ISLAM AGAMA SYUMUL

FIRMAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA; "Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan, kerana sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian." [TMQ AL-BAQARAH(2):208]

MASA ITU EMAS


TENTANGAN BAGI AKTIVIS ISLAM YANG PRO DEMOKRASI

Tantangan Bagi Aktivis Islam Yang Pro-Demokrasi

(Kasus wanita dan pemerintahan)


Apa yang paling menarik dari persaingan antara mantan First Lady, Hillary Clinton, dengan Barack Obama dalam memperebutkan dukungan kaum demokrat di Amerika? Berita mengenai bursa pencalonan dalam tubuh Partai Demokrat ini telah menjadi konsumsi masyarakat dunia bak sebuah pertunjukkan yang ending-nya telah dinanti-nantikan.


Menurut saya, yang paling menarik dalam peristiwa ini adalah bahwa sebenarnya proses kampanye itu bukan hanya tertuju kepada konstituen yang ada di sana, tapi ini juga merupakan pertunjukan yang disajikan kepada masyarakat dunia. Apa yang ingin ditunjukkan oleh Bangsa Amerika kepada dunia? Jawabnya adalah “DEMOKRASI“. Siapa pun yang menang diantara dua calon kandidat dari Demokrat maka dia akan berhadapan dengan calon kaum republiken. Dan opsi yang ditawarkan oleh Partai Demokrat tidak lepas dari dua pilihan, yakni : WANITA atau KULIT HITAM. Keduanya adalah sampel terbaik untuk menegaskan bahwa demokrasi merupakan sistem yang tidak pandang bulu, artinya, semua orang memiliki kedudukan dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Jadi, dalam kasus ini, Partai Demokrat merupakan representasi jiwa Bangsa Amerika sebagai Embah-nya demokrasi. Maka sadar atau tidak, kita telah menjadi objek “kampanye demokrasi” yang sangat efektif.


Tapi justru lewat momentum ini, saya ingin menunjukkan betapa sistem demokrasi itu tidak ada islamnya sama sekali. Pertentangan antara demokrasi dengan sistem islam secara filosofis telah kita ributkan tiap hari. Intinya, saya tetap yakin bahwa demokrasi itu sistem kufur, sebab sistem ini telah menjadikan rakyat sebagai satu-satunya pihak yang kehendaknya harus dipatuhi oleh negara. Sedangkan dalam islam, yang wajib dipatuhi hanyalah syara’. Ini saja sudah cukup untuk mengatakan bahwa demokrasi itu bathil, bahkan, super bathil.


Sekarang kita bicara dalam tataran praktis. Dalam demokrasi, pemimpin negara wanita itu mungkin. Kenapa mungkin? Karena kehendak yang wajib ditaati oleh negara adalah kehendak rakyat. Jika rakyat menghendaki Megawati jadi presiden, maka jadilah dia presiden, tidak ada lagi yang perlu digubris, sebab kedaulatan ditangan rakyat. Artinya, kemungkinan adanya kepala negara wanita itu memang ditetapkan oleh falsafah demokrasi itu sendiri dan kemudian diturunkan sampai level undang-undang. Jadi, masalahnya masuk sampai tataran undang-undang.


Nah, sementara dalam pandangan islam, kepala negara wanita itu tidak dibenarkan. Hal itu ditetapkan oleh hukum syara’. Al Bukhariy rahimahullaah meriwayatkan sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dari shohabat Abu Bakrah radliyallahu ‘anhu “lay-yufliha qowmun walaw amrahum imra’atan”. Keharaman mengangkat kepala negara wanita ini bukan hukum syara’ yang jatuh kepada individu, tapi ini adalah hukum syara’ yang harus dijalankan oleh negara. Artinya, aturan islam menetapkan bahwa Negara Islam tidak boleh mengangkat seorang wanita menjadi kepala negara. Maka, Negara Islam diharamkan membuat undang-undang yang membuka adanya peluang tersebut.


Disinilah kita melihat ketidak-harmonisan antara islam dengan demokrasi. Dalam pandangan demokrasi, undang-undang tidak boleh diskriminatif, maka undang-undang yang melarang wanita untuk mencalonkan diri sebagai kepala negara adalah undang-undang yang bathil. Sebaliknya, menurut islam, justru undang-undang yang mengabaikan syariat adalah undang-undang yang bathil. Maka aturan yang mombolehkan wanita untuk diangkat sebagai kepala negara adalah aturan yang tidak benar. Ketidak-harmonisan itu bertumpu pada perbedaan falsafah negaranya, yakni, negara demokrasi itu tunduk kepada rakyat, sedangkan negara islam itu tunduk kepada syara’.


Dengan tanpa meninggalkan sikap hormat, di sini kita tidak bisa mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Syaikh Qordhowi, bahwa demokrasi itu tidak bertentangan dengan islam, karena demokrasi dalam islam adalah demokrasi yang dijalankan oleh orang-orang islam yang taat kepada agamanya sehingga kehendak rakyat itu tidak mungkin menyimpang dari syariah yang mereka imani. Pernyataan itu tidak benar. Sebab, jika demikian, kita juga bisa mengatakan bahwa pemerintahan otokrasi -yang menjadikan raja berkuasa secara absolut itu- juga tidak bertentangan dengan islam. Alasannya persis seperti ungkapan Qordhowi dalam membela demokrasi, yakni: jika sistem otokrasi itu dipegang oleh orang yang sholeh, maka sistem itu tidak mungkin menyimpang dari syariat islam.


Tidak bisa dikatakan demikian, karena kita bicara tentang “ketentuan dalam islam mengenai siapa yang kehendaknya harus ditaati oleh pemerintah/negara?”. Maka masalahnya adalah tentang desain sistem negara yang benar. Bagaimana pun keadaannya, pemerintahan yang hanya mau tunduk kepada rakyat adalah pemerintahan yang tidak benar menurut islam. Demikian juga dengan pemerintahan yang menjadikan raja berkuasa secara absolut. Keduanya memiliki kesalahan filosofis yang sama, yakni tidak menjadikan syara’ sebagai satu-satunya pemegang kedaulatan dalam merumuskan hukum dan aturan. Allaahumma arinal baathila baathila war-zuqnajtinaabahu!


Keharaman Dalam Menerapkan Sistem Demokrasi Bukan Masalah Ijtihadiy


Banyak kaum muslim yang beranggapan bahwa sikap umat islam terhadap sistem demokrasi adalah perkara ijtihadiy. Berangkat dari asumsi itu, mereka tidak membenarkan orang yang ngotot, “memaksakan” pemahamannya kepada seluruh umat islam bahwa demokrasi adalah sistem kufur yang haram untuk diterapkan. Maka melalui tulisan ini, kami ingin menunjukkan bahwa keharaman penerapan sistem demokrasi adalah perkara yang qoth’i, bukan perkara ijtihadiy. Akan kami tunjukkan bahwa sistem demokrasi itu telah mendapat tanggapan dari nash-nash qoth’i yang telah turun pada masa kenabian. Pembahasan di dalam tulisan ini telah kami atur sedemikian rupa agar pembaca bisa memahami alur fikiran kami dalam menarik kesimpulan. Maka dari itu, kami tidak menghendaki tanggapan yang muncul tanpa mengindahkan uraian yang telah kami susun. Wallaahul Musta’aan


Hukum Islam: Ada Yang Qoth’i dan Yang Dzanni


Di dalam islam ada perkara yang tergolong qoth’i (absolut) dan ada pula perkara yang tergolong dzanni (spekulatif). Perkara qoth’i adalah perkara yang ditetapkan oleh dalil-dalil qoth’i, baik dalam aspek keabsahan sumbernya mau pun dalam aspek kekuatan penunjukkannya. Di dalam perkara-perkara yang qoth’i ini umat islam otomatis memiliki kesepahaman. Kesepahaman tersebut terwujud karena dalil-dalil yang membangun perkara-perkara qoth’i itu secara keilmuan memang tidak bisa ditolak oleh umat islam mana pun, baik dari aspek keabsahan sumbernya mau pun dari aspek pemahaman yang ditarik dari sumber tersebut. Siapa saja yang menolak perkara yang qoth’i maka ia digolongkan sebagai orang kafir, meski hanya menolak satu perkara saja. Misalnya, bahwa “Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah yang terakhir” itu termasuk perkara yang qoth’i, siapa saja yang secara sadar dan konsisten menolak pernyataan tersebut maka dia kafir. Di sinilah wilayah hitam dan putih itu dipisahkan. Pilihannya adalah haq atau bathil, islam atau kafir, ide yang islami atau ide yang kufur.


Sedangkan perkara yang dzanni adalah perkara-perkara yang tidak ditetapkan dengan dalil-dalil qoth’i -baik dilihat dari aspek keabsahan sumbernya dan/atau dari aspek pemahaman yang bisa ditarik dari sumber tersebut. Dalam masalah keabsahan sumber, dibutuhkan keahlian khusus untuk meneliti keabsahan suatu hadits. Dalam hal ini, mungkin para ahli bisa berbeda pendapat, sehingga tidak aneh jika terjadi perdebatan. Begitu pula, seandainya mereka bersepakat atas absahnya suatu hadits, belum tentu mereka sepakat terhadap pemahaman yang bisa diambil dari hadits tersebut. Dan masih banyak lagi faktor keilmuan lain yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam perkara yang dzanni ini, baik menyangkut faktor metode maupun non-metode. Maka dari itu, dalam wilayah yang dzanni ini, di samping harus memiliki sikap yang jujur dan “ilmiah”, umat islam juga harus bisa saling menghargai, sebab walau bagaimana pun, semua pihak telah mengerahkan segenap memampuannya untuk menemukan pendapat yang menurutnya paling benar (showab). Inilah wilayah “abu-abu” dalam islam, dan itu terbatas pada perkara cabang, artinya, perbedaan itu tidak menyentuh aspek fondasi dalam islam.


Pengertian Ijtihad


Yang disebut dengan ijtihad dalam disiplin ilmu ushul adalah proses yang dilakukan oleh seseorang -dengan kualifikasi tertentu- dimana dia mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk memahami dalil-dalil syara’ dalam rangka menggali dan menghasilkan hukum amali yang bersifat dzanni. Jadi hasil dari proses ijtihad adalah hukum amali yang bersifat dzanni. Yang demikian itu karena lahan ijtihad terbatas pada dalil-dalil syara’ yang bersifat dzanni. Sebab, tidak ada ijtihad dalam perkara qoth’i.


Dari definisi ijtihad di atas, bisa disimpulkan bahwa sebuah aktivitas itu tidak bisa dianggap sebagai ijtihad jika tidak memiliki tiga karakter berikut:


1. Adanya proses pengerahan segenap kemampuan untuk menggali hukum. Dengan ini berarti juga disyaratkan adanya kemampuan untuk melakukan ijtihad itu sendiri. Sebab, seseorang tidak mungkin bisa mengerahkan kemampuan untuk berijtihad jika dia tidak memiliki kapasitas dalam berijtihad. Secara garis besar, seseorang akan bisa melakukan ijtihad jika dia menguasai kaidah-kaidah yang diperlukan dalam memahami ungkapan-ungkapan berbahasa Arab dan ilmu-ilmu syara’. Dengan kata lain, disyaratkan mengetahui ilmu bahasa dan ilmu tentang dalil. Jika seseorang telah mengerahkan segala kemampuannya yang berkaitan dengan ilmu-ilmu bahasa dan syara’ dalam melakukan penggalian hukum, maka dia dianggap telah berijtihad. Tapi, jika usaha yang dia lakukan dalam mengambil kesimpulan hukum itu belum maksimal, maka dia tidak dianggap telah berijtihad. Misalnya jika dalam benaknya masih ada dalil-dalil yang secara dzahir terlihat bertentangan, tapi pertentangan itu tidak dia selesaikan dan justru langsung menarik hukum dengan sebagian dalil saja, maka dia tidak dianggap telah berijtihad.


2. Bahwa pengerahan kemampuan itu didedikasikan untuk menghasilkan hukum syara’. Maka dari itu, jika seseorang memahami dalil-dalil syara’ hanya sekedar untuk penelitian, bukan dalam rangka menghasilkan hukum untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah, maka dia tidak dianggap telah berijtihad.


3. Bahwa kajiannya haruslah bertumpu pada dalil-dalil syara’, atau minimal syubhatud dalil. Atas dasar itu, pengerahan kemampuan untuk menghasilkan hukum yang tidak bersumber dari dalil syara’ tidak disebut ijtihad. Maka pemikiran yang semata-mata bersandar pada akal atau falsafah asing tidak bisa dianggap sebagai hasil ijtihad. Sedang yang disebut dalil syara’ itu adalah Al Qur’an dan As Sunnah, serta yang disahkan oleh keduanya, yakni ijma’ shohabat dan qiyas yang didasarkan pada illat syar’i.


Menghukumi Sebuah Fakta: Pemahaman Terhadap Nash dan Penelaahan Terhadap Fakta


Apabila suatu hukum telah ditetapkan, baik ditemukan sebagai hukum yang qoth’i mau pun melalui proses ijtihad, maka masalah berikutnya adalah bagaimana menerapkan hukum syara’ tersebut kepada fakta yang tepat. Proses identifikasi fakta ini dinamakan tahqiqul manath (penelaahan terhadap fakta).


Proses tahqiqul manath bukan merupakan ijtihad, sebab yang disebut ijtihad adalah kajian terhadap dalil, yakni menangkap hukum yang ditunjukkan oleh cakupan dalil, baik yang terkandung dalam manthuq (hal yang tersurat), mafhum (hal yang tersirat), mau pun ma’qulnya (berupa illah), juga usaha dalam membangun kesimpulan yang bisa mengintegrasikan semua dalil yang terkait dalam satu tema. Untuk itu dibutuhkan ilmu bahasa arab dan ilmu-ilmu syar’i. Ini berbeda dengan tahqiqul manath, sebab tahqiqul manath hanyalah penelitian terhadap fakta. Di sini tidak dibutuhkan ilmu bahasa arab dan kaidah-kaidah syara’, yang dibutuhkan hanyalah kemampuan untuk mengidentifikasi fakta di lapangan secara akurat, kemudian fakta itu dicocokkan dengan fakta yang ditunjuk oleh dalil. Jika terbukti bahwa fakta yang ditemukan dilapangan itu memang sama dengan fakta yang ditunjuk oleh dalil atau tercakup dalam keumumannya, maka hukum yang telah dipahami dari dalil itu tinggal diterapkan pada fakta yang ditemukan dilapangan.


Contoh proses tahqiqul manath: kita tidak perlu berijtihad untuk menyimpulkan bahwa bunga bank itu haram. Keismpulan itu didapat setelah kita tahu bahwa bunga bank itu adalah riba. Untuk bisa memastikan bahwa “bunga bank itu adalah riba” seseorang tidak harus menguasai ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidah syara’. Cukuplah ia mencari tahu “fakta riba itu seperti apa?” dan “fakta bunga bank itu bagaimana?”, kemudian dibandingkan. Siapa saja yang masih punya akal pasti akan memahami bahwa bunga bank itu sama dengan riba, atau lebih tepatnya, bunga bank itu hakekatnya adalah riba. Padahal hukum riba itu telah jelas diketahui (haram) tanpa harus berijtihad. Ini contoh kasus hukum yang qoth’i (riba). Contoh untuk kasus hukum dzanni misalnya dalam masalah istihadhah. Imam Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i -rahimahumullah- sepakat bahwa istihadhah itu tidak menghalangi aktivitas -maaf- jima’, berbeda dengan imam Ahmad rahimahullah, beliau mengharamkan jima’ pada farj wanita mustahadhoh. Kesimpulan hukum dzanni itu didapat dari proses ijtihad yang dilakukan oleh para ulama melalui penelaahan terhadap dalil-dalil syara’. Sedangkan proses identifikasi yang dilakukan oleh seorang wanita mengenai apa yang terjadi pada dirinya, apakah ia sedang mengalami haidl atau istihadhah, itu bukan proses ijtihad, melainkan tahqiqul-manath.


Menentukan Status Demokrasi Tidak Butuh Ijtihad


Sampailah kita pada masalah demokrasi, apakah ini perkara ijtihadiy atau bukan. Kami berpendapat bahwa fakta demokrasi itu telah disikapi oleh nash-nash yang qoth’i. Kesimpulannya, demokrasi itu sistem kufur dan haram menerapkannya. Kesimpulan kami ini bertumpu kepada tiga hal:


1. Penelaahan terhadap nash-nash syara’ memastikan bahwa hukum itu wajib datang dari syara’ semata. Artinya, ada dalil-dalil qoth’i yang mewajibkan umat islam untuk hanya bertahkim kepada Allah. Dengan ini kami mengatakan bahwa tidak ada tempat untuk berijtihad di dalam masalah menyerahkan urusan hukum kepada selain Allah karena hal itu telah diharam secara qoth’i. Keabsahan dan penunjukkan nash-nash yang mengarah kepada keharaman tersebut telah disepakati oleh umat islam, dan siapa saja yang mengingkari apa yang ditunjuk oleh nash-nash tersebut maka dia kafir. Artinya, siapa saja yang tidak mau berhukum kepada hukum Allah dengan alasan bahwa hukum Allah itu tidak layak bagi manusia, dan ada sumber hukum lain yang lebih baik dari hukum Allah, maka dia kafir. Masalah ini sangat dikenal (ma’lumun min ad diin bidhdhorurah), sehingga saya tidak perlu lagi menampilkan dalil-dalilnya.


2. Kewajiban tunduk kepada hukum syara’ ini tidak hanya jatuh kepada individu, tapi juga jatuh kepada institusi negara. Negara dalam islam dianggap semacam “seseorang” yang memiliki kewajiban untuk terikat kepada hukum Allah. Negara tidak dibenarkan melepaskan diri dari hukum Allah, apa pun alasannya. Maka dari itu umat islam tidak hanya wajib menanamkan aqidah islam dalam dirinya, tapi mereka juga wajib menjadikan islam sebagai aqidah bagi negaranya. Mereka tidak hanya dituntut untuk menegakkan kedaulatan syara’ di dalam dadanya masing-masing, tapi mereka juga wajib menegakkan kedaulatan syara’ di dalam negara yang meraka diami. Dengan demikian, negara akan berfungsi sebagai penegak syariat. Hal-hal yang absolut di dalam islam akan diperlakukan sebagai hukum yang absolut, tidak bisa diganggu gugat. Maka pezina wajib dijilid, pencuri wajib dipotong tangannya, orang murtad wajib dibunuh, zakat wajib dipungut dari warga yang muslim, jizyah wajib diambil dari warga yang kafir yang mampu(dzimmi), jihad ofensif wajib diemban, dsb. Hukum-hukum itu otomatis diberlakukan tanpa meminta persetujuan rakyat, sebab negara dan rakyat sama-sama wajib tunduk kepada hukum islam. Inilah yang dicontohkan oleh rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalankan Negara Islam yang pertama. Adapun dalam hal-hal dzanni, maka keputusannya didasarkan pada ijtihad, bukan suara mayoritas. Negara wajib mengambil satu ijtihad yang menurutnya memiliki dalil yang paling kuat, sebab, hukum syara’ yang dzanni itu memang muncul dari ijtihad, bukan kehendak orang banyak (voting). Adapun masalah di luar penentuan hukum, maka boleh diputuskan dengan suara terbanyak (seperti pemilihan kepala negara), kecuali menyangkut pembahasan bidang keahlian tertentu.


3. Demokrasi pada faktanya tidak sesuai dengan dua poin di atas. Secara formal, negara demokrasi tidak tunduk kepada hukum Allah, tapi dia tunduk kepada kehendak rakyatnya. Negara demokrasi menghamba kepada rakyatnya, bukan menghamba Allah. Ini adalah fakta tentang demokrasi yang tidak bisa diingkari oleh manusia mana pun. Secara teori, negara demokrasi harus meluluskan kehendak rakyatnya tanpa memandang masalah lain (seperti apakah kehendak itu sejalan dengan hukum Allah atau tidak). Maka dari itu, demokrasi tidak peduli dengan masalah kewajiban untuk tunduk kepada hukum Allah. Ini tentu saja bertentangan dengan konsep negara dalam islam, dimana dalam islam, negara itu rancang untuk menegakkan hukum syara’ dan menyebarkanluaskan dakwah.


Atas dasar itu, tanpa harus memiliki kemampuan untuk berijtihad, siapa saja bisa melihat bahwa sistem demokrasi itu memang tidak menjadikan syara’ sebagai tempat kembali dalam menentukan hukum, aturan, dan kebijakan yang diberlalukan oleh negara. Yang dibutuhkan di sini hanyalah proses penelaahan terhadap fakta demokrasi (tahqiqul manath), yang mana, fakta itu telah mendapat tanggapan qoth’i dari syara’ sejak dulu. Faktanya adalah bahwa negara demokrasi itu merupakan institusi yang berhukum kepada rakyatnya, bukan kepada Allah. Allah tidak “diberi” kedudukan formal apa pun dalam sistem demokrasi, justru rakyatlah yang memiliki kedudukan tertinggi. Fakta ini telah dibathilkan secara pasti (qoth’i) oleh nash-nash islam. Maka tidak dibenarkan adanya ijtihad dalam menentukan sikap terhadap demokrasi.


Ada pun perkataan sebagian orang bahwa demokrasi adalah perwujudan hukum masyawarah, itu tidak benar. Karena fakta demokrasi berbeda dengan musyawarah. Rasulullah shollallahu ‘alihi wa sallam sering bermusyawarah dan voting, tapi voting beliau itu bukan dalam rangka menentukan hukum. Sebab, dalam masalah hukum, rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya akan memutuskan dengan wahyu saja, tidak dengan voting. Masalah ini sangat dipahami oleh para shohabat, sehingga mereka tahu dalam hal seperti apa mereka bisa memberi masukan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya menjelang perang Uhud diadakan musyawarah dan voting terkait dengan masalah apakah kaum muslimin akan menghadapi Quraisy di dalam kota Madinah atau di luar kota Madinah. Musyawarah dan voting ini bukan dilakukan dalam rangka menentukan hukum perang, sebab hukum perang telah ditetapkan oleh nash. Voting juga tidak dilakukan dalam menentukan hukum berperang di dalam kota dan di luar kota, sebab kedua opsi itu hukumnya sudah tidak dipermasalahkan lagi, yaitu mubah. Syara’ membolehkan mereka untuk memilih salah satu di antara dua opsi tersebut. Artinya, voting tersebut dilakukan untuk memilih salah satu diantara dua pilihan aktivitas yang sama-sama mubah, bukan dalam rangka menentukan hukumnya. Kesimpulannya, voting boleh dilakukan dalam rangka menjatuhkan pilihan terhadap salah satu hal di antara hal-hal yang boleh dilakukan, bukan dalam menentukan hukumnya, sebab hukum Allah (penentuan halal-haram) tidak bisa ditetapkan dengan voting.


Sedangkan orang yang mengatakan bahwa menjalankan demokrasi adalah tindakan yang diambil dalam kondisi darurat, maka itu tidak benar. Bagaimana pun kondisinya, menjalankan demokrasi itu bukan satu-satunya pilihan. Sebab darurat secara syar’i adalah sesuatu yang memberikan desakkan yang bersifat mematikan sehingga mau/tidak-mau desakan itu harus dihindari. Misalnya, seseorang yang dipaksa menjalankan demokrasi karena adanya ancaman pembunuhan keluarga, maka langkah darurat diambil sepanjang ancaman itu masih wujud. Jika ancamannya hilang, maka kembali kepada keadaan normal. Namun patut dicatat bahwa desakan seperti itu hanya dialami oleh individu tertentu, dan tidak dialami oleh semua orang, sehingga hukum darurat tidak bisa diberlakukan kepada seluruh umat islam -hanya karena desakan mematikan yang menimpa segelintir orang. Maka dari itu, langkah darurat untuk mengakui demokrasi tidak bisa diambil oleh sebuah partai atau jama’ah islam hanya karena serangan mematikan yang dialami oleh anggota-anggotanya. Namun demikian, anggotanya secara personal bisa mengambil langkah darurat, meski pun dalam hal yang mengancam keselamatan diri, mengambil langkah sabar lebih utama.


Ini dari satu sisi, dari sisi lain, bagaimana pun keadaannya, kita tetap tidak boleh mengeluarkan seruan umum kepada umat bahwa demokrasi itu benar. Sebab, para ulama tidak pernah menghalalkan yang haram dalam kondisi darurat, namun mereka selalu menjelaskan bahwa kobolehan mengambil sesuatu yang haram dalam kondisi darurat itu hanyalah rukhshoh. Penjelasan itu dilakukan dengan tidak menutup-nutupi hukum azimah-nya (aslinya) yang haram. Di saat makan babi dibolehkan karena tidak ada pilihan lain, maka para ulama tidak menipu umat dengan mengatakan bahwa babi itu halal. Mereka tetap menjelaskan hukum azimahnya bahwa babi itu haram. Atas dasar itu, jika umat islam yang mengambil demokrasi itu memang menganggap bahwa ikut menjalankan sistem demokrasi adalah langkah darurat, maka mereka tetap wajib menjelaskan kepada ummat bahwa azimahnya adalah haram, tidak boleh taqiyah, tidak menipu umat, dan tidak boleh menyembunyikan kebathilan demokrasi dari mata umat.


Bagaimana Dengan Umat Islam Yang Pro-Demokrasi?


Mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Allah itu jelas kafir, tidak ada perdebatan lagi. Namun, kita tidak bisa secara umum mengkafirkan orang islam pro-demokrasi (hal ini perlu dibahas karena ada sebuah jama’ah yang mengkafirkan mereka secara umum). Memang, kami katakan sistem demokrasi sendiri sistem kufur, artinya, ia merupakan sistem yang tidak islami. Tapi orang yang membelanya belum tentu kufur. Hal itu karena diantara mereka ada yang salah dalam memahami fakta demokrasi. Mereka tidak bermaksud mengingkari nash-nash qoth’i tentang kewajiban berhukum kepada hukum Allah. Namun, mereka telah enghayalkan konsep demokrasi dengan cara mereka sendiri sehingga seolah-olah ia tidak bertentangan dengan nash. Misalnya, mereka mengatakan, demokrasi itu adalah sistem yang tidak akan menggoyang hal-hal yang telah tetap dalam islam, atau perkataan mereka, demokrasi bagi umat islam tidak akan membahayakan syariat karena kehendak rakyat islam tidak mungkin akan menyalahi syariah yang mereka imani. Itulah diantara perkataan mereka. Konsep demokrasi hayali itu sebenarnya hanya ada dalam kepala. Ia berbeda dengan realitas demokrasi yang ada di dunia nyata. Ia juga berbeda dengan demokrasi yang dipahami oleh penduduk dunia. Dan pada faktanya, demokrasi di negeri-negeri islam tetap menabrak hal-hal yang bersifat syar’i. Dan pada faktanya, tidak akan ada negara demokrasi yang menjadikan syara’ sebagai pemegang kedaulatan mutlak. Bahkan, bukan demokrasi namanya kalau masih ada hal yang dianggap berdaulat secara absolut selain rakyat. Setiap suara yang mengemuka dalam demokrasi itu secara formal wajib didengar, padahal, rakyat itu tidak mungkin 100% setuju dengan islam.


Lantas bagaimana dengan status orang yang menjalankan sistem demokrasi? Jika ia yakin bahwa kehendak rakyat itu mutlak lebih baik dan lebih harus ditaati dari pada nash-nash syara’, maka dia kafir secara pasti. Sebab dia menganggap bahwa rakyat lebih baik keputusannya dari pada Allah. Namun, jika dia menaati kehendak rakyat karena merasa tidak mampu melawan, atau karena takut kehilangan jabatan, tanpa mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum Allah, maka dia telah bermaksiat dengan kemaksiatan yang besar, meski dia tidak kafir, tapi dia harus bertobat.


Kesimpulan


Proses tahqiqul manath telah memastikan bahwa sistem demokrasi itu menempatkan rakyat sebagai sumber kedaulatan, artinya, rakyat adalah tuan yang mutlak harus ditaati. Padahal, nash-nash syara’ telah memberi ketentuan yang tegas/qoth’i, bahwa berhukum kepada selain Allah adalah bathil. Maka dari itu, tidak ada ijtihad dalam menentukan status sistem demokrasi. Sebab, tidak ada ijtihad jika telah ada nash yang qoth’i.


Allahumma arinal-haqqo haqqo warzuqna-tiba’ah, wa arinal-bathila bathila war zuqna-jtinabah.

0 comments:

Post a Comment



 

MENGENAL HIZBUT TAHRIR