ISLAM AGAMA SYUMUL

FIRMAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA; "Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan, kerana sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian." [TMQ AL-BAQARAH(2):208]

MASA ITU EMAS


LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, DAN TRANSGENDER ADALAH PENYIMPANGAN DAN TINDAKAN KRIMINAL YANG HARUS DIHUKUM TEGAS

LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, DAN TRANSGENDER ADALAH PENYIMPANGAN DAN TINDAKAN KRIMINAL YANG HARUS DIHUKUM TEGAS

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

HIV/AIDS : Masalah Kesehatan dan Perilaku

Masalah HIV/AIDS sebenarnya bukan sekadar masalah kesehatan (medis), namun juga masalah perilaku. Sebab telah terbukti penyebab terbesar penularan HIV/AIDS adalah perilaku seks bebas, yaitu zina dan homoseksual. (Ali As-Salus, Mausu‘ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Muashirah, hal. 705).

Terlebih jika ditelusuri sejarahnya, HIV / AIDS pertama kalinya memang ditemukan di kalangan gay San Fransisco pada tahun 1978. Selanjutnya HIV/AIDS menular hingga ke seluruh penjuru dunia terutama lewat perilaku seks bebas seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender. Inilah bukti bahwa HIV/AIDS tidak dapat dianggap semata-mata hanya masalah kesehatan, melainkan juga masalah perilaku.
 
Dengan perumusan masalah seperti ini, maka solusinya menjadi jelas dan terarah. Jadi HIV/AIDS harus ditanggulangi bukan hanya dengan mencegah dan mengobati HIV/AIDS sebagai masalah kesehatan, melainkan harus disertai pula dengan upaya menghapuskan segala perilaku menyimpang, seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). 

Inilah solusi yang diserukan Islam dan solusi yang memang sesuai dengan kenyataan yang ada. Islam memang memandang HIV/AIDS sebagai masalah kesehatan, karena penyakit AIDS memang berbahaya (dharar) lantaran menyebabkan lumpuhnya sistem kekebalan tubuh. Berbagai penyakit akan mudah menjangkiti penderitanya yang ujung-ujungnya adalah kematian. Padahal Islam adalah agama yang melarang terjadinya bahaya (dharar) pada umat manusia. Rasulullah SAW bersabda,"Tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri dan juga bahaya bagi orang lain dalam Islam (laa dharara wa laa dhiraara fi al-islam)." (HR Ibnu Majah no 2340, Ahmad 1/133; hadits sahih). Namun Islam juga memandang HIV/AIDS sebagai masalah perilaku, karena HIV/AIDS pada sebagian besar kasusnya berawal dan tersebar melalui perilaku seks bebas yang menyimpang, seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender. Semua perilaku ini adalah perbuatan kotor dan tercela dalam pandangan Islam. Semuanya adalah tindakan kriminal yang layak mendapat hukuman yang tegas. (Imam Al-Ajiri, Dzamm Al-Liwath, Kairo: Maktabah Al-Qur`an, 1990, hal. 22; Mahran Nuri, Fahisyah al-Liwath, hal. 2; Abdurrahman Al-Maliki, Nizham Al-Uqubat, hal. 18-20). Solusi Islam ini jelas berbeda berbeda dengan solusi model sekular-liberal selama ini. Solusi ini hanya memandang HIV/AIDS sebagai masalah kesehatan, bukan masalah perilaku. Maka solusinya hanya terkait dengan persoalan kesehatan semata, misalnya kondomisasi, pembagian jarum suntik steril, kampanye bahaya AIDS, dan yang semisalnya. Sedang perilaku seks bebas seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender dianggap tidak ada masalah, tidak perlu dihukum, dan dianggap tak ada hubungannya dengan penanggulangan HIV/AIDS. Jelas solusi ini adalah solusi yang dangkal dan bodoh. 
 
Dikatakan "dangkal" karena solusi yang ada berarti hanya menyentuh fenomena permukaan yang nampak secara empiris. Tidak menyentuh persoalan yang lebih mendalam dan hakiki, yaitu persoalan nilai-nilai kehidupan (morality) dan gaya hidup (life style) yang terekspresikan lewat seks bebas. 

Dan dikatakan "bodoh" karena solusi tersebut berarti memerosotkan derajat manusia setara dengan binatang. Karena perilaku yang jelas-jelas bejat seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender dianggap legal dan sah-sah saja dilakukan. Padahal semua perilaku sampah itu hakikatnya adalah mempertuhankan hawa nafsu dan membunuh akal sehat. Bukankah ini suatu kebodohan? Firman Allah SWT (artinya) : "Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak itu). (QS Al-Furqaan : 43-44). 
 
Jadi, mengatasi HIV/AIDS hanya sebagai masalah kesehatan tanpa mempersoalkan perilaku seks bebas yang menyertainya, adalah solusi dangkal dan bodoh. 

Sayang sekali, solusi dangkal dan bodoh inilah yang justru diadopsi oleh pemerintah dan berbagai LSM komprador asing. Solusi ini sebenarnya hanya strategi impor dari kaum kafir penjajah, dengan perspektif sekuler-liberal (versi UNAIDS). Namanya saja yang keren, "Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS." Tapi intinya bukan penanggulangan yang serius, melainkan sekedar kedangkalan dan kebodohan.
 
Pemerintah dan berbagai LSM itu seolah-olah memang tulus mengajak masyarakat untuk menjauhkan diri dari HIV/AIDS. Gunakan kondom, pakai jarum suntik steril, kalau bisa jangan zina, kalau bisa jangan ganti-ganti pasangan dan bla, bla, bla lainnya yang kelihatannya hebat dan heroik. Padahal kampanye itu bukanlah solusi yang benar, bahkan malah mungkin akan semakin menyuburkan HIV/AIDS. Mengapa? Karena mereka telah memasang kacamata kuda ketika memandang masalah HIV/AIDS menjadi sebatas masalah kesehatan. Akhirnya mereka mengabaikan perilaku-perilaku sampah semisal zina, homoseksual, biseksual, dan sebagainya. Padahal perilaku seperti inilah yang menjadi penyebab terbesar dari HIV/AIDS. 

Maka, itikad pemerintah dalam menanggulangi HIV/AIDS sangat patut diragukan, selama mereka masih mentolerir perilaku bejat yang menjijikkan semisal lesbianisme, gay, biseksual, transgender dan semacamnya.
 
Tegas kami nyatakan, selama HIV/AIDS hanya dipandang masalah kesehatan, tanpa ada usaha untuk menghapuskan perilaku seks bebas, maka penanggulangan HIV/AIDS apa pun dan bagaimana pun juga strateginya, sudah pasti ditakdirkan gagal. Pasti. Sebab selain menyalahi fakta keras yang ada, bahwa HIV/AIDS tak dapat dilepaskan dari zina dan liwath (homoseksual), penanggulangan semacam itu juga menyimpang dari ajaran Islam. Setiap penyimpangan dari Islam tak akan pernah menemui keberhasilan, tapi hanya berbuah kegagalan di dunia dan akhirat. Firman Allah SWT (artinya),"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan [di dunia] dan azab yang pedih [di akhirat]." (QS An Nuur : 63).

Menyoal LGBT

Islam memang berbeda dengan gaya hidup liar yang diajarkan sekularisme-liberalisme. Menurut mereka perilaku seks bebas seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender adalah boleh karena merupakan hak asasi manusia (HAM) dan bagian dari kebebasan individu yang harus dihormati dan dijaga oleh negara.
 
Namun Islam tak menyetujui selera rendahan ala binatang seperti itu. Perilaku lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender hukumnya haram dalam Islam. Tak hanya itu, semua perbuatan haram itu sekaligus dinilai sebagai tindak kejahatan/kriminal (al-jarimah) yang harus dihukum. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham Al-Uqubat, hal. 8-10).

Lesbianisme dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan istilah as-sahaaq atau al-musahaqah. Definisinya adalah hubungan seksual yang terjadi di antara sesama wanita. Tak ada khilafiyah di kalangan fuqaha bahwa lesbianisme hukumnya haram. Keharamannya antara lain berdasarkan sabda Rasulullah SAW : "Lesbianisme adalah [bagaikan] zina di antara wanita" (as-sahaq zina an-nisaa` bainahunna). (HR Thabani, dalam al-Mu’jam al-Kabir, 22/63). (Sa’ud al-Utaibi, Al-Mausu’ah Al-Jina`iyah al-Islamiyah, hal. 452).

Lesbianisme menurut Imam Dzahabi merupakan dosa besar (al-kaba`ir). (Dzahabi, Az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kaba`ir, 2/235). Namun hukuman untuk lesbianisme tidak seperti hukuman zina, melainkan hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang tidak dijelaskan oleh sebuah nash khusus. Jenis dan kadar hukumannya diserahkan kepada qadhi (hakim). Ta’zir ini bentuknya bisa berupa hukuman cambuk, penjara, publikasi (tasyhir), dan sebagainya. (Sa’ud al-Utaibi, Al-Mausu’ah Al-Jina`iyah al-Islamiyah, hal. 452; Abdurrahman Al-Maliki, Nizham Al-Uqubat, hal. 9). 

Homoseksual dikenal dengan istilah liwath. Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa telah sepakat (ijma’) seluruh ulama mengenai haramnya homoseksual (ajma’a ahlul ‘ilmi ‘ala tahrim al-liwaath). (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/348). Sabda Nabi SAW,"Allah telah mengutuk siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth, Allah telah mengutuk siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth Allah telah mengutuk siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth." (HR Ahmad, no 3908). Hukuman untuk homoseks adalah hukuman mati, tak ada khilafiyah di antara para fuqoha khususnya para shahabat Nabi SAW seperti dinyatakan oleh Qadhi Iyadh dalam kitabnya Al-Syifa`. Sabda Nabi SAW,"Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaumnya Nabi Luth, maka bunuhlah keduanya." (HR Al Khamsah, kecuali an-Nasa`i).

Hanya saja para sahabat Nabi SAW berbeda pendapat mengenai teknis hukuman mati untuk gay. Menurut Ali bin Thalib RA, kaum gay harus dibakar dengan api. Menurut Ibnu Abbas RA, harus dicari dulu bangunan tertinggi di suatu tempat, lalu jatuhkan gay dengan kepala di bawah, dan setelah sampai di tanah lempari dia dengan batu. Menurut Umar bin Khaththab RA dan Utsman bin Affan RA, gay dihukum mati dengan cara ditimpakan dinding tembok padanya sampai mati. Memang para shahabat Nabi SAW berbeda pendapat tentang caranya, namun semuanya sepakat gay wajib dihukum mati. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham Al-Uqubat, hal. 21). 

Biseksual adalah perbuatan zina jika dilakukan dengan lain jenis. Jika dilakukan dengan sesama jenis, tergolong homoseksual jika dilakukan di antara sesama laki-laki, dan tergolong lesbianisme jika dilakukan di antara sesama wanita. Semuanya perbuatan maksiat dan haram, tak ada satu pun yang dihalalkan dalam Islam. 

Hukumannya disesuaikan dengan faktanya. Jika tergolong zina, hukumnya rajam (dilempar batu sampai mati) jika pelakunya muhshan (sudah menikah) dan dicambuk seratus kali jika pelakunya bukan muhshan. Jika tergolong homoseksual, hukumannya hukuman mati. Jika tergolong lesbianisne, hukumannya ta’zir. 

Transgender adalah perbuatan menyerupai lain jenis. Baik dalam berbicara, berbusana, maupun dalam berbuat, termasuk dalam aktivitas seksual. Islam mengharamkan perbuatan menyerupai lain jenis sesuai hadits bahwa Nabi SAW mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan mengutuk wanita yang menyerupai laki-laki (HR Ahmad, 1/227 & 339). 

Hukumannya, jika sekedar berbicara atau berbusana menyerupai lawan jenis, adalah diusir dari pemukiman atau perkampungan. Nabi SAW telah mengutuk orang-orang waria (mukhannats) dari kalangan laki-laki dan orang-orang tomboy (mutarajjilat) dari kalangan perempuan. Nabi SAW berkata,"Usirlah mereka dari rumah-rumah kalian." (akhrijuuhum min buyutikum). Maka Nabi SAW pernah mengusir Fulan dan Umar RA juga pernah mengusir Fulan (HR Bukhari no 5886 dan 6834). (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1306).

Jika transgender melakukan hubungan seksual maka hukumannya disesuaikan dengan faktanya. Jika hubungan seksual terjadi di antara sesama laki-laki, maka dijatuhkan hukuman homoseksual. Jika terjadi di antara sesama wanita, dijatuhkan hukuman lesbianisme. Jika hubungan seksual dilakukan dengan lain jenis, dijatuhkan hukuman zina.

Memang dalam Islam dikenal istilah khuntsa, atau hermaphrodit, yakni orang yang mempunyai kelamin ganda. Mereka memang diakui dalam fiqih Islam. Namun ini sama sekali berbeda dengan transgender, karena kaum transgender mempunyai kelamin yang sempurna, bukan kelamin ganda, hanya saja mereka berperilaku menyerupai lawan jenisnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender adalah perbuatan yang diharamkan Islam, sekaligus merupakan tindakan kriminal yang harus dihukum tegas. 

Yang berhak menjatuhkan hukuman adalah Imam (Khalifah) dalam negara Khilafah yang akan menjalankan Syariah Islam secara kaffah (komprehensif). Memang, Khalifah sekarang sudah tak ada sejak hancurnya Khilafah di Turki tahun 1924.

Maka menjadi tugas umat Islam, untuk mengembalikan Khilafah itu di muka bumi sekali lagi sebagai Khilafah yang mengikuti minhaj nubuwwah (metode kenabian). Dialah nanti yang akan menjalankan Syariah Islam secara kaffah, termasuk menjatuhkan hukuman-hukuman yang tegas untuk manusia-manusia hina yang melakukan perbuatan lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender. Wallahu a’lam 
 
DAFTAR BACAAN

Al-Utaibi, Sa’ud bin Abdul ‘Ali Al-Barudi, Al-Mausu’ah Al-Jina`iyah al-Islamiyah, (Riyadh : t.p), 1427 H

As-Salus, Ali Ahmad, Mausu‘ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Muashirah, (Qatar : Daruts Tsaqafah), 2006

Rosyidah, Faizatul, Kritik Islam Terhadap Strategi Penanggulangan HIV-AIDS Berbasis Paradigma Sekula-Liberal dan Solusi Islam Atasnya, http://faizatulrosyidahblog.blogspot.com Komisi Penanggulangan AIDS, Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007 – 2010
Laporan Pelaksanaan Kegiatan Sekretariat KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Nasional, Bulan Juni, Agustus, September 2010
Imam Al-Ajiri, Dzamm Al-Liwath, (Kairo: Maktabah Al-Qur`an), 1990
Imam Al-Syaukani, Nailul Authar, (Beirut : Dar Ibn Hazm), 2000
Nuri, Mahran, Fahisyah al-Liwath, www.waqfeya.com

= = = =

*Makalah disampaikan dalam Seminar Mahasiswa Peduli Generasi, dengan tema Benarkah Lesbi, Gay, Bisex dan Transgender Adalah Kehendak Tuhan ?, diselenggarakan oleh Lembaga Dakwah Kampus Unit Pengkajian dan Pengamalan Islam (UPPI) Institut Seni Indonesia Surakarta bekerjasama dengan Badan Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) Solo Raya, 18 Desember 2010, di Gedung J, Kampus ISI Surakarta.

**DPP HTI; Pimpinan Pesantren (Mudir Ma’had) Hamfara Yogyakarta

HUKUM JUAL BELI MATA WANG ASING

HUKUM JUAL BELI MATA UANG ASING

Tanya :

Ustadz, mohon dijelaskan hukum jual beli mata uang asing. (Mila Andriyani, Palembang)

Jawab :

Jual beli mata uang dalam fiqih kontemporer disebut dengan istilah tijarah an-naqd atau al-ittijaar bi al-‘umlat. Dalam kitab-kitab fiqih disebut al-sharf (pertukaran uang, currency exchange). Definisi al-sharf menurut Abdurrahman al-Maliki adalah pertukaran harta dengan harta yang berupa emas atau perak, baik dengan sesama jenisnya dengan kuantitas yang sama, maupun dengan jenis yang berbeda dengan kuantitas yang sama ataupun tidak sama. Karena mata uang sekarang dianggap sama dengan emas dan perak, maka Rawwas Qa’ahjie mendefinisikannya secara umum, yaitu pertukaran uang dengan uang. (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 114 & 125; Ali As-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 432; Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah al-Fuqaha, hal. 85 & 208).

Hukum jual beli mata uang mubah selama memenuhi syarat-syaratnya. Jika yang dijualbelikan sejenis (misal rupiah dengan rupiah, atau dolar AS dengan dolar AS), syaratnya dua. Pertama, harus ada kesamaan kuantitas, yakni harus sama nilainya. Kedua, harus ada serah terima (at-taqabudh) di majelis akad. Jadi harus kontan dan tak boleh ada penundaan serah terima. Adapun jika yang dijualbelikan tak sejenis (misal rupiah dengan dolar AS), syaratnya satu, yaitu dilakukan secara kontan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, 2/155; Abul A’la al-Maududi, Ar-Riba, hal. 114; Sa’id bin Ali al-Qahthani, Ar-Riba Adhraruhu wa Atsaruhu, hal. 23).

Dalilnya antara lain sabda Rasulullah SAW,"Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan)." (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).

Hadits ini menunjukkan jika yang dipertukarkan masih satu jenis (misal emas dengan emas), syaratnya dua; Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam hal berat atau takarannya. Kedua, harus ada serah terima (taqabudh) di majelis akad, yakni secara kontan. Namun jika yang dipertukarkan tak satu jenis (misal emas dengan perak), boleh ada kelebihan atau tambahan, dan syaratnya hanya satu, yaitu dilakukan secara kontan.

Hadits di atas walaupun menjelaskan pertukaran emas dan perak, namun hukumnya berlaku pula untuk mata uang saat ini. Ini karena sifat yang ada emas dan perak saat itu, yaitu sebagai mata uang, juga terdapat pada mata uang saat ini (al-nuqud). (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 264).

Maka jual beli mata uang asing hukumnya boleh selama memenuhi syarat-syaratnya. Jika tidak memenuhi syaratnya, hukumnya haram. Misal menukar rupiah dengan dolar AS, tapi serah terimanya ditunda pada tanggal tertentu beberapa hari mendatang. Walaupun disepakati, hukumnya tetap haram, baik yang ditunda rupiahnya, dolarnya, atau kedua-duanya. (Ali As-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 426). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 12 Desember 2010
Muhammad Shiddiq Al-Jawi

MONARKI, DEMOKRASI, DAN KHILAFAH


MONARKI, DEMOKRASI, DAN KHILAFAH

Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi

Polemik seputar keistimewaan DIY belum berakhir. Pemerintah melalui RUUK tetap ngotot menginginkan pemilihan Gubernur DIY seperti propinsi-propinsi lainnya. Sementara pihak Kraton Yogya dan umumnya masyarakat Yogya berkeras pada opsi penetapan , bukan pemilihan. Polemik ini semakin panas ketika SBY menyatakan sistem monarki tidak mungkin diterapkan, karena akan bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi (democratic values).

Beberapa catatan kritis menurut perspektif Islam perlu diberikan untuk fenomena ini. Pertama, seharusnya masing-masing pihak mempunyai satu rujukan yang sama untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang ada. Dalam Islam, setiap perselisihan wajib dikembalikan kepada rujukan wahyu, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah (QS An-Nisaa` : 59). 

Semestinya masing-masing pihak merujuk pada referensi ilahi itu. Namun nampaknya hal ini tidak terjadi. Kedua pihak justru mengembalikan persoalan ini bukan pada referensi Al-Qur`an dan As-Sunnah, melainkan pada referensi-referensi lain yang ilegal menurut kacamata hukum Islam. Partai Demokrat melalui Ruhut Sitompul mengatakan dasar sikap mereka adalah survei LSI yang menemukan 71 % masyarakat Yogya setuju pemilihan Gubernur DIY(pemilu kada). Sedang pihak yang pro penetapan, di antaranya Golkar, juga menyandarkan pada survei yang konon hasilnya 70 % masyarakat Yogya pro penetapan, bukan pemilihan. Masyarakat Yogya juga menyandarkan pada referensi sejarah. Khususnya ketika Kraton Yogyakarta menggabungkan diri dengan NKRI, yang imbal baliknya Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

Sesungguhnya, survei dan sejarah bukanlah rujukan normatif yang benar menurut Islam. Rujukan ini memang seakan-akan bernilai benar dengan sendirinya karena memang cara berpikir kita telah didominasi dan dikooptasi oleh perspektif Positivisme dalam filsafat hukum. Perspektif ini benar-benar telah merusak cara berpikir kita, karena ia mengajarkan bahwa hukum atau pranata hidup itu tidak perlu didasarkan pada agama (Al-Qur`an dan As-Sunnah), melainkan cukup pada fakta-fakta empiris dalam masyarakat. Esensi aliran Positivisme dalam filsafat hukum seperti kata H.L.A Hart adalah that laws are commands of human being (hukum adalah perintah dari manusia). (Prasetyo dan Barakatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, hal. 97). 

Jadi hukum menurut prespektif ini adalah man made (buatan manusia). Dengan kata lain, hukum bukan berasal dari norma agama. Maka mengembalikan polemik keistimewaan DIY ini kepada argumen sejarah, atau argumen survei, atau argumen apa pun selain Al-Qur`an dan As-Sunnah, jelas merupakan kekeliruan metodologis yang parah.

Kedua,catatan berikutnya adalah mengenai pemilihan Gubernur. Dalam Islam, Gubernur (Wali) bukanlah hasil pilihan rakyat, melainkan diangkat oleh Kepala Negara (Khalifah). Dalam kitab-kitab hadits dan juga sirah dapat dibuktikan bahwa gubernur-gubernur dalam propinsi-propinsi pemerintahan Islam dulu, selalu diangkat oleh Rasulullah SAW sebagai kepala negara. Misalnya Muadz bin Jabal yang diangkat sebagai gubernur propinsi Yaman. Juga Ziyad bin Labid yang diangkat Rasulullah SAW sebagai gubernur propinsi Hadhramaut, serta Abu Musa Al-Asyari sebagai gubernur propinsi Zabid dan Aden. (Atha` bin Khalil, Ajhizah Daulah al-Khilafah, hal. 73). 

Walhasil, jika diukur dengan timbangan Syariah Islam, pengangkatan gubernur itu hanyalah melalui pengangkatan oleh khalifah (kepala negara). Bukan lewat cara pemilihan (pemilu kada) oleh rakyat di propinsi yang bersangkutan, bukan pula melalui cara penetapan secara otomatis sebagai jabatan yang diwariskan secara turun temurun.

Ketiga,catatan ketiga adalah tentang pernyataan SBY bahwa sistem monarki bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi (democratic values). Ini pernyataan dangkal dan menunjukkan SBY kurang membaca literatur sejarah dan ilmu politik. Karena secara faktual tak selalu sistem monarki tak bisa dikawinkan dengan demokrasi. Bahkan untuk konteks propinsi DIY, pernyataan SBY memang boleh dikatakan ngawur. Mengapa demikian? Sebab sejak bergabung dengan NKRI, berakhir sudah sistem monarki Kerajaan (Kesultanan?) Yogyakarta Hadiningrat. Setelah itu, yang ada di DIY bukan sistem monarki melainkan propinsi yang mempunyai keistimewaan, yaitu Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Jadi yang ada ialah propinsi dengan sisa-sisa sistem monarki, khususnya dalam pengangkatan eksekutif, bukan sistem monarkinya itu sendiri. Karena sistem monarki adalah sebuah istilah teknis untuk bentuk negara, bukan bentuk propinsi. (Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta : Bumi Aksara, 1990, hal. 57-58; M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Medan : Mandar Maju, hal. 54-55).

Namun harus dikatakan, bahwa pengangkatan Khalifah (Imam) sebagai kepala negara dalam Islam bukanlah melalui sistem pewarisan, melainkan harus merupakan hasil pilihan umat. Itulah yang terjadi pada empat khalifah pertama dalam Islam, yang semuanya berkuasa setelah dipilih oleh umat. 

Memang dalam sejarah Islam kekhilafahan didominasi oleh suatu dinasti (bani) tertentu untuk kurun waktu tertentu. Dikenallah kemudian Khilafah Bani Umayah, Khilafah Bani Abbasiyah, dan Khilafah Bani Utsmaniyah (yang berakhir 1924). Namun kejadian sejarah ini tidaklah mewakili ajaran Islam yang murni. Fakta sejarah ini justru menunjukkan terjadinya distorsi atau bias dalam implementasi Syariah Islam di bidang kekuasaan. 

Namun penyimpangan ini tidak sampai menghapuskan secara total karakter bentuk pemerintahan Khilafah. Karena bagaimanapun juga khalifah-khalifah itu tetap dibaiat, bukan semata-mata mendapat kekuasaan secara turun temurun. Maka bentuk negaranya tetap sah sebagai Khilafah, hanya saja memang terpengaruh oleh salah satu unsur sistem monarki, yaitu pewarisan kekuasaan. Karena itu, Syaikh Hisyam Al-Badrani, seorang ulama Irak kontemporer, menyebut sistem pemerintahan pasca Khulafaur Rasyidin sebagai Al-Khilafah ala Minhaj Al-Mulk (Khilafah, tapi mengikuti metode monarki dalam pengangkatan penguasanya). (Hisyam Al-Badrani, an-Nizham al-Siyasi Bada Hadmi Al-Khilafah, hal. 12.)

Karenanya memang tidak bisa dipersalahkan sepenuhnya, ketika Mataram Islam sejak Sultan Agung (w. 1646) juga mencontoh model suksesi kepemimpinan secara turun temurun. Wong yang menjadi contoh saat itu (Khilafah Utsmaniyah) memang sudah keliru dalam praktik pengangkatan Khalifah. Sejarah mencatat, pada sekitar tahun 1640 Sultan Agung telah menjalin hubungan internasional dengan Khilafah Utsmaniyah melalui Syarif Makkah (gubernur untuk wilayah Makkah dan sekitarnya). Hasilnya adalah gelar Sultan yang kemudian secara resmi disematkan di depan namanya. (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 1500-2004, Jakarta : Serambi, 2005, hal. 111; Musyrifa Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 147). 

Kami katakan tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya, karena sistem pewarisan tahta turun temurun yang diadopsi oleh Mataram saat itu, telah mengambil model yang salah dan terdistorsi dari Khilafah Utsmaniyah. Atau bisa jadi pewarisan tahta itu sekedar meneruskan apa yang dianggap lumrah sejak era sebelumnya, misalnya sejak jaman Kesultanan Demak dan Pajang yang menjadi cikal-bakal Mataram. Jadi pengambilan cara pewarisan tahta ini barangkali terjadi di luar kesengajaan, karena saat itu memang tak ada model ideal yang betul-betul mencerminkan ajaran Islam yang murni.

Namun tegas kami nyatakan, kesalahan semacam itu tak boleh lagi diterus-teruskan. Yang sudah ya sudah. Semoga Allah SWT mengampuni kesalahan kita. Namun untuk ke depan, sesuai ajaran Islam, pemimpin haruslah hasil pilihan rakyat, bukan terangkat secara otomatis secara turun temurun.

Keempat, catatan terakhir, kami ingin menegaskan demokrasi tidak selalu identik dengan pemilihan pemimpin oleh rakyat. Maka dari itu, ketika kami menyatakan bahwa bahwa pemimpin haruslah dipilih oleh rakyat, bukan berarti kami setuju dengan demokrasi.

Mengapa demikian? Sebab esensi demokrasi sebenarnya bukan pada prinsip pemimpin adalah pilihan rakyat, melainkan pada prinsip bahwa peraturan itu adalah buatan manusia (kedaulatan rakyat). Dalam pandangan Islam, haram hukumnya manusia membuat sendiri hukum atau aturan hidup. Hanya Allah saja yang berhak menetapkan hukum (QS Al-Anaam : 57). 

Jadi, Islam tidak menyalahkan demokrasi jika yang dimaksud adalah pemimpin merupakan hasil pilihan rakyat. Namun Islam juga tidak membenarkan prinsip itu sepenuhnya. Sebab meski pemimpin dipilih oleh rakyat, dalam demokrasi pemimpin pilihan rakyat itu akan menjalankan hukum buatan manusia. Sedang dalam Islam, pemimpin pilihan rakyat itu hanya menjalankan hukum Syariat Islam, bukan hukum buatan manusia. 

Maka dari itu, jelas sekali SBY nampak dangkal ketika mempertentangkan monarki dengan demokrasi dalam konteks pemilihan gubernur DIY. Pendirian SBY itu mengisyaratkan bahwa esensi demokrasi dalam pikirannya hanyalah pemilihan, yakni pemimpin hendaknya hasil pilihan rakyat. Padahal, kalaupun itu dikatakan bagian demokrasi, sifatnya hanya prinsip sekunder saja dan bukan ide khas demokrasi. Prinsip primer dan ide khas dalam demokrasi justru adalah memberikan otoritas kepada manusia (bukan kepada Tuhan) hak membuat hukum. Inilah prinsip primer demokrasi yang justru terabaikan oleh SBY. 

Kesimpulannya, memang sulit bagi muslim untuk menyikapi polemik keistimewaan DIY sekarang ini. Penetapan atau pemilihan, bukanlah pilihan-pilihan yang benar. Namun yang jelas, Islam mengatakan tidak untuk pemilihan (pemilu kada), karena gubernur dalam pandangan Islam bukan hasil pilihan rakyat, melainkan diangkat oleh kepala negara (khalifah). Islam juga mengatakan tidak untuk penetapan, karena Islam tidak mengenal proses pewarisan kekuasaan yang turun temurun. Islam juga mengatakan tidak untuk demokrasi, karena demokrasi memaksakan sebuah prinsip yang fatal sekali kekeliruannya menurut Islam, yaitu manusia diberi hak membuat hukum.

Yang benar, seorang gubernur (wali) dalam Islam itu diangkat oleh Khalifah (kepala negara), bukan dipilih oleh rakyat. Dan proses ini tentu harus dijalankan dalam bentuk negara yang benar sesuai ajaran Islam, yaitu sistem Khilafah, bukan sistem republik (demokrasi) seperti yang ada sekarang. Wallahu alam

* Makalah disampaikan dalam Dirasah Islamiyah, diselenggarakan oleh HTI Chapter Kampus Hamfara bekerja sama dengan Ma'had Hamfara Yogyakarta, di Masjid Hamfara, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Jumat 10 Desember 2010.

**Mudir Ma'had (Pimpinan Pesantren) Hamfara,Yogyakarta. DPP HTI.

HUKUM MENJADI TKW DI LUAR NEGERI

HUKUM MENJADI TKW DI LUAR NEGERI

Tanya :

Ustadz, bagaimana hukumnya menjadi TKW di luar negeri?

Jawab :

TKW (Tenaga Kerja Wanita) adalah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) perempuan warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. TKW sering disebut pahlawan devisa karena dalam setahun dapat menghasilkan devisa 60 triliun rupiah (data 2006).
 
Namun, berbagai masalah sering menimpa TKW baik di dalam maupun di luar negeri. Misal : pelecehan seksual, perkosaan, penganiayaan fisik (kekerasan), pembunuhan, pemotongan upah, dan pungutan liar oleh pejabat dan agen terkait. 

Bahkan sepanjang tahun 2009-2010 saja, disebut-sebut hampir sekitar 4000 TKW menjadi korban penipuan, pemerasan, pelecehan seksual, kekerasan, hingga pembunuhan.
 
Menjadi TKW yang bekerja di luar negeri hukumnya haram, berdasarkan 2 (dua) alasan utama : Pertama, karena TKW telah bekerja di luar negeri tanpa disertai mahram atau suaminya. Padahal syara’ telah mengharamkan seorang perempuan muslimah melakukan perjalanan (safar) sehari semalam tanpa disertai mahram atau suami, meski untuk menunaikan ibadah haji yang wajib. (Imad Hasan Abul ‘Ainain; ‘Amal Al-Mar`ah fi Mizan Al-Syari’ah Al-Islamiyah, hal.42; M. Ali al-Bar, Amal Al-Mar`ah fi Al-Mizan, hal. 29; Riyadh Muhammad Al-Musaimiri; ‘Amal Al-Mar`ah Bayna Al-Masyru’ wa Al-Mamnu’, hal. 22; Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 35).

Dalam masalah ini Imam Ibnu Qudamah menyatakan siapa saja perempuan yang tidak punya mahram dalam perjalanan haji, tidak wajib naik haji. (Al-Mughni, 5/30). Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW,"Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali disertai mahramnya." (HR Bukhari no 1088; Muslim no 1339; Abu Dawud no 1723; Tirmidzi no 1170; Ibnu Majah no 2899; Ahmad no 7366).

Berdasarkan hadits ini, haram hukumnya menjadi TKW di luar negeri. Karena umumnya TKW tidak disertai mahram atau suaminya dalam perjalanannya ke luar negeri. TKW itu pun tetap dianggap musafir yang wajib disertai mahram atau suaminya, selama dia tinggal di luar negeri hingga dia kembali ke negeri asalnya (Indonesia). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Al-Shalah, 2/337).

Kedua,menjadi TKW juga haram ditinjau dari segi lain, yaitu keberadaan TKW telah menjadi perantaraan munculnya berbagai hal yang diharamkan syara’. Misalnya, terjadinya pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan, pembunuhan, pemotongan upah, dan pungutan liar. Semua ini telah diharamkan oleh syara’ berdasarkan dalilnya masing-masing. Maka, menjadi TKW hukumnya haram berdasarkan kaidah fiqih Al-Wasilah ila al-Haram Muharramah (segala perantaraan yang mengakibatkan terjadinya keharaman, hukumnya haram). (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, 12/199).

Atas dasar dua alasan ini, haram hukumnya menjadi TKW yang bekerja di luar negeri. Pengiriman TKW ke luar negeri pun wajib dihentikan, sesuai kaidah fiqih Al-Dharar yuzaal (segala macam bahaya wajib dihilangkan). (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nazha`ir, hal. 83; M. Bakar Ismail, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Bayna Al-Ashalah wa Al-Taujih, hal. 99). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 25 Nopember 2010

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

PERLUKAH BANK SYARIAH DALAM NEGARA KHILAFAH?

PERLUKAH BANK SYARIAH DALAM NEGARA KHILAFAH?

Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Pendahuluan

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis, perlukah bank-bank syariah seperti sekarang ini dalam negara Khilafah nanti? 

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya dibahas lebih dulu 2 (dua) hal penting sebagai dasar jawabannya. Pertama, kritik terhadap bank syariah saat ini, baik kritik yang bersifat umum maupun terperinci. Kritik ini perlu, agar bank syariah dapat dipahami secara utuh. Yakni di samping ada manfaatnya yang positif, bank syariah ternyata juga tak luput dari penyimpangan-penyimpangan syariah (mukhalafat syariyah). Adanya berbagai penyimpangan ini akan menjadi bahan pertimbangan, apakah bank syariah diperlukan atau tidak.

Kedua,penjelasan mengenai apa saja yang menjadi aktivitas bank konvensional dan syariah. Penjelasan ini penting untuk mengetahui apakah aktivitas-aktivitas bank syariah saat ini memang mutlak harus dilakukan dalam bentuk bank syariah, ataukah dapat dijalankan dalam bentuk lain.

Kritik Terhadap Bank Syariah

Biasanya bank syariah dibangga-banggakan sebagai wujud ekonomi Islami yang bebas riba dan menjadi alternatif dari bank konvensional yang ribawi. Berbagai manfaat dan kinerjanya juga sering ditonjolkan. Tentu, manfaat dan kinerja yang baik dari bank syariah tak perlu kita ingkari dan bahkan harus diapresiasi.
Namun tak boleh dilupakan, standar untuk menilai bank syariah sebenarnya bukan pada aspek manfaat atau kinerjanya, melainkan sejauh mana bank syariah berpegang teguh dengan syariah Islam. (Asy-Syarawi, Al-Masharif Al-Islamiyah, hal.516).

Berdasarkan standar syariah Islam ini, Ayid Fadhl Asy-Syarawi dalam kitabnya Al-Masharif Al-Islamiyah (2007) telah memberikan kritik umum dan rinci terhadap bank-bank syariah yang ada sekarang. 

Kritik secara umum, menyoroti lingkungan di mana bank syariah tumbuh dan berkembang. Tak dapat diingkari, bank syariah tumbuh dan berkembang dalam habitat yang abnormal. Yaitu dalam sistem ekonomi kapitalistik-sekular yang anti syariah, yang ditanamkan oleh kafir penjajah di Dunia Islam. Kafir penjajah awalnya menanam bank konvensional saat mereka menjajah. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, sayangnya bank konvensional ini hanya dinasionalisasikan, tapi tidak diislamisasikan secara total.
Artinya, sistem ekonomi yang ada tetap kapitalistik seperti yang dibuat oleh kafir penjajah. Dalam perkembangan berikutnya, barulah muncul ide untuk menghindarkan diri dari riba bank konvensional, dengan mendirikan bank syariah. (Syarawi, 2007:540-552).

Karena tumbuh dalam lingkungan kapitalis seperti itulah, banyak terjadi kontradiksi (tanaqudh) antara bank syariah dengan sistem kapitalis yang menjadi tempat hidupnya. Contohnya, dalam bank syariah berlaku prinsip bagi hasil dan bagi rugi (profit and loss sharing) dalam akad mudharabah, sesuai kaidah fikih Al-ghurmu bi al-ghunmi (resiko kerugian diimbangi hak mendapatkan keuntungan). Sementara dalam sistem kapitalis, khususnya dalam dunia perbankan, tidak dikenal istilah bagi rugi. Dalam UU Perbankan Amerika Serikat, misalnya, ada ketentuan walaupun bank mengalami kerugian, bank harus mengembalikan simpanan nasabah secara utuh tanpa boleh dikurangi. (Syarawi, 2007:538).

Tak hanya dalam mudharabah, kontradiksi seperti itu juga terwujud dalam banyak hal, misalnya sistem akuntansi, aturan perpajakan, aturan badan hukum, serta aturan perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri. 

Berbagai kontradiksi ini, cepat atau lambat akan menimbulkan penyimpangan demi penyimpangan yang akan makin bertumpuk-tumpuk. Kondisi ini akan membuat umat Islam hidup dalam kebingungan dan kebimbangan. Karena pilihannya hanya dua : bank konvensional yang menjalankan riba, atau bank syariah yang penuh dengan penyimpangan. 

Adapun kritik secara rinci untuk bank syariah, antara lain sebagai berikut :

Pertama,terlibat dalam muamalah ribawi. Tak sedikit bank-bank syariah di Timur Tengah yang menginvestasikan dananya di bank konvensional yang memberikan bunga di negara-negara Barat.
Kedua,terlibat dalam asuransi (ta`min). Padahal asuransi hukumnya haram.

Ketiga,tidak pernah mengumumkan adanya kerugian. Ini suatu keanehan yang mengindikasikan penyimpangan. Karena meski dalam akad mudharabah diteorikan bank syariah bisa rugi, tapi dalam praktiknya tak pernah satu kali pun ada bank syariah mengumumkan dirinya rugi.

Keempat,lemahnya pengawasan manajemen dan syariah. Ini mengakibatkan banyak akad-akad bank syariah tidak sesuai dengan ketentuan syariah yang digariskan.

Kelima,dominannya aktivitas pedagangan melalui akad murabahah. Ini akan berimplikasi buruk, yaitu dominasi bank syariah yang akan mengendalikan penentuan harga dan laba untuk berbagai komoditi. Pada saat yang sama, ini juga menunjukkan lemahnya perhatian bank syariah pada sektor pertanian dan industri.

Keenam, kurangnya SDM yang cakap untuk mengelola keuangan syariah. Akibatnya, bank syariah mengambil pegawainya dari bank konvensional yang masih mempunyai pola pikir dan budaya kerja bank konvensional. (Syarawi, 2007:510-514).

Dengan adanya kritik-kritik terhadap bank syariah di atas, dapat disimpulkan bank syariah penuh dengan hal-hal yang meragukan (syubhat), karena terjadi berbagai penyimpangan syariah (mukhalafat syariyah) dalam banyak aspeknya. (Syarawi, 2007:554). 

Aktivitas Bank Konvensional dan Bank Syariah

Bank konvensional adalah institusi kapitalis yang ditanamkan oleh kafir penjajah di Dunia Islam. Secara garis besar bank konvensional besar mempunyai 2 (dua) aktivitas. Pertama, aktivitas ribawi. Misalnya, memberi kredit dengan menarik bunga, menerima simpanan dengan memberi bunga, dan sebagainya.

Kedua,aktivitas jasa perbankan, misalnya jasa transfer dan penukaran mata uang, kemudian bank mendapat uang jasa dari aktivitas itu. 

Pada saat bank syariah berdiri dalam dominasi sistem kapitalis saat ini, ia bermaksud menghapus riba pada bank konvensional (aktivitas pertama di atas) dan menggantikannya dengan aktivitas perdagangan (sesuai QS Al-Baqarah : 275). 

Dengan demikian, pada garis besarnya, aktivitas bank syariah juga ada 2 (dua) macam. Pertama, aktivitas perdagangan (amal tijariyah) sebagai pengganti aktivitas ribawi. Ini dijalankan melalui berbagai macam akadnya, seperti mudharabah, murabahah, dan musyarakah, dalam sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, dan sebagainya.

Kedua, aktivitas jasa perbankan (khidmat mashrifiyah) dalam berbagai bentuknya dengan menarik imbalan jasa, misalnya jasa transfer (tahwil) dan penukaran mata uang (sharf, currency exchange). 

Aktivitas pertama pada bank syariah ini, merupakan aktivitas yang meragukan (syubhat) karena banyaknya penyimpangan syariah yang terjadi, seperti telah dijelaskan di atas. Sedang aktivitas kedua, hukumnya jaiz (boleh) secara syari selama dilaksanakan sesuai syarat dan rukunnya.

Bank Syariah dalam Negara Khilafah?

Jika Khilafah berdiri suatu saat nanti, apakah bank syariah yang ada sekarang masih diperlukan? Menurut kami, bank-bank syariah seperti saat ini tidak diperlukan lagi dalam negara Khilafah nanti. 

Mengapa demikian? Ada dua alasan. Alasan Pertama, terkait dengan aktivitas pertama bank syariah, yaitu aktivitas perdagangan (amal tijariyah) seperti akad mudharabah, murabahah, dan musyarakah. Sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, selama ini banyak terjadi penyimpangan syariah (mukhalafat syariyah) pada aktivitas perdagangan ini sehingga menimbulkan keraguan (syubhat) pada bank syariah.

Padahal sudah menjadi tuntutan syariah, umat Islam hendaknya menjauhkan diri dari segala sesuatu yang meragukan dan yang syubhat. Nabi SAW bersabda :

دع ما يريبك إلى ما لا يريبك

Tinggalkan apa saja yang meragukanmu, untuk menuju apa yang tidak meragukanmu. (HR Tirmdzi dan An-Nasa`i).
 
Maka dalam negara Khilafah, bank syariah yang penuh dengan kesyubhatan ini tidaklah diperlukan lagi.
Namun umat Islam tetap dibolehkan melakukan berbagai akad mudharabah, murabahah, dan musyarakah, dan yang sejenisnya, meski tidak dilakukan oleh institusi bank syariah. Akad-akad tersebut selanjutnya boleh saja dilaksanakan oleh syirkah-syirkah Islami yang didirikan secara khusus untuk tujuan-tujuan perdagangan. Jadi, meski dalam Khilafah tak ada bank syariah, berbagai akad perdagangan seperti mudharabah, murabahah, dan musyarakah, dapat tetap dilaksanakan dalam bentuk syirkah sesuai hukum-hukum syara yang mengatur syirkah. (Asy-Syarawi, Al-Masharif Al-Islamiyah, hal. 554).Alasan Kedua,terkait dengan aktivitas jasa perbankan (khidmat mashrifiyah) dalam berbagai bentuknya, seperti transfer, pinjam meminjam uang (qardh), dan penukaran mata uang. Aktivitas bank syariah kedua ini nanti akan diambil alih oleh Khilafah. Karena ketika Khilafah berdiri nanti, Khilafah akan menyelenggarakan berbagai pelayanan umum (al-khidmat), di antaranya : (1) jasa pos dan telekomunikasi, (2) jasa perbankan (tanpa riba), dan (3) jasa transportasi umum. (Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hal. 105).
Jasa perbankan tersebut, meliputi jasa-jasa seperti transfer, penukaran mata uang, pencetakan dinar dan dirham, dan sebagainya. Jasa-jasa perbankan ini akan dilaksanakan oleh bank-bank negara yang menjadi cabang dari Baitul Mal. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, Juz II, hal. 157)

Jadi, dalam negara Khilafah nanti tidak diperlukan bank-bank syariah seperti yang ada sekarang. Karena berbagai akad perdagangan yang dilakukannya akan dilakukan dalam bentuk pelbagai syirkah yang legal. Sedang jasa-jasa perbankan yang dilakukannya, akan diambil alih oleh bank negara yang menjadi bagian dari institusi Baitul Mal (Kas Negara). Wallahu alam


DAFTAR BACAAN

An-Nabhani, Taqiyuddin, Muqaddimah Al-Dustur, Juz II, (Beirut : Darul Ummah), 2010
Anshori, Abdul Ghofur, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2008
Asy-Syarawi, Ayid Fadhl, Al-Masharif Al-Islamiyah Dirasah Ilmiyah Fiqhiyah li Al Mumarasat Al-Amaliyah, (Beirut : Ad-Dar al-Jamiiyah), 2007
Hafizh, Ramadhan, Mauqif Asy-Syariah Al-Islamiyah min Al-Bunuk wa Al-Muamalat al-Mashrifiyah, (Kairo : Darus Salam), 2005
Saidi, Zaim, Tidak Syarinya Bank Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : Delokomotif), 2010
Soemitra, Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta : Kencana), 2009
Warde, Ibrahim, Islamic Finance Keuangan Islam dalam Perekonomian Global (Islamic Finance in the Global Economy), Penerjemah Andriyadi Ramli, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2009
Zallum,Abdul Qadim,
Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut : Darul Ummah), 2004.

HUKUM MENJATUHKAN TALAK DALAM KEADAAN MARAH


HUKUM MENJATUHKAN TALAK DALAM KEADAAN MARAH

Tanya :

Ustadz, bagaimana hukumnya suami menjatuhkan talak dalam keadaan marah? Apakah jatuh talaknya?

Jawab :

Menurut Wahbah Zuhaili marah (ghadhab) ada dua. Pertama, marah biasa yang tak sampai menghilangkan kesadaran atau akal, sehingga orang masih menyadari ucapan atau tindakannya. Kedua, marah yang sangat yang menghilangkan kesadaran atau akal, sehingga seseorang tak menyadari lagi ucapan atau tindakannya, atau marah sedemikian rupa sehingga orang mengalami kekacauan dalam ucapan dan tindakannya. (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/343).

Para fuqaha sepakat jika suami menjatuhkan talak dalam keadaan marah yang sangat (kategori kedua), talaknya tidak jatuh. Sebab ia dianggap bukan mukallaf karena hilang akalnya (za`il al-aql), seperti orang tidur atau gila yang ucapannya tak bernilai hukum. Dalilnya sabda Nabi SAW,"Diangkat pena (taklif) dari umatku tiga golongan : anak kecil hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga waras." (HR Abu Dawud no 4398). (Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, 5/215; Sayyid Al-Bakri, I’anah al-Thalibin, 4/5; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/343; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 29/9).

Namun fuqaha berbeda pendapat mengenai talak yang diucapkan dalam keadaan marah biasa (thalaq al-ghadbaan). Pertama, menurut ulama mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Hambali talak seperti itu tak jatuh. Kedua, menurut ulama mazhab Maliki, Hambali, dan Syafi’i, talaknya jatuh. (Hani Abdullah Jubair, Thalaq al-Mukrah wa al-Ghadbaan, hal. 19; Ibnul Qayyim, Ighatsatul Lahfan fi Hukm Thalaq al-Ghadban, hal. 61).

Pendapat pertama antara lain berdalil dengan hadits ‘A`isyah RA bahwa Nabi SAW bersabda,"Tak ada talak dan pembebasan budak dalam keadaan marah (laa thalaqa wa laa ‘ataqa fi ighlaq)." (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah). (Musthofa Al-‘Adawi, Ahkam Al-Thalaq fi al-Syari’ah al-Islamiyah, hal. 61).

Pendapat kedua antara lain berdalil dengan riwayat Mujahid, bahwa Ibnu Abbas RA didatangi seorang lelaki yang berkata,"Saya telah menjatuhkan talak tiga kali pada isteriku dalam keadaan marah." Ibnu Abbas menjawab,"Aku tak bisa menghalalkan untukmu apa yang diharamkan Allah. Kamu telah mendurhakai Allah dan isterimu telah haram bagimu." (HR Daruquthni, 4/34). (Hani Abdullah Jubair, Thalaq al-Mukrah wa al-Ghadbaan, hal. 24). 

Menurut kami, yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua, yakni talak oleh suami dalam keadaan marah tetap jatuh talaknya. Alasannya, hadits ‘A`isyah RA meski menyebut talak orang yang marah tak jatuh, tapi yang dimaksud sebenarnya bukan sekedar marah (marah biasa), melainkan marah yang sangat. Imam Syaukani menukilkan perkataan Ibnu Sayyid, bahwa kalau marah dalam hadits itu diartikan marah biasa, tentu tidak tepat. Sebab mana ada suami yang menjatuhkan talak tanpa marah. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1335). 

Kesimpulannya, suami yang menjatuhkan talak dalam keadaan marah dianggap tetap jatuh talaknya. Sebab kondisi marah tidak mempengaruhi keabsahan tasharruf (tindakan hukum) yang dilakukannya, termasuk mengucapkan talak. Kecuali jika kemarahannya mencapai derajat marah yang sangat, maka talaknya tidak jatuh. Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 12 Nopember 2010
Muhammad Shiddiq Al-Jawi

KOREKSI ATAS ARTIKEL SABILI : "MENGUAK HIZBUT TAHRIR"


Baru-baru ini Majalah Sabili (No. 21 TH XVII 13 Mei 2010/28 Jumadil Awal 1431 H, hlm. 50-57) menurunkan sebuah tulisan dengan judul, “Menguak Hizbut Tahrir”.
Sayang, tulisan itu penuh dengan ketidakakuratan dan kekeliruan yang bisa menjurus pada kebohongan dan fitnah. Tidak hanya itu, tulisan ini juga mengesampingkan prinsip-prinsip syar’i dan ilmiah. Pasalnya, tulisan tersebut banyak merujuk pada buku Al-Mawsu’ah al-Maysirah fi al-Adyan wa al-Madzahib al-Mu’ashirah yang dikeluarkan oleh An-Nadwah al-’Alamiyah li asy-Syabab al-Islami (WAMY), dan tidak merujuk pada sumber-sumber primer Hizbut Tahrir. Padahal buku keluaran WAMY itu juga tidak merujuk pada sumber-sumber primer Hizbut Tahrir, tetapi merujuk pada buku lain karya Shadiq Amin yang berjudul Ad-Da’wah al-Islamiyyah Faridhah Syar’iyyah wa Dharurah Basyariyyah.Buku karya Shadiq Amin ini pun dipenuhi dengan fitnah dan kedustaan.
Sepertinya tidak ada upaya sungguh-sungguh dari Sabili untuk mengkonfirmasi langsung perkara yang dituduhkan pada Hizbut Tahrir. Padahal Hizbut Tahrir sangat terbuka untuk itu, apalagi pada Sabili yang selama ini telah terjalin hubungan komunikasi yang sangat baik. Perkara yang ditanyakan kepada Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia hanya tiga perkara, itu pun tidak akurat dalam pengutipan. Misal, saya tidak pernah menyatakan bahwa buku WAMY yang menjadi rujukan tulisan tersebut bagus untuk dibaca. Bagaimana mungkin buku yang tidak akurat dikatakan baik untuk dibaca?
Tulisan tersebut juga kurang akurat dalam hal referensi kitab (buku). Tertulis, misalnya, “Dia (Abdul Qadim Zallum) menulis buku Hakadza Hudimat al-Khilafah.” Perlu diketahui, Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullah tidak pernah mengarang kitab dengan judul demikian, tetapi berjudul, Kayfa Hudimat al-Khilafah.
Di halaman 52 juga ditulis “Tokoh Hizbut Tahrir lainnya adalah Abdurrahman al-Maliki dari Suriah, salah satu tokoh dewan pimpinan partai dan penulis buku Al-‘Uqubat.
Abdurrahman al-Maliki bukanlah tokoh dewan pimpinan partai. Abdurahman al-Maliki juga tidak pernah mengarang buku Al-‘Uqubat. Salah satu buku yang pernah beliau karang berjudul Nizham al-’Uqubat. Buku tersebut juga bukan buku rujukan (mu’tamadah) Hizbut Tahrir.
Batas Perjuangannya 13 Tahun?
Sabili menulis: “Dalam garis perjuangannya, Hizbut Tahrir menentukan batas waktu 13 tahun sejak didirikannya. Artinya, Hizbut Tahrir sudah harus mencapai tampuk pemerintahan selambat-lambatnya 13 tahun. Kemudian batas waktu itu diperpanjang sampai tiga dasawarsa karena pertimbangan kondisi dan karena adanya tekanan yang bertubi-tubi.”
Pernyataan ini tidak pernah diungkap dalam kitab-kitab mutabannat (rujukan), nasyrah(selebaran), ta’mim maupun kutaib yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir. Yang dibahas oleh Hizbut Tahrir adalah batas waktu umat Islam kosong tanpa Khilafah. Dalam konteks penegakkan Khilafah dan pengangkatan seorang khalifah, Hizbut Tahrir justru berpendapat bahwa tenggat waktu yang ditetapkan syariah adalah 3 hari 3 malam. Artinya, kaum Muslim dilarang tidak memiliki seorang khalifah lebih dari 3 hari 3 malam. Ketentuan seperti ini ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat. Ketika Umar bin al-Khaththab ra. tertikam, beliau memberi batas waktu 3 hari kepada dewan syura yang dipimpin oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf untuk mengangkat seorang khalifah. Umar juga berwasiat kepada dewan syura, jika lebih dari 3 hari mereka tidak bisa mengangkat seorang khalifah dari mereka, maka anggota yang menolak akan dibunuh. Untuk melaksanakan wasiat itu, Umar bin al-Khaththab memerintah-kan 50 orang pemuda yang dipersenjatai dengan pedang (Ajhizah Dawlah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 53).
Melalaikan Aspek Ruhani?
Tertulis: “Hizbut-Tahrir melalaikan aspek ruhani. Ruhani dipandang hanya sebagai ide. Hizbut-Tahrir berpendapat, di dalam diri manusia tidak ada gejolak ruhani dan kecerdasan jasadi. Di dalam diri manusia hanya ada kebutuhan dan insting yang harus dipenuhi….”
Pernyataan semacam ini pun tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab mutabannat(rujukan) Hizbut Tahrir. Pandangan Hizbut Tahrir tentang ruh telah dijelaskan panjang lebar dalam Kitab Mafahim Hizb at-Tahrir. Hizbut Tahrir berpandangan bahwa ruh itu memiliki makna ganda. Ruh bisa bermakna nyawa (sirr al-hayah/rahasia hidup manusia) yang menghidupkan kesadaran dan organ manusia. Ruh juga bisa bermakna idrak shillah billah (kesadaran akan hubungan dengan Allah swt). Hizbut Tahrir juga mengenalkan istilah ruhiyyah dan nahiyah ar-ruhiyyah.
Jika yang dimaksud aspek ruhani adalah kesadaran akan hubungan dengan Allah, bagaimana bisa dinyatakan Hizbut Tahrir mengabaikan aspek ruhani? Di dalam kitab-kitab pembinaannya, Hizbut Tahrir selalu menekankan kepada anggotanya untuk berpegang teguh dengan akidah Islam, terikat dengan syariah Islam dan selalu menampilkan perilaku yang berakhlakul karimah sebagai wujud kesadaran hubungan dengan Allah SWT. Hizbut Tahrir mengeluarkan banyak kitab mutabannat yang menekankan kewajiban dan pentingnya terikat dengan akidah dan syariah Islam; misalnya Asy Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 1, Nizham al-IslamMafahim Hizbut Tahrir, dan lain sebagainya.
Untuk mencetak kader dakwah yang memiliki kepribadian Islam yang tinggi, Hizbut Tahrir juga mensyaratkan anggotanya untuk mengkaji kitab Min Muqawwimat an-Nafsiyah al Islamiyah (Pilar-pilar pengokoh Nafsiyah Islamiyah).
Tentang Azab Kubur dan Kemunculan Dajjal
Sabili menulis: “Hizbut Tahrir melarang anggotanya percaya pada siksa kubur dan munculnya Dajjal. Menurut mereka, orang yang memercayainya dipandang sebagai pendosa.”
Lagi-lagi, tak ada satu pun kitab yang menjadi rujukan di Hizbut Tahrir menyatakan hal itu. Dalam masalah-masalah akidah, pandangan Hizbut Tahrir sejalan dengan pandangan para ulama dari kalangan Sahabat, tabi’intabi’ at-tabi’in, dan ulama-ulama mu’tabarlainnya. Intinya, akidah harus dibangun di atas dalil qath’i (pasti), baik tsubut maupundilalah-nya. Dalil yang memenuhi syarat ini hanya al-Quran dan hadis mutawatir yangdilalah-nya qath’i. Adapun terkait hadis ahad, Hizbut Tahrir—seperti pendapat mayoritas kaum Muslim dari kalangan Sahabat dan ulama salafush-shalih—berpandangan bahwa hadis ahad wajib diamalkan (wujub al-‘amal), dan tidak menghasilkan keyakinan (al-‘ilm), dalam pengertian hanya menghasilkan zhann belaka.
Apa yang dipegang oleh Hizbut Tahrir sama persis seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam Muqaddimah Syarh Shahih Muslim:
Khabar ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir, baik perawinya satu atau lebih. Masih diperselisihkan hukum hadis ahad. Pendapat mayoritas kaum Muslim dari kalangan Sahabat dan tabi’in, kalangan ahli hadis, fukaha, dan ulama ushul yang datang setelah para Sahabat dan tabi’in adalah: khabar ahad (hadis ahad) yang tsiqqah adalah hujjah syar’i yang wajib diamalkan; khabar ahad hanya menghasilkan zhann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Kewajiban mengamalkan hadis ahad kita ketahui berdasarkan syariah, bukan karena akal….Sebagian ahli hadis berpendapat bahwa hadis-hadis ahad yang terdapat di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim menghasilkan ilmu (keyakinan), berbeda dengan hadis-hadis ahad lainnya. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan kesalahan pendapat ini secara rinci. Semua pendapat selain pendapat jumhur adalah batil. Kebatilan orang yang berpendapat tanpa hujjah dalam masalah ini telah tampak jelas….Adapun orang yang berpendapat bahwa hadis ahad menghasilkan keyakinan, sesungguhnya orang itu terlalu berbaik sangka. Bagaimana bisa dinyatakan hadis ahad menghasilkan keyakinan (ilmu), sedangkan hadis ahad masih mungkin mengandung ghalath, wahm, dan kadzb? Wallahu a’lam bish shawab (Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim).
Hizbut Tahrir tidak pernah menolak hadis ahad yang sahih, baik yang berkaitan dengan syariah (amal) maupun keyakinan (akidah). Hadis ahad yang berbicara masalah amal (syariah) waijib diamalkan. Hadis ahad yang berbicara tentang keyakinan/akidah cukup dibenarkan (tashdiq). Sebab, hadis ahad itu tidak menghasilkan keyakinan yang pasti (tashdiq al-jazim), tetapi sekadar zhann belaka.
Berkenaan dengan siksa kubur, Hizbut Tahrir tidak pernah menyinggung masalah ini secara rinci di dalam kitab-kitab mutabannat. Hizbut Tahrir juga tidak pernah mengeluarkan instruksi kepada anggotanya untuk tidak memercayai siksa kubur dan kemunculan Dajjal. Yang benar, Hizbut Tahrir meminta kepada anggotanya untuk menerima semua hadis sahih dan melarang anggota mengingkari atau menolak hadis-hadis sahih (baik mutawatir maupun ahad).
Mengabaikan Amar Makruf Nahi Mungkar?
Sabili menulis: “Tokoh-tokoh Hizb al-Tahrir memandang tidak perlu adanya usaha amar ma’ruf dan nahi munkar. Menurut mereka, usaha tersebut pada saat ini merupakan salah satu kendala tahapan pergerakan. Sebab, kewajiban amar makruf nahi munkar merupakah salah satu tugas negara Islam jika telah berdiri”.
Jelas ini pun keliru. Dalam Kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi at-Taghyir disebutkan dengan sangat jelas sebagai berikut:
Amar makruf nahi mungkar termasuk perkara yang Allah wajibkan atas kaum Muslim. Sebab, Allah SWT berfirman: Hendaklah ada di antara kakian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104). Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi kaum Muslim dalam setiap kondisi, baik Daulah Khilafah telah berdiri maupun belum; baik hukum Islam sudah diterapkan di pemerintahan dan masyarakat atau belum. Amar makruf nahi mungkar telah ada pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin dan orang-orang setelah mereka. Amar makruf nahi mungkar tetap fardhu bagi kaum Muslim hingga akhir zaman. Akan tetapi, amar makruf nahi mungkar bukanlah thariqah (metode) untuk menegakkan Khilafah dan mengembalikan Islam dalam kehidupan negara dan masyarakat, walaupun ia merupakan bagian dari aktivitas “melangsungkan kehidupan Islam” karena di dalamnya ada aktivitas mengoreksi penguasa, yakni menyeru penguasa untuk mengerjakan yang makruf dan meninggalkan yang mungkar. Akan tetapi, aktivitas melangsungkan kehidupan Islam berbeda dengan amar makruf nahi mungkar…. (Manhaj Hizbut Tahrir fi al-Taghyir, hlm. 8).
Dari uraian yang tersebut dalam Kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi at-Taghyir jelas, bahwa tidak ada satu pun pernyataan dari Hizbut Tahrir yang menunjukkan pengabaian dirinya terhadap aktivitas amar makruf nahi mungkar. Bahkan perjuangan Hizbut Tahrir di berbagai belahan dunia justru menunjukkan kenyataan sebaliknya. Di berbagai negara, banyak syabab Hizbut Tahrir ditangkap, dibunuh, dan diintimidasi oleh para penguasa zalim dan fasik karena keberanian mereka dalam mengoreksi penguasa dan menyingkap persekongkolan jahat dengan negara-negara kafir imperialis. Tulisan Sabili juga memuat peristiwa penangkapan, penyiksaan serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi syababHizbut Tahrir di berbagai belahan dunia akibat keberanian para syabab Hizbut Tahrir dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar. Lalu bagaimana dia bisa menyatakan tokoh-tokoh Hizbut Tahrir mengabaikan amar makruf nahi mungkar?
Cita-cita Utama: Merebut Kekuasaan?
Pada halaman 55 tertulis “Tergambar bahwa cita-cita utama Hizbut-Tahrir adalah merebut kekuasaan.”
Cita-cita utama Hizbut Tahrir sebagaimana disebut dalam Kitab Hizbut Tahrir adalah sebagai berikut:
Tujuan Hizbut Tahrir adalah melangsungkan kembali kehidupan Islam, mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini bermakna mengembalikan kaum Muslim ke kehidupan islami di Darul Islam dan masyarakat Islam. Di dalamnya seluruh urusan kehidupan masyarakat berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam dan sudut pandang masyarakat adalah halal dan haram di bawah naungan Daulah Islamiyah, yakni Daulah Khilafah, yang di dalamnya kaum Muslim mengangkat seorang khalifah yang dibaiat atas dasar pendengaran dan ketaatan, untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan untuk mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad (Hizb at-Tahrir, hlm. 6).
Benar, kekuasaan dibutuhkan untuk bisa melanjutkan kehidupan Islam, namun itu bukanlah tujuan. Kekuasaan hanyalah thariqah (metode) untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh.
Membolehkan Orang Kafir Menjadi Anggota?
Pada halaman 55 juga dinyatakan: “Orang kafir diperbolehkan menjadi anggota Hizb at-Tahrir.
Pernyataan ini sangat keliru. Pasalnya, Hizbut Tahrir sejak didirikan pada tahun 1953 tidak pernah mengubah pendiriannya. Sejak berdirinya, Hizbut Tahrir hanya beranggotakan kaum Muslim saja. Di dalam Kitab At-Ta’rif (Mengenal Hizbut Tahrir (terj.) dalam bab Keanggotaan Hizbut Tahrir tertulis dengan jelas:
Hizbut Tahrir menerima keanggotaan setiap orang Islam, baik laki-laki maupun wanita, tanpa memperhatikan lagi apakah mereka keturunan Arab atau bukan, berkulit putih ataupun hitam. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai untuk seluruh kaum Muslim dan menyeru umat untuk mengemban dakwah Islam… (Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, hlm. 27, 2008, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor).
Membolehkan Mencium Wanita Asing?
Pada halaman 55 juga dinyatakan: “Boleh berciuman dengan wanita asing (bukan istri), baik disertai nafsu atau tidak.”
Jelas ini adalah tuduhan palsu. Pasalnya, Hizbut Tahrir mengharamkan kaum Muslim mencium wanita ajnabiyyah atau sebaliknya. Keharaman mencium wanita ajnabiyyahatau sebaliknya disebutkan dengan jelas dalam Kitab An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, ed. IV (Mu’tamadah) halaman 53 yang menjadi kitab rujukan utama Hizbut Tahrir: Ciuman seorang laki-laki terhadap wanita asing yang diinginkannya, atau sebaliknya, adalahciuman yang diharamkan.
Tentang Memandang Gambar Porno
Pada halaman 55 pun dinyatakan (mengutip buku keluaran WAMY): “Boleh memandang gambar-gambar porno”.
Pernyataan seperti ini pun tak pernah tercantum dalam kitab-kitab mutabannatnasyrah,ta’mimqarar maupun kutaib yang dikeluarkan Hizbut Tahrir. Al-‘Alim al-’Allam Syaikh Atha’ Abu Rusytah, Amir Hizb, dalam tulisannya telah mengharamkan kaum Muslim melihat gambar porno. Pasalnya, melihat gambar porno adalah wasilah menuju tindak keharaman (Lihat: Website Hizbut Tahrir Pusat).
Ikhtilaf Bukanlah Kesesatan
Majalah Sabili juga mengangkat pendapat-pendapat Hizbut Tahrir yang dikesankan sebagai pendapat sesat dan menyimpang. Padahal pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat islami meski masih dijadikan perdebatan oleh ulama-ulama mu’tabar. Namun sayang, pendapat-pendapat tersebut dikesankan sebagai pendapat aneh dan menyimpang dari Islam. Pada halaman 56, Sabili, misalnya, menyebutkan, “Seorang laki-laki dan perempuan yang berzina dengan salah seorang muhrimnya harus dipenjara selama 10 tahun.
Pernyataan ini berasal dari Kitab Nizham al-’Uqubat karya Dr. Abdurrahman al-Maliki. Namun, redaksinya tidak lengkap. Lengkapnya: “Siapapun yang menikah (bukan berzina) dengan salah seorang mahram yang abadi, seperti ibu dan saudara perempuan, dipenjara 10 tahun.”
Dr. ‘Abdurrahman al-Maliki berpendapat bahwa orang yang menikahi mahram abadinya tidak boleh dikenai had zina, sebab masih ada syubhat akad yang menghalalkan farji seseorang, meskipun akad nikah itu fasid. Pendapat seperti ini juga dipegang oleh ulama Hanafiyah. ‘Abdul Qadir al-Audah dalam kitabnya (At-Tasyri’ al-Jana’i al-Islami, II/363), menyatakan, “Akan tetapi Abu Hanifah sendiri berpendapat, orang yang menikahi ibunya, anak perempuannya, bibi, (mahram abadi), kemudian menyetubuhinya, maka untuk kasus ini tidak dikenai had zina, meskipun mereka mengaku mengetahui hal itu adalah tindakan haram. Untuk kasus semacam ini cukup dikenai hukuman ta’zir.”
Ia melanjutkan, “Imam Abu Hanifah tidak menjatuhkan had untuk kasus semacam ini karena ada syubhat.”
Atas dasar itu, pendapat Dr. ‘Abdurrahman al-Maliki bukanlah pendapat yang menyimpang. Bahkan pendapat ini merupakan pendapat tangguh yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah.
Pada halaman 56 juga dinyatakan bahwa Hizbut Tahrir berpandangan bahwa Negara Islam boleh menyerahkan jizyah (upeti) kepada negara kafir.
Pernyataannya ini juga tidak lengkap. Yang benar, Hizbut Tahrir berpendapat bahwa dalam keadaan darurat Daulah Islam boleh meminta damai dengan kaum kafir dengan menyerahkan sejumlah harta kepada mereka. Pendapat ini juga dikesankan seolah-olah menyimpang dari Islam. Padahal para fukaha empat mazhab telah membahas masalah ini dalam kitab-kitab mereka dan mayoritas mereka membolehkan menyerahkan harta kepada negara kafir dalam keadaan darurat.
Di dalam Kitab Bada’i’ ash-Shanai’ (Kitab Fikih Mazhab Hanafi) disebutkan: “Tidak mengapa kaum Muslim meminta perjanjian damai dari orang kafir yang untuk itu, kaum Muslim harus menyerahkan sejumlah harta, jika keadaannya darurat, berdasarkan firman: Wa in janahu lis salmi fajnah laha. ‘ (Bada’i’ ash-Shanai’, XV/316).
Pendapat senada dikemukakan oleh ulama Malikiyah (Lihat: Qawanin al-Ahkam asy-Syar’iyyah [Kitab Fikih Madzhab Maliki], hlm. 175; maupun Syafi’i dan Hanbali.
Demikianlah, semoga risalah ini mampu menyingkap mana yang benar dan mana yang batil, sekaligus mengembalikan kita pada pangkuan kebenaran dan cahaya persaudaraan karena Allah. WaLlâhu a’lam bi ash-shawâb. 
 

MENGENAL HIZBUT TAHRIR