsli) wanita dia.

Atas dasar itu , meskipun mahar itu bukan syarat in’iqad maupun syarat sah, namun mahar itu hukumnya fardhu yang wajib, milik isteri dan menjadi tanggungan suaminya yang wajib dia bayar. Suami berdosa jika tidak membayarnya. Daulah Islamiyah akan mengambilnya secara paksa dari suami untuk isteri seperti halnya hak apapun yang wajib ia tunaikan. Daulah Islamiyah akan menjatuhkan sanksi ta’zir kepada suami itu jika ia menunda-nunda pembayaran mahar isterinya sementara ia mampu. Hal itu dia lakukan untuk menyempitkan siteri atau untuk bisa memakan sesuatu dari hak isteri.

Ringkasnya: mahar bukan merupakan syarat akan tetap hukumnya wajib atas suami untuk isteri. Yaitu mahar itu ada di dalam cakupan hukum taklif bukan dalam cakupan hukum wadh’i.

Pertanyaan kedua:

Di dalam kitab Muqaddimah ad-Dustûr, juz I hal 79 paragraf ketiga dinyatakan sebagai berikut:

“… ketidakbolehan menjatuhkan sanksi dengan bentuk sanksi yang ditetapkan oleh Allah sebagai sanksi di akhirat yaitu api, artinya adalah ketidakbolehan sanksi membakar dengan api”.

Dan pada halaman 82 dibagian tengah halaman dinyatakan sebagai berikut:
“… asy-Syâri’ telah membatasi sanksi untuk menghukum pelaku dosa (pelaku kriminal) adalah: dibunuh, jilid, rajam, pengasingan, potong tangan, ditahan, dirampas hartanya, denda, diekspos, dan disetrika dengan api pada sebagian tubuh. Selain sanksi-sanksi itu maka tidak halal digunakan mengukum seseorang”.

Pertanyaannya bagaimana mempertemukan antara ketidakbolehan menghukum dengan api kemudian perkataan bolehnya menyetrika dengan api?

Jawab:
  1. Membakar dengan api adalah meletakkan api di atas tubuh seseorang. Seperti menyalakan api dan meletakkan seseorang di dalamnya atau meletakkan tangan atau kakinya di dalam api itu… Atau meletakkan sesuatu yang termasuk jenis api di atas tubuh orang itu. Misalnya menempelkan tubuh seseorang ke kabel listrik yang disambungkan ke sumber listrik. Atau sesuatu semisalnya yang bisa disebut api yang bisa membakar. Semua itu tidak boleh karena itu adalah penyiksaan menggunakan api yaitu membakar tubuh dengan sumber api yang memiliki khasiat membakar.
  2. Adapun Anda panaskan batang besi atau paku dengan api kemudian batang besi atau paku panas itu Anda ambil dan Anda letakkan di atas tubuh seseorang maka di situ Anda tidak meletakkan sumber api di atas tubuh orang itu, tetapi Anda letakkan sesuatu yang dipanaskan dengan api dan dipisahkan dari sumber apinya. Ini disebut menyetrika dengan api. Praktek seperi itu dahulu digunakan di kalangan orang arab dan masih digunakan. Mereka menggunakannya dalam pengobatan. Batang besi dipanaskan dengan api lalu disetrikakan (ditempelkan) di tempat sakit atau semacam itu.
  3. Anda bertanya dan Anda katakan bahwa menyetrika dengan api hal itu juga keras. Benar, itu keras. Dan itu adalah hukuman bagi orang yang layak mendapatkannya. Akan tetapi hukuman itu syar’i sesuai dengan konteksnya. Dan itu bukan membakar dengan api. Yaitu tidak meletakkan sumber api di atas tubuh.
Ringkasnya:

Membakar dengan api, yaitu menyiksa dengan meletakkan sumber api di atas tubuh, maka hal itu haram. Sesuai nas-nas syara’ itu tidak boleh digunakan.
Menyetrika dengan api, yaitu memanaskan batang besi dengan api dan meletakkan batang besi panas itu di atas tubuh, bukan meletakkan api di atas tubuh. Menyetrika dengan api itu sesuai nas-nash syara’ boleh (digunakan sebagai satu bentuk sanksi pidana).

Pertanyaan ketiga:

Di dalam kitab Mafâhîm halaman 50 dinyatakan: “Banyak masyâ’ir al-hajjimasyâ’ir juga dinyatakan di tempat-tempat lainnya seperti itu. seperti thawaf mengelilingi ka’bah, menyentuh hajar aswad, menciumnya, sa’iy antara Shafaa dan Marwah …”. Kata

Bukankah yang benar dikatakan “banyak sya’â`ir al-hajji dan bukan masyâ’ir al-hajji? Jika hal itu benar, apakah bisa dilakukan koreksi “masyâ’ir” menjadi “sya’â`ir” dan dinyatakan di dalam buku tersebut?

Jawab:
  1. Kata sya’îrah adalah bentuk tunggal dari sya’â`ir dan kata mas’ar adalah bentuk tunggal dari masyâ’ir. Keduanya dinyatakan dalam makna yang sama. Hanya saja penggunaan yang lazim kata masyâ’ir untuk alamat-alamat haji seperti Shafaa, Marwah, Muzdalifah, ‘Arafah dan Jumrah…
Dan penggunaan kata sya’â`ir untuk aktifitas-aktifitas dan manasik haji seperti sa’i, thawaf, wukuf di ‘Arafah dan melempar jumrah…
  1. Akan tetapi adalah benar bahwa makna keduanya saling menggantikan:
Allah SWT berfirman:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ…

Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah… (QS al-Baqarah [2]: 158)

Di dalam ayat ini dinyatakan kata sya’â`ir menunjuk alamat-alamat haji. Bukan untuk menunjuk sa’i antara Shafaa dan Marwah.

Dan Allah SWT juga berfirman:

فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ…

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari `Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam… (QS al-Baqarah [2]: 198)

Di sini kata al-masy’ar menunjuk pada Muzdalifah, yaitu menunjuk pada alamat-alamat haji.

Dinyatakan di dalam kitab-kitab bahasa:

Di dalam al-Qâmûs al-Muhîth, I/434 dinyatakan:

Syi’âr al-hajj adalah manasik dan alamatnya. Dan asy-sya’îrah wa asy-sya’ârah wa al-masy’ar: sebagian besarnya.

Di dalam al-Muhîth fî al-Lughah, I/43:

Sya’â`ir al-hajj adalah aktifitas-aktifitas dan alamat-alamat haji, bentuk tunggalnya sya’îrah.

Di dalam Lisân al-‘Arab, IV/410 :

Syi’âr al-hajj adalah manasik, alamat, pengaruh dan aktifitas-aktifitas haji. Bentuk jamak dari sya’îrah… dan asy-sya’îrah wa asy-sya’ârah wa al-masy’ar seperti asy-syi’âr

Al-Lihyani berkata: sya’â`ir al-hajj adalah manasik haji. Bentuk tunggalnya sya’îrah… Dan al-masyâ’ir adalah al-ma’âlim (ajaran) yang disunahkan oleh Allah dan diperintahkan untuk dilakukan. Dari situ disebut al-masy’ar al-harâm.
Az-Zujaj berkata: sya’â`irilLâh artinya semua ibadah kepada Allah yang disimbolkan oleh Allah yaitu dijadikan sebagai tanda-tanda untuk kita… Semua simbol yang digunakan untuk beribadah disebut sya’â`irKarena itu tanda-tanda (simbol-simbol) yang merupakan peribadatan kepada Allah disebut sya’â`ir

Al-Azhari mengatakan: “saya tidak tahu masyâ’ir al-hajj kecuali dari posisi isy’âr adalah informasi dan asy-syi’âr adalah al-‘alâmah (simbol). Maka masyâ’ir al-hajj adalah ‘alâmât (simbol-simbol) haji..
  1. Jelaslah bahwa sya’â`ir dan masyâ’ir maknanya saling menggantikan. Hanya saja seperti yang kami sebutkan di awal, yang lebih terkenal penggunaan kata masyâ’ir untuk simbol-simbol haj seperti Shafaa, Marwah, Muzdalifah, ‘Arafah dan Jumrah… Sedangkan penggunaan kata sya’â`ir untuk perbuatan-perbuatan dan manasik haji seperti sa’i, thawaf, wukuf di ‘Arafah dan melempar jumrah…
  2. Adapun masalah koreksi, jika jelas bagi kita bahwa penggunaan seperti itu membingungkan, dan cocok dilakukan koreksi, maka pada waktu itu kami akan melakukannya, insya Allah.
Pertanyaan keempat:

Di dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah halaman 136 baris keempat dari bawah dinyatakan: “… ketika Salim maula Abu Hudzaifah syahid di perang Yamamah, warisannya didatangkan kepada Umar bin al-Khaththab…”
Sudah jadi pengetahuan bahwa perang Yamamah terjadi pada masa khalifah Abu Bakar. Tetapi dinyatakan di buku tersebut Umar bin al-Khaththab, lalu bagaimana kita mempertemukan hal itu?
Jawaban pertanyaan keempat:
  1. Benar dinyataan di buku Ajhizah Dawlah al-Khilâfah pada halaman tersebut sebagai berikut:
Imam asy-Syafi’iy meriwayatkan di dalam al-Umm, dan Ibn Hajar mensahihkannya, dari Abdullah bin Wadi’ah, ia berkata: “Salim maula Abu Hudzaifah adalah maula salah seorang wanita dari kami yang dikatakan Salma binti Ya’ar yang dimerdekakan oleh Sa`ibah pada masa Jahiliyah. Ketika Salim syahid di Yamamah, warisannya didatangkan kepada Umar bin al-Khaththab. Maka Wadi’ah bin Khidzam berseru: “ini warisan maula kalian dan kalian yang paling berhak atasnya. Maka maula Salim berkata: “ya Amirul Mukminin Allah telah membuat kami tidak membutuhkannya. Teman kami Sai`ibah telah memerdekakannya. Kami tidak ingin mempermalukan urusannya sedikitpun, atau ia berkata melukai. Maka Umar menetapkan harta itu (dimasukkan) di baitul mal.
  1. Jelas dari nas tersebut bahwa warisan Salim di datangkan kepada Umar pada masa kekhilafahannya. Sementara syahidnya Salim maula Abu Hudzaifah terjadi di perang Yamamah yang terjadi pada masa khilafah Abu Bakar ra.
  2. Penjelasan hal itu adalah bahwa perang Yamamah terjadi pada akhir rangkaian perang terhadap orang-orang murtad. Dalam hal itu terdapat perbedaan pendapat tahun kejadiannya. Ibn al-Atsiar mengatakan di al-Kâmil:
Ada perbedaan pendapat tentang tahun peperangan kaum muslim melawan orang-orang murtad. Ibn Ishaq mengatakan: “pembebasan Yamamah, Yaman, Bahrain dan pengiriman pasukan ke Syam terjadi pada tahun 12″. Abu Mu’syir, Yazid bin ‘Iyadh bin Ja’dabah dan Abu ‘Ubaidah bin Muhammad bin ‘Amar bin Yasir mengatakan: “pembebasan (wilayah) orang-orang yang murtad, semuanya baik oleh Khalid bin Walid maupun lainnya, terjadi pada tahun 11, kecuali masalah Rubai’ah bin Bujair yang terjadi pada tahun 13.’

Tampak bahwa yang lebih rajih adalah perang Yamamah terjadi menjelang pengiriman pasukan ke Syam yang terjadi pada tahun 13 H. Jadi mungkin perang Yamamah terjadi pada akhir tahun 12 H atau awal tahun 13 H. Jika kita tahu Khilafah Umar dimulai pada akhir Jumaduts Tsaniyah tahun 13 H, itu artinya penghitungan warisan Salim maula Abu Hudzaifah selesai dilakukan setelah Abu Bakar ra., wafat dan Umar bin al-Khaththab dibaiat menjadi Khalifah. Karena itu masalah warisan Salim itu diajukan kepada Umar ra.

08 Jumadul Awal 1431 H
22 April 2010 M

source : Hizbut Tahrir Indonesia

 

MENGENAL HIZBUT TAHRIR