SEJARAH WAHABISME
1. Sekilas Tentang Wahabi ; "Salafy Gaya Baru"
Gerakan ini muncul ditengah-tengah kemunduran Negara Islam di semenanjung Arab. Ahmad Jawdat Pasha, dan Ayyub Sabri Pasha (w.1308 H /1890 M), juru bicara dan laksamana muda pada kekhilafahan Utsmani ke-34 (dimasa Sultan Abdul Hamid di Turki), keduanya sempat menulis buku sejarah yang menjelaskan Wahabi secara detail [Bab ke-7 Tarikh-i Utsmani bab ke-3 dari 5 bab Mirat al-Haramain (h. 99. Turkish, the Library of Sulaimaniyya).]. Sebagian tulisan berikut diambil dari buku terjemahan Ahmad Zaini (w. 1308 H) ‘fitnat al-Wahhabiyya’
Wahabisme didirikan oleh Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab. Dia lahir di Huraimila di Najd pada 1111 H (1699 M) dan wafat 1206 H (1791 M). Saat berada di Basra pada1125 H. Dia dijebak oleh perangkap yang dipasang oleh Hempher, seorang agen Inggris, dan dipersiapkan untuk menghancurkan Islam. Hal ini bisa dibaca dibuku "Confessions of A British Spy" (Pengakuan Seorang Agen Inggris) yang memberikan informasi detail tentang pendirian Wahabi.
Gerakan wahabi diorganisasi untuk mendirikan suatu kekuatan dalam masyarakat di dalam Khilafah yang dipimpin oleh Muhammad bin Saud lalu anaknya Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Gerakan in berupaya merampas wilayah kaum muslimin dan memberontak (bughat) mereka ini dibantu oleh Inggris, mereka ingin mengatur wilayah tersebur dengan madzhab yang mereka anut dan menghilangkan madzhab lain dengan kekuasaan. Kuwait diduduki tahun 1788, mengepung Baghdad dan berusaha merebut Karbala dan makam Hussain ra, untuk dihancurkan dan melarang kaum muslimin untuk mengunjunginya. Tahun 1804 mereka menyerang Mekah dan mendudukinya, 1804 menduduki Madinah. Mereka menghancurkan kubah besar yang menaungi makam Rasulullah, lalu memereteli batu perhiasan dan ornamen disana yang amat berharga. Kota Damaskus diserang dua kali, meski akhirnya mereka dikalahkan dan diusir oleh penduduk disana. Gerakan ini diprovokasi dan didukung Inggris, keluarga Saud adalah agen mereka, mereka memanfaatkan madzhab wahabi, yang merupakan salah satu madzhab Islam (Hambaliyah) dan pendirinya adalah seorang mujtahid. Inggris bermaksud memanfaatkan mereka untuk menimbulkan perang antar madzhab didalam Khilafah Utsmaniyah, sayangnya kebanyakan pengikut Wahabi tidak menyadari bahwa mereka dimanfaatkan oleh Ibn Saud yang merupakan antek Inggris.
Sedang al-'Alamah Syaikh Abdul Qadim Zallum dan Syaikh Muhammad Umar Bakri [Rektor Universitas Islam London] meringkas sejarah Wahabi sebagai berikut:
"Awalnya, Syaikh Abdul Wahab mendakwahkan pendapatnya secara individual, kemudian ketika dia dimusuhi dan diusir oleh penduduk Basrah. Kemudian dia bertemu dengan Ibn Saud yang kemudian mendukung dakwahnya. Dari sebuah gerakan pemikiran gerakan ini berubah menjadi gerakan politik yang mengancam Negara Islam saat itu. Gerakan in berupaya merampas wilayah kaum muslimin dan memberontak, mereka dibantu oleh Inggris, mereka ingin mengatur wilayah tersebur dengan madzhab yang mereka anut dan menghilangkan madzhab lain dengan kekuasaan. Kuwait diduduki tahun 1788, mengepung Baghdad dan berusaha merebut Karbala dan makam Hussain ra, dihancurkan dan melarang kaum muslimin untuk mengunjunginya. Tahun 1804 mereka menyerang Mekah dan mendudukinya, 1804 menduduki Madinah. Mereka menghancurkan kubah besar untuk menaungi makam Rasulullah dan memereteli batu perhiasan dan ornamen disana yang amat berharga. Damaskus diserang dua kali meski akhirnya mereka dikalahkan penduduk disana. Gerakan ini diprovokasi dan didukung Inggris, keluarga Saud adalah agen mereka, mereka memanfaatkan madzhab wahabi, yang merupakan salah satu madzhab Islam (Hambaliyah) dan pendirinya adalah seorang mujtahid. Inggris bermaksud memanfaatkan mereka untuk menimbulkan perang antar madzhab didalam Khilafah Utsmaniyah, sayangnya kebanyakan pengikut Wahabi tidak menyadari bahwa mereka dimanfaatkan oleh Ibn Saud yang merupakan antek Inggris.
Tahun 1740 adalah saat bersejarah bagi gerakan ini karena Muhammad bin Saud, pemimpin bani Anzah di ad-Dir’iyyah menyatakan dukungannya dalam menyebarkan madzhabnya disana. Pada 1747, Ibn saud menyatakan persetujuan dan dukungan pada pemikiran dan pendapat Abdul Wahab. Berikut petikan “bai’at” diantara keduanya yang kami kutip dari buku Wahabi sendiri : Emir Muhammad bin saud berkata: Wahai syeikh, aku akan berbai’ at (menyetakan kesetiaan) kepada anda untuk membela agama Allah dan Rasulnya dan untuk berjihad di jalan Allah. Namun aku khawatir, jika anda kami dukung dan kami bela lalu Allah memenangkan anda atas musuh-musuh Islam, jangan-jangan anda akan memilih negeri lain untuk berpindah kesana dan meninggalkan negeri kami”. Syeikh Abdul Wahab menjawab: Saya tidak berbai’at kepada Tuan untuk tujuan semacam itu. Saya berbai’at kepada Tuan untuk menegaskan tekad, bahwa darah harus dibayar dengan darah, penghancuran harus dibalas penghancuran. Saya tidak akan keluar dari negeri tuan selamanya. [Ben Baz, ‘Abdul ‘Azis bin ‘Abdullah, Al-Imam Muhammad ibn ‘Abd el-Wahhab Da’watuhu wa siratuhu, hal.38-9, diterbitkan oleh KERAJAAN ARAB SAUDI)]
Dari aliansi inilah gerakan Wahabi didirikan dan muncul dengan bentuk dakwah dan pemerintahan. Kemudian mereka menyebarluaskan pengaruhnya didaerah-daerah seputar ad-Dir’iyyah dan dalam 10 tahun mereka berhasil memiliki wilayah 30 mil. Padahal saat itu negara Khilafah masih berdiri dengan segala kekurangannya, maka bagaimana mungkin seorang ulama yang mengatakan ‘’mengikuti manhaj salaf’’ kemudian ia menyelisihi masalah yang sudah difahami dalam Islam bahwa tidak boleh ada dua orang imam. Dalam hadits riwayat Imam Muslim disebutkan: “Jika dibai’at dua orang khalifah maka bunuhlah yang kedua”. Maka siapakah yang terkategori sebagai bughat (pemberontak) pada pemerintah yang sah yang harus diperangi dalam kasus ini???. Lalu apakah berperang melawan daulah Khilafah adalah terkategori jihad fi sabilillah seperti yang disebutkan dalam “bai’at” diatas. Sungguh pendapat yang sangat aneh.
Bahkan rasul mengatakan dalam hadisnya yg sering dinukil oleh kelompok wahabi - salafi : “…Dan hendaknya kamu berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Para Khulafa’ Ar-rasyidin ….. (HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim). Bukankah dalam hadis ini Rasul memerintahkan kpd umat Islam agar mengikuti sunnah beliau dan sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin, bukan diperintahkan untuk mengikuti Abu bakar, Umar, Utsman, dan Ali sebagai individu sahabat. Padahal jabatan Khalifah adalah jabatan kenegaraan tertinggi dalam struktur daulah islamiyyah semenjak masa Nabi SAW !!!!? Bahkan mereka Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali meninggal dengan status sebagai amirul mukminin atau Khalifah umat Islam. Bahkan Umar dan Utsman terbunuh karena jabatan mereka sebagai Khalifah umat Islam ! Lalu kenapa Wahabi - Salafi yg mengklaim penerus manhaj Salaf, tidak mengambil sunnah Nabi dan para Khulafa’ Ar-Rasyidin dalam hal bentuk negara yaitu Daulah Khilafah, malah mendukung Kerajaan Saudi yg sejak awal memproklamirkan dirinya sebagai negara kerajaan bukan ‘Daulah Khilafah’.
Tahun 1787 Abdul Azis (putra Ibn Saud) mendirikan Dewan Imarah (sistem kepemimpinan turun temurun). Sekelompok orang yang dipimpin Muhammad bin Abdul Wahab dikumpulkan, didepan mereka Abdul Azis menegaskan bahwa hak Imarah ditentukan hanya oleh keluarganya dan disepakatilah hal itu oleh mereka. Dari sini jelas sekali, Abdul Wahab menyelisihi apa-apa yang difahami oleh Rasulullah dan para sahabat dan para ulama yang mengikuti jalannya yang lurus, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits dalam shahih Muslim diatas bahwa metode untuk mengangkat Khalifah adalah dengan bai’at bukan mewariskan kekuasaan pada anaknya. Demikian pula kepemimpinan madzhab Wahabi telah ditentukan untuk keluarga dan keturunan Abdul Wahab.
Tahun 1788, Abdul Azis memberangkatkan pasukan yang sangat besar dan bersenjata lengkap menyerang dan merampas Kuwait dari Daulah, padahal dulu Inggris yang melakukan terlebih dulu dilawan oleh Daulah dan ditentang pula oleh Rusia Jerman dan Perancis karena dianggap ingin mencaplok Turki sendirian. Kedekatan dan kesetiaan keluarga Saud pada Inggris diketahui dengan pasti oleh Daulah dan negara besar lainnya saat itu. Inggris juga tidak pernah menyembunyikan fakta bahwa mereka mendukung Saudi sebagai sebuah negara, dengan mengirimkan senjata dan dana.
Disisi yang lain, Muhammad bin Abdul Wahhab juga berpendapat bahwa barang siapa berziarah kemakam Rasulullah, mereka tidak boleh mengqashar shalatnya saat diperjalanan karena tujuannya perjalanannya adalah untuk berbuat dosa berdasarkan: La tusyaddul rihaalu illa tsalatsati masaajida : masjidiy hadzaa, walmasjidil haram walmasjidil aqsha [HR. Bukhari & Muslim]. Sedang madzhab lain tidak berpendapat demikian, berdasarkan: Kuntu nahaytukum ‘ an ziyaarotil qubuuri alaa fazuruhaa [HR. Muslim, Ahmad, Turmudzi, & Ibnu Majah]. Dengan demikian berziarah kemakam Rasulullah lebih utama dibanding lainnya. Dan hadits Abdul Wahhab diatas dikhususkan untuk ziarah kemasjid-masjid saja, karena sifatnya tidak umum “Janganlah bersusah payah melakukan perjalanan kecuali ketiga masjid”, jadi berziarah pada masjid hanya untuk tiga masjid diatas saja.
Perbedaan antara Abdul Wahhab dan penganut madzhab lain semakin meruncing dan dia dianggap keliru dan bertentangan dengan apa yang mereka fahami dari al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga ia diusir dari negerinya. Tahun 1740, ia meminta perlindungan dari Muhammad bin Saud, pemimpin bani Anzah di ad-Dir’iyyah dan menyebarkan madzhabnya disana. Pada 1747, Ibn saud menyatakan persetujuan dan dukungan pada pemikiran dan pendapat Abdul Wahab.Berikut petikan "bai'at" diantara keduanya: Emir Muhammad bin saud berkata: Wahai syeikh, aku akan berbai'at (menyetakan kesetiaan) kepada anda untuk membela agama Allah dan Rasulnya dan untuk berjihad di jalan Allah. Namun aku khawatir, jika anda kami dukung dan kami bela lalu Allah memenangkan anda atas musuh-musuh Islam, jangan-jangan anda akan memilih negeri lain untuk berpindah kesana dan meninggalkan negeri kami”. Syeikh Abdul Wahab menjawab: Saya tidak berbai’at kepada Tuan untuk tujuan semacam itu. Saya berbai’at kepada Tuan untuk menegaskan tekad, bahwa darah harus dibayar dengan darah, penghancuran harus dibalas penghancuran. Saya tidak akan keluar dari negeri tuan selamanya" . [Al-Imam Muhammad ibn ‘Abd el-Wahhab Da’watuhu wa siratuhu, Syeikh ‘Abdul ‘Azis bin ‘Abdullah bin Baz, hal.38-9, terjemahan, diterbitkan oleh KERAJAAN ARAB SAUDI]
Dari aliansi inilah gerakan Wahabi didirikan dan muncul dengan bentuk dakwah dan pemerintahan. Kemudian mereka menyebarluaskan pengaruhnya didaerah-daerah seputar ad-Dir’ iyyah dan dalam 10 tahun mereka berhasil memiliki wilayah 30 mil. Padahal saat itu negara Khilafah masih berdiri dengan segala kekurangannya, maka bagaimana bisa seorang ulama yang mengatakan mengikuti manhaj salaf kemudan menyelisihi masalah yang sudah difahami dalam diin ini bahwa tidak boleh ada dua orang imam. Dalam hadits riwayat Imam Muslim disebutkan: "Jika dibai’at dua orang khalifah maka bunuhlah yang kedua" (HR. Bukhari).
Maka siapakah yang terkategori sebagai bughat yang harus dibunuh dalam kasus ini ?. Lalu apakah berperang melawan daulah Khilafah adalah terkategori jihad fi sabilillah seperti yang anda katakan wahai syaikh, apa anda akan melakukan futuhat atas daulah Khilafah ? jika ya, apakah anda akan menggantikan Daulah Khilafah dengan Daulah Saud atau Daulah Wahabiyah ?.
Muhammad Ibn Abdul Wahab melakukan kesalahan besar karena mendukung Muhammad Ibn Su’ud untuk memberontak melawan para Khalifah dari Bani Utsmaniyah, apapun alasannya. Ada 4 hal yang menjelaskan kesalahannya, sebagai berikut :
1. Para ulama sepakat tentang keharamannya melawan dan memberontak kepada Khalifah yang sah, bahkan Imam Ath-Thahawi memasukkan larangan melawan perintah (yaitu Khalifah) sebagai bagian dari aqidah kaum muslimin, ia berkata ‘’Adamul khuruj alal aimah (tidak boleh memberontak melawan para imam)’’ .
2. Motif dari pemberontakan ini adalah nasionalisme dan fanatik madzhab. Dimana kedua hal ini adalah diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Nabi SAW berikut : ‘’Bukan termasuk golongan kami, mereka yang berperang karena ashobiyah’’ (HR. Muslim).
3. Terdapat pengakuan dari agen Inggris bahwa ia telah memperalat Muhhamad Ibn Su’ud untuk memberontak melawan Khalifah, kemudian Muhhamad Ibn Su’ud memperalat Muhammad Ibn Abdul Wahab.
4. Islam memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi para penguasa, selama mereka belum menunjukkan kekufuran secara jelas dan keluar dari jalur Islam secara nyata. Sabda Rasul SAW : "Barangsiapa yang mendapatkan dari pemimpinnya sesuatu yang ia tidak sukai, maka hendaknya ia bersabar karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah satu jengkal, kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah" (HR. Bukhari dan Muslim).
Ubadah Ibn Ash-Shamit ra. Meriwayatkan bahwasanya ia pernah dipanggil oleh Rasul SAW kemudian berba’iat (bersumpah) kepadanya. Beliau bersabda : "Sesungguhnya kami berba’iat untuk mendengar dan taat, baik pada waktu suka ataupun tidak suka, baik pada waktu sulit maupun lapang, dan tidak bersikap mementingkan diri sendiri, dam supaya kami tidak melanggar perintah, kecuali jika kami melihat kekufuran yang merupakan isyarat dari Allah yang terbukti kebenarannya" (HR. Al-Bukhari). Dan Rasulullah SAW berpesan agar seorang mukmin bersabar atas kejahatan penguasa mereka, sebagaimana hadis berikut : “Barangsiapa yang melihat pada amirnya terdapat satu hal yang dia benci hendaknya i(tetap) bersabar.” (Hadits dalam As-Sunnah Ibnu Abi Ashim 1101) dan hadis yang lain : “Adapun sesudah itu, sesungguhnya kamu akan melihat sikap atsarah (egois dan suka melebihkan orang lain selain kamu) maka bersabarlah sampai kamu berjumpa denganku.” (Ibid 1102). Sehingga tidak alasan bagi Muhammad Ibn Wahab untuk mendukung Muhammad Ibn Su’ud (yang didukung oleh Inggris) untuk memberontak melawan Khalifah yang sah, sekalipun dalam pandangannya sang Khalifah telah melakukan sejumlah kesalahan. Karena selama seorang Khalifah tidak melakukan kekufuran yang nyata, maka wajib baginya untuk tetap mentaatinya.
Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani rahimahullah menjelaskan hadis tersebut sebagai berikut : ‘’Kita tidak boleh menentang para pemimpin kita (penguasa) dalam menjalankan kepemimpinannya, dan janganlah menolak mereka kecuali jika kita telah jelas-jelas melihat mereka melakukan kekufuran serta keluar dari tuntutan Islam. Jika kita telah menyaksikan hal itu, maka wajib bagi kita menegur dengan lisan dan dengan hati. Kita tidak boleh (haram) keluar dari barisan, apalagi berusaha memerangi, sebelum segala sesuatunya jelas dan mendapat persetujuan dari mayoritas kaum muslimin lainnya. Ibn At-Tiin, dari Ad-Daudi mengatakan : "Yang wajib dilakukan oleh para ulama dalam menghadapi penyelewengan para pemimpin, yaitu bagaimana caranya dapat menurunkannya tanpa harus diwarnai fitnah dan perbuatan dzalim. Jika tidak demikian, maka mereka itu (para ulama) wajib untuk tetap berlaku sabar" (Lihat Kitab Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani, jilid 13\hal.8). Wajar kalau akhirnya sejumlah ulama termasuk mufti daulah kala itu, mengeluarkan fatwa bahwa pemberontakan yang dipimpin oleh Muhammad Ibn Su’ud (yang didukung oleh Inggris) dan didukung oleh Muhammad Ibn Wahab adalah tindakan Khawarij (firqah yang mengkafirkan dan menghalalkan darah dari Muawiiyah - Ali serta sebagian besar sahabat karena mereka anggap tidak berhukum dengan hukum Allah). Hal sama juga dilakukan oleh gerakan Ibn Su’ud yang didukung ‘firqah wahabiyaah’ dengan mengkafirkan dan menghalalkan darah para Khalifah dari Bani Utsmaniyah dan para pendukungnya ditanah Hijaz dengan kedok memerangi tahayul, bid’ah dan khurafat; padahal tujuan sebenarnya adalah kekuasaan. Berikut fatwa dari para Ulama tentang status pemberontakan Ibn Su’ud dan para pendukungnya :
1. Al-Sayyid al-`Alawi ibn Ahmad ibn Hasan ibn `Abd Allah ibn `Alawi al-Haddad dalam kitabnya yang berjudul ‘’Misbah al-anam wa jala' al-zalam fi radd shubah al-bid`i al-Najdi al-lati adalla biha al-`awamm’’ ["Penerang makhluk dan kekuatan penerang atas kegelapan, dalam rangka membantah syubhat - bidah dari Najd dimana Ia telah menyesatkan Orang awam"] diterbitkan pada tahun 1325 H.
2. Al-Sayyid Ahmad ibn Zayni al-Dahlan ( w. 1304 H/1886 M). Mufti kota Mekkah dan Sheikh Al-Islam di wilayah Hijaz (yang saat itu masih merupakan bagian dari Kekhilafahan Turki Utsmani) dalam kitabnya yang berjudul ‘’ Khulasat al-kalam fi bayan umara' al-balad al-haram ["Tambahan keterangan Mengenai Para pemimpin dari Negeri Al-Haram] yang berisi sejarah berkenaan dengan fitnah Wahhabi di negeri Najd dan Hijaz) hal. 234-236.
Kemudian pada tahun 1765 Muhammad bin Saud wafat, digantikan putranya Abdul Aziz. Beliau tidak melakukan aktivitas gerakan atau perluasan sebagaimana bapaknya dan gerakan ini tertidur atau stagnan sampai pada 41 tahun setelah kemunculannya, 1747-1788, atau 31 tahun sejak masa stagnasi, 1757-1788, gerakan ini tiba-tiba memulai aktivitasnya. Gerakan Wahabi memulai dengan metode baru untuk menyebarkan madzhabnya sehingga dapat dikenal luas yang menimbulkan kegoncangan diseluruh negara Islam. Tahun 1787 Abdul Azis mendirikan Dewan Imarah (sistem kepemimpinan turun temurun). Sekelompok orang yang dipimpin Muhammad bin Abdul Wahab dikumpulkan, didepan mereka Abdul Azis menegaskan bahwa hak Imarah ditentukan hanya oleh keluarganya dan disepakatilah hal itu oleh mereka. Dari sini jelas sekali Abdul Wahab menyelisihi apa-apa yang difahami oleh Rasulullah dan para sahabat dan para ulama yang mengikuti jalannya yang lurus, apa beliau tidak pernah membuka kitab-kitab ulama salaf yang menjelaskan bahwa para sahabat menyalahkan pendapat Mu’awiyah yang mewariskan kekuasaan pada anaknya, lalu dengan apa dia membina umat yang terkungkung dengan sistem pemerintahan yang menyalahi sunah Rasulullah seperti bentuk republik dan kerajaan yang dia ikuti. Demikian pula kepemimpinan madzhab Wahabi telah ditentukan untuk keluarga dan keturunan Abdul Wahab.
Satu hal yang wajar jika mereka punya pendapat-pendapat yang nyeleneh dalam masalah siyasah Islamiyah karena madzhab mereka memandang sekarang ini harus memperbaiki kerusakan umat dengan memulainya dengan akidah Islam (versi mereka), sehingga harus mengkaji akidah sampai benar-benar kuat akidah yang dimiliki. Siapapun sepakat bahwa dalam ber-Islam harus dimulai dengan akidah yang benar, namun jika kemudian mengklaim bahwa konsepsi akidah mereka adalah yang paling benar dan yang lain bid’ah atau bahkan kafir sungguh mereka telah menyimpang jauh dari para ulama yang merumuskan konsep akidah yang mereka pegang.
Lalu mereka terus mengklaim bahwa dakwah merekalah yang paling “nyunah” dan yang lain sesat. Coba anda tanyakan pada mereka, apakah Rasulullah dan para sahabat mengkaji akidah dengan kitab-berjilid-jilid seperti mereka untuk bisa disebut memiliki akidah Islam yang baik. Apakah ketika umat mengalamai kerusakan dalam masalah ekonomi diakibatkan ekonomi kapitalis kemudian akan kita katakan : ‘’kajilah akidah Islam bersama kami’’. Apakah ketika sistem demokrasi diterapkan ditengah-tengah umat dan mereka meyakininya dengan baik, kemudian anda katakan: ‘’musuh Islam adalah aliran sesat seperti Mu’tazilah, syi’ah, jahmiyah dan Rafidah’’. Coba anda lihat bagaimana Ibnu Taimiyah ketika negara Islam dihancurkan tentara Mongol, beliau bangkit mengangkat senjata bersama umat untuk menegakkannya kembali dan berfikir realistis bahwa untuk menegakkan hukum Islam dalam negara tidaklah dengan duduk-duduk dimasjid dan menyalahkan kaum muslimin lain yang berjuang yang belum tentu seperti yang anda katakan, mohon tahu dirilah wahai saudaraku!!!
Pada tahun 1344 H, mereka menghancurkan pemakaman Baqi’ dan peninggalan-peninggalan keluarga Rasul dan sahabatnya. Untuk mendapatkan fatwa ulama Madinah mereka mengurus Hakim Agung Nejd, Sulaiman bin Bulaihad, guna menanyakan fatwa ulama disana dengan menyelipkan pendapat Wahabi tentang masalah yang ditanyakan. Maksudnya agar para ulama disana menjawab dengannya atau dianggap kafir dan jika tidak bertaubat maka akan dibunuh.
Soal jawab ini dimuat dimajalah Ummul Qura, terbitan Makkah, bulan Syawal tahun 1344 H. Maka terjadilah keributan dikalangan muslim syi’ah maupun sunnah karena mereka tahu dengan fatwa dari 15 ulama Madinah itu penghancuran bekas-bekas ahlul bait dan sahabat Rasulullah akan segera dilaksanakan. Dan pada 8 Syawal tahun itu juga mereka menghancurkannya. Berikut cuplikannya: Sulaiman bin Bulaihad dalam pertanyaannya mengatakan: Bagaimanakah pendapat ulama Madinah (semoga Allah menambah kefahaman dan ilmu mereka) mengenai membangun kuburan dan menjadikannya sebagai masjid, apakah boleh atau tidak? Jika ditanah waqaf seperti Baqi’ yang bangunannya mencegah untuk menggunakan bagian yang dibangun, apakah ini termasuk ‘ghashab’ (mengambil barang milik orang lain yang bukan haknya) yang harus segera dihilangkan, karena hal itu merupakan tindakan aniaya terhadap orang-orang yang berhak, dan menghalangi mereka dari haknya atau tidak?
Para ulama Madinah dengan wajah ketakutan menjawab : ‘’Mendirikan bangunan menurut ijma’ hukumnya adalah terlarang bersandar pada hadits Ali dari Abul Hayyaj, Ali berkata: Aku menyeru engkau kepada suatu perbuatan dimana Rasulullah telah menyeru aku dengannya, yaitu tidaklah engkau melihat patung kecuali engkau musnahkan, dan kuburan yang menonjol kecuali hendaknya engkau ratakan (HR. Muslim, Tirmidzi, an-Nasa’I). Mereka menyampaikan itu dalam keadaan tertekan karena ada ancaman dari fihak Muhammad Ibn Su’ud sebagai ‘pemerintah yang baru’ yang menetapkan bahwa mereka yang menentang faham dari Ibn Wahab adalah kafir bahkan divonis musyrik dan halal darahnya.
Padahal ada sejumlah perbedaan pendapat mengenai masalah ini, berdasarkan al-Qur’an surat al-Hajj 32 : ‘’..Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati’’. Dalam kitab Majma’ Al-Bayan disebutkan syi’ar disini adalah tanda-tanda agama Allah, seperti halnya Shafa dan Marwah. Selain itu hadits ini dalalahnya (maknanya) tidak seperti yang difahami kaum wahabi. Lafadz “Wa laa qabran musyrifan illa sawwaytahu”, As-Syarafu dalam al-Munjid diartikan sebagai ketinggian (seperti Punuk unta) sedang sawwaytahu berarti menyamakan/meratakan/meluruskan sesuatu yang miring. Jadi seperti penjelasan Imam Nawawi dalam syarah muslim : “ Sunnahnya ialah, kuburan tidak terlalu ditinggikan dari atas tanah dan tidak dibentuk seperti punuk unta, akan tetapi ditinggikan satu jengkal. Jadi bukan dihancurkan sama sekali dan bukan merupakan dalil mengharamkan bangunan diatas kuburan’’.
Kemudian pada tahun 1788, Abdul Azis memberangkatkan pasukan yang sangat besar dan bersenjata lengkap menyerang dan merampas Kuwait dari Daulah, padahal dulu Inggris yang melakukan terlebih dulu dilawan oleh Daulah dan ditentang pula oleh Rusia, Jerman dan Perancis. Kedekatan dan kesetiaan keluarga Saud pada Inggris diketahui dengan pasti oleh Daulah dan negara besar lainnya saat itu. Inggris juga tidak pernah menyembunyikan fakta bahwa mereka mendukung Saudi sebagai sebuah negara, dengan mengirimkan senjata dan dana. Khalifah pernah berupaya mematahkan gerakan ini lewat Wali mereka di Madinah, Baghdad dan Damaskus namun gagal.
Akhirnya Khalifah meminta gubernur Mesir, Muhammad Ali, untuk memerangi mereka. Mulanya dia tidak mau, tapi setelah dibujuk Perancis dia merupakan agen Perancis yang memaksa Khalifah mengakuinya dan juga berkepentingan menghambat laju gerakan Inggris untuk merebut Khilafah untuk mereka sendiri, maka pada tahun 1811 dia mengutus Thassun, anaknya, untuk menyerang kaum Wahabi. Dan pada tahun 1912 tentara Mesir menduduki Madinah. Tahun 1816 putra Ali yang lain, yakni Ibrahim, mendesak kaum Wahabi mundur sampai ke ibu kotanya, di wilayah ad-Dir’iyyah, lalu Ibrahim mengepung mereka sampai September 1818. Akhirnya mereka menyerah dan dia meratakan kota ad-Dir’iyyah dengan tanah yang menandai berakhirnya konspirasi Inggris menghancurkan Khilafah. (Kaifa Hudimat al-Khilafah, Abdul Qadim Zallum).
Gerakan wahabi atau mereka lebih senang disebut “Salafy”, menurut versi mereka adalah sebuah gerakan yang meneruskan jejak dakwah Rasulullah, para sahabat, murid-muridnya terus berlanjut hingga masa Ibn Taimiyah sampai ke Abdul Wahab dan ulama mereka masa sekarang seperti Syaikh al-Bany, bin Baz, Utsaimin, Muqbil dsb dengan penyucian akidah dan ibadah (tafsiyah dan tarbiyah) yang sebagian besar menurut pendapat madzhab mereka [Majalah as-Sunnah]. Yang perlu dipertanyakan lalu dimana letak jutaan ulama kaum muslimin yang tidak meyakini bahkan berbeda pendapat dengan apa yang mereka bawa karena mereka meyakini manhaj (metode) dakwah merekalah yang paling sesuai sunah dan yang lain…?. Berikut kami petikkan beberapa perbedaan pendapat mereka dengan ulama lain.
Ibnul jauzi, seorang ulama besar Hanabilah, sebagaimana dikutip dalam Tarikh al-Madzahib dan Al-Aqidah Al-Islamiyah Kamajj’a Bihaa Al-Qur’an Al-Karim [Zahrah : 52-63] mengomentari konsepsi akidah Ibnu Taimiyah [Al-Aqidatul Muhammadiyyatul Kubra, hal. 249] yang banyak diambil oleh kaum Wahabi: “ Saya melihat diantara sahabat-sahabat kami ada yang berbicara tentang masalah ushul dengan cara yang tidak patut. Aku lihat mereka telah turun ke tingkat awam. Mereka mengartikan sifat-sifat Allah menurut jangkauan indera. Mereka mendengar bahwa Allah ta’ala menciptakan Adam sesuai bentuk-Nya, lalu mereka tetapkan bagi-Nya bentuk dan wajah disamping zat, kedua mata, mulut, gigi, sinar wajah, kedua tangan, jari jemari, telapak tangan, jari kelingking, ibu jari, dada, paha, dan kedua betis. Mereka berkata: “Kami tidak mendengar sebutan kepala. Begitulah mereka mendengar makna dhahirnya dalam mengartikan nama-nama dan sifat-sifat, padahal tiada dalil bagi mereka, baik naqli maupun akal. Juga mereka tidak memperhatikan nash-nash yang telah dialihkan dari dhahirnya kepada makna-makna yang wajib bagi Allah Ta’ala dan penghapusan tanda-tanda ciptaan (hadis) yang ditimbulkan oleh pengertian dhahir tersebut. Mereka tidak merasa puas dengan hanya mengatakan: " sifat perbuatan", hingga mereka katakan: "Ia adalah sifat zat" [Zahrah : 56].
Ringkasnya beliau tidak menyetujui hal-hal berikut :
a. Ia tidak menyetujui bahwa madzhab salaf adalah yang menafsirkan lafadz-lafadz yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadits yang dhahirnya menunjukkan anggota-anggota tubuh seperti tangan, wajah, dan kaki menurut makna-maknanya yang dhahir, tapi mengalihkannya kepada makna-makna majaz. “ tangan” (yad) diartikan kenikmatan dan kekuasaan, “wajah” diartikan Zat yang Maha Tinggi. Hal ini dianggapnya sudah masyhur (dikalangan orang arab) dan sudah logis, disamping itu mustahil zat yang Maha Tinggi mempunyai tangan dan lainnya.
b. Beliau tidak menyetujui bahwa penafsiran lafadh-lafadh ini menurut dhahirnya sebagai madzhab Hambali (salaf)
c. Dengan aksioma ia berpendapat bahwa mengalihkan lafadh-lafadh kepada dhahirnya menimbulkan, bahwa Allah adalah konkrit dan merupakan materi tubuh seperti tubuh-tubuh lainnya.
d. Imam Hambali tidak berpendapat bahwa penafsiran seperti itu adalah tafwidl [Penyerahan maksud kejelasannya kepada Allah.], sebab tafwidl adalah berhenti pada nash tanpa berusaha mengetahui maksudnya. Maka orang yang menafsirkannya secara konkrit (berdasar indra) tidaklah menyerahkan maksud makna lafadh itu kepada-Nya, tetapi ia menafsirkannya, walaupun tidak menakwilkannya.
e. mam Hambali berpendapat bahwa dengan mendakwakan bahwa Allah mempunyai tangan tetapi tidak seperti tangan kita, mata tidak seperti mata kita, dst sesungguhnya berarti mengeluarkan lafadh dari dhahirnya, karena dhahirnya lafadh menunjukkan tangan dan mata yang konkrit. Maka pemalingannya dari yang konkrit (berdasar indra) kepada makna lainnya adalah merupakan penakwilan dan penafsiran
*Selanjutnya Muhammad bin Abdul Wahhab berpendapat bahwa barang siapa berziarah kemakam Rasulullah, mereka tidak boleh mengqashar shalatnya saat diperjalanan karena tujuannya perjalanannya adalah berbuat dosa berdasarkan: La tusyaddul rihaalu illa tsalatsati masaajida : masjidiy hadzaa, walmasjidil haram walmasjidil aqsha (HR. Bukhari & Muslim). Sedang madzhab lain tidak berpendapat demikian berdasarkan: Kuntu nahaytukum ‘ an ziyaarotil qubuuri alaa fazuruhaa (HR. Muslim, Ahmad, Turmudzi, & Ibnu Majah). Dengan demikian berziarah kemakam Rasulullah lebih utama dibanding lainnya. Dan hadits Abdul Wahhab diatas dikhususkan untuk ziarah kemasjid-masjid saja, karena sifatnya tidak umum “ Janganlah bersusah payah melakukan perjalanan kecuali ketiga masjid”, jadi berziarah pada masjid hanya untuk tiga masjid diatas saja.
Pada tahun 1344 H, mereka menghancurkan pemakaman Baqi’ dan peninggalan-peninggalan keluarga Rasul dan sahabatnya. Untuk mendapatkan fatwa ulama Madinah mereka mengutus Hakim Agung Nejd, Sulaiman bin Bulaihad, guna menanyakan fatwa ulama disana dengan menyelipkan pendapat Wahabi tentang masalah yang ditanyakan. Maksudnya agar para ulama disana menjawab dengannya atau dianggap kafir dan jika tidak bertaubat maka akan dibunuh.
Dimasa sekarang hubungan Wahabi dan keluarga Saud, yang kini menjadi antek Amerika, tetap berjalan seperti dulu kala. Sedangkan dakwah Wahabi masih juga berkutat pada TBC (Tauhid, Bid’ah, dan Khurafat). Dalam kajian-kajiannya mereka senantiasa menghidupkan permasalahan-permasalahan ‘masa lalu’ seperti kesalahan –kesalahan kelompok Mu’tazilah, Syi’ah, Murji’ah dan sebagainya. Permasalahan-permasalahan semisal politik, ekonomi,dan semacamnya jangan pernah berharap akan dibahas dengan komprehensif, “ sekarang yang diperbaiki akidahnya dulu, bagaimana mau berpolitik wong akidahnya masih rusak” kutipan dari salah seorang ustadz mereka. Jelas pernyataan ini masih perlu dibahas dan didiskusikan lebih lanjut.
Dan yang paling penting mereka sangat getol mengkritisi (atau lebih tepatnya menghujat) gerakan-gerakan Islam pada umumnya. Hizbut Tahrir mereka katakan Mu’tazilah Gaya Baru, Ikhwan al-Muslimin dikatakan sufi maupun ahlul-hawa, Jama’ah Tabligh dikatakan sufi gaya baru. Dari sisi analisa politik kami melihat bahwa hal ini tidak lepas dari peran keluarga Saud yang jelas tidak ingin kekuasaannya digantikan oleh gerakan Islam yang ingin menegakkan Negara Islam dan memanfaatkan Wahabi sebagai corong untuk mereka atau lebih jauh mereka mendapat “pesan” dari bosnya, A.S untuk melakukan langkah-langkah konkrit melawan “Islam Fundamentalis”. Dari sisi ide kami menilai kritik mereka memang harus ditempatkan sebagaimana mestinya, dinilai dari kekuatan argumentasinya, dan sudah banyak kitab yang menjawab kritik-kritik yang dilontarkan mereka.
Mafahim Yujib an-Thushahah yang ditulis, Syaikh Alwi al-Maliki membantah tulisan mereka tentang isu-isu tawasul, istighasah, maulud dan sebagainya, Hadits Ahad dalam Masalah Akidah yang ditulis oleh Dr. Fathi M. Salim, Fiqh al-ikhtilaf Yusuf Qardhawi yang juga mengkritik jama’ah-jama’ah lain selain Wahabi, 'Abd al-Ghani an-Nabulusi, Al-Hadiqat an-nadiyya, h. 182, Istanbul, 1290. Ahmad Zaini Dahlan', Ad-durar as-saniyya fi 'r-raddi 'ala 'l-Wahhabiyya di kota Cairo pada tahun 1319 H (1901 M) dan masih banyak lagi yang lain .
2. Akar Konspirasi Arab Saudi - AS
Satu hari setelah Saudi menyatakan bahwa mereka tidak akan berpartisipasi dalam segal hal atas perang yang akan dilakukan melawan Iraq, Jendral Tommy Franks mengunjungi bunker di Pangkalan Udara Prince Sultan yang merupakan pos komando untuk serangan udara melawan Iraq.
Para diplomat barat disini menyatakan deklarasi yang dikeluarkan Raja Fahd, yang dibacakan oleh putra mahkota, Pangeran Abdullah, dalam sebuah acara televisi yang tidak biasa pada hari selasa, yang berarti berita untuk konsumsi domestik … dengan satu isyarat tanda setuju pada tindakan Amerika.
Juru bicara AU Pangkalan Udara Prince Sultan tidak berusaha sama sekali untuk menyembunyikan partisipasi Saudi dalam pusat operasi ini, yang tengah sibuk untuk mengidentifikasi target-target yang akan dibom di Iraq yang pasti akan menimbulkan kerusakan besar. Pusat operasi adalah sebuah organisasi multinasional dan termasuk para tamu kami,” ungkap Kol. Joseph LaMarca yang menjalankan operasi militer ini. Orang-orang Saudi, menurutnya, “ bekerja dalam kantor pusat kami dalam Pusat Gabungan Operasi Udara. Meskipun ada pengumuman dari Saudi, La Marca mengatakan bahwa pusat operasi ini akan terus “ merencanakan, memonitor secara langsung eksekusi atas semua operasi udara di dalam area komando pusat pertanggungjawaban kami, “termasuk Iraq.
Jendral Franks merasa bahwa sungguh penting untuk melakukan kunjungan pribadi pada pusat komando udaranya untuk meyakinkan disana telah memiliki segala kelengkapan yang diperlukan sebelum penyerangan ke Iraq,” ungkap juru bicaranya, Jim Wilkinson, pada Pusat komando garis depan Doha, Qatar.
AS setidaknya memiliki 5.500 pasukan di Pangkalan udara Prince Sultan. Wshington telah mengeluarkan ribuan miliar dollar untuk mengubah pangkalan ini menjadi salah satu basis terbesar operasi di Timur Tengah. Sekarang disini terdapat pesawat fighter, pesawat beradar E-3 AWACS, pesawat pengintai danmata-mata, serta pesawat pengisi bahanbakar dari udara keudara. Pangkalan ini juga dilindungi oleh dua rudal patriot anti peluru kendali. Selain itu pangkalan ini juga mampu mengambil data dari satelit, pemotretan udara dan bawah tanah serta sumber-sumber intelejen lain untuk memberikan pusat komando ini kesiapan untuk melakukan pertempuran, pangkalan ini selesai tahun 2001.
Dipangkalan ini pasukan AS yang beroperasi dalam parameter keamanan mereka didalam pangkalan utama ini. Militer AS, bukan Saudi, mengontrol akses pada wilayah pangkalan yang dikuasai AS ini. Para diplomat barat mengatakan bahwa jumlah pasukan AS disini diharapkan mencapai lebih dari 10.000 untuk perang Iraq.
Komitmen AS pada Arab Saudi berawal pada perjanjian rahasia oleh Presiden AS untuk melindungi kerajaan Saudi yang berlaku kembali pada 1947, berdasarkan pada dokumen yang tidak dilaporkan sebelumnya. Komitmen Washington pada Saudi dihasilkan dalam tandem mereka dengan hubungan keamanan tertutup dengan Israel, yang dimulai dengan keputusan Truman tahun 1947 untuk mendukung pembentukan Negara Yahudi di Palestina.
Perjanjian 1947 antara Truman dan Raja Ibn Saud digambarkan dalam telegram Pemerintah Federal yang diklasifikasikan sebagai sangat rahasia, dari Sekretaris Pemerintah Federal Robert Lowett untuk Dubes AS di Riyadh. Lowett menuliskan pesan pribadi dari Truman untuk sang raja yang diberikan lewat putra tertuanya pangeran Saud: “ Salah satu kebijakan dasar AS di Timur Dekat adalah dengan tanpa syarat apapun mendukung kesatuan territorial dan independensi politik Arab Saudi.”
Dalam bahasa yang disertai ketakutan atas kasus penyerangan Iraq pada 1991, telegram ini ditemukan dalam arsip nasional, yaitu “ Jika Saudi diserang oleh kekuatan negara lain atau dibawah ancaman negara lain, AS melalui media PBB akan mengambil tindakan tegas untuk menangkis tindakan semacam itu.”
Komitmen jangka panjang Washington juga telah dikeluarkan untuk Israel oleh Kennedy dalam sebuah pembicaraan rahasia dengan Golda Meir ( Menlu Israel nantinya) pada 1972 . Berdasarkan memorandum pembicaraan itu, sekarang bisa dilihat diperpustakaan Kennedy, Dia berkata pada Meir, “ AS mempunyai sebuah hubungan khusus dengan Israel di Timur Tengah yang akan harmonis hanya jika bersama Inggris dalam berbagai masalah yang muncul didunia internasional.” Tapi kennedy berkata, “ Bagi kami untuk memainkan peran dengan tepat hanya ketika kami diminta untuk berperan, kami tidak dapat memberikan keistimewaan pada Israel… atau negara tertentu lainnya sebagai sahabat-sahabat eksklusif kami, pemotongan pada batas sekutu-sekutu dekat kami karena kami rasa untuk Israel yang memang bukan sekutu formal kami…”
Para presiden AS sejak Franklin D. Roosevelt telah membuat berbagai komitmen dengan Arab Saudi maupun Israel, yang dengan jelas merupakan dua pihak yang bertentangan dalam peperangan berdarah Arab-Yahudi. Seringkali hal ini berarti melakukan kebaikan untuk melukai pihak lain – atau jika semua kebaikan itu telah ditawarkan pada publik, yang lebih penting lagi kebijakan politk AS untuk mengamankan kepentingan ekonomi dan poltiknya diwilayah tersebut. Harus difahami dengan benar bahwa adanya Israel atau negara lainnya diwilayah ini bukanlah tujuan sekutu sendiri, namun lebih berarti untuk mengakses wilayah yang secara teknis telah ditinggalkan oleh Inggris dan Perancis. Kepentingan serius AS di Timur Tengah dimulai pada 1930-an saat Ibn Saud memilih sebuah perusahaan minyak AS untuk melakukan eksplorasi dinegaranya. Pimpinan eksekutif perusahaan itu adalah Jimmy Moffetts, teman Franklin D. Roosevelt. Tahun 1943 Moffetts membujuk Roosevelt untuk memberikan asisten ekonomi pada raja Saudi, yang juga teman dari Moffets. Saat itu Saudi adalah negara yang relatif miskin yang mengekspor sedikit minyak. Roosevelt ingin Ibn Saud menggunakan posisinya pada pemimpin arab lainnya untuk memenangkan dukungan untuk rencana mengalirkan bagian barat Palestina dari sungai Jordan untuk orang Yahudi sebagai penghuni tanah yang baru dengan $ 50 juta. Pada 1943, Roosevelt mengirimkan seorang utusan rahasia ke Riyadh untuk meminta Sang Raja bertemu dengan para pemimpin Yahudi untuk mendiskusikan rencana tersebut. Sang utusan yaitu Kolonel Harold Hoskins, seorang pejabat dinas intelejen, menulis di FDR, “ Tidak hanya anda sebagai presiden Amerika tapi rakyat Amerika secara keseluruhan menyadari bahwa pemerintah Amerika memutuskan untuk mendukung pendirian sebuah negara Yahudi di Palestina…mereka menjalankan amanat rakyat Amerika untuk menggunakan kekuatan diwilayah tersebut, karena hanya dengan kekuatanlah negara Yahudi di Palestina bisa didirikan atau dijaga.”
Setelah wafatnya Roosevelt diawal 1945, dua bulan setelah pertemuannya dengan Ibn Saud, Presiden Truman ditekan oleh tekanan politik, yang menyepakati dukungan atas pembentukan Israel. Cerita sejarah ini sudah diketahu secara umum, tapi tindakan Truman berkenaan dengan Saudi pertama kali disingkap di Wshington Post 9 Februari 1992. Sebagai respon atas sambutan Presiden Truman, Raja Saud menyatakan bahwa dia berharap untuk mengetahui dalam hal seperti apa dia akan bergantung pada AS. Sang Raja khawatir atas tetangganya Iraq dan Trans-Jordan, karena akanmeragukan kapasitasnya sebagai pelindung tempat-tempat suci bagi umat Islam. Dubes AS di Riyadh berkata bahwa sang raja ingin mengetahui apakah AS akan menyuplai pemerintah Saudi dengan “tentara beserta peralatan yang diperlukan” untuk melindungi perbatasannya “ karena ancaman bukan hanya pada fasilitas penting Saudi tapi juga milik AS.”
Pada 1950 Ibn Saud meminta Truman sebuah perjanjian militer formal. Sebagai respon, Truman mengirim Asisten Sekertaris Federal George McGhee ke Saudi untuk memberikan program bantuan militer hingga sekarang. McGhee berkata pada Ibn Saud,” AS… akan mengambil tindakan yang cepat kapanpun saat integritas dan independensi Saudi terancam.” Raja Saud pada penutupan pertemuan berharap dengan mengatakan bahwasannya dia menganggap AS dan Saudi adalah satu negara.
Kebersediaan Raja Saud untuk membantu pembentukan Israel sebagai bayaran atas perlindungan keluarganya sebagai penguasa Arab Saudi adalah contoh masih berlangsungnya konspirasi AS-Saudi atas kaum muslimin. Keluarga Saudi telah berkomplot dan berkompromi dengan kaum kafir menentang kaum muslimin, untuk menyelamatkan kekuasaannya. Skenario ini mirip dengan yang terjadi pada era penjajahan sebelumnya, setelah menghancurkan Khilafah tahun 1924 dan kemudian membagi-bagi negeri kaum muslimin menjadi lebih dari 53 negara-negara bangsa, mengangkat penguasa-penguasa boneka mereka untuk memerintah kam muslimin dan menekoki umat secara intelektual dan politik dengan pemikiran kufur.
Kaum muslimin seharusnya selalu tanggap atas kondisi politik diseputar mereka dan bekerja dalam satu jama’ah untuk meruntuhkan rezim-rezim kufur dan mengantikannya dengan Negara Khilafah Islamiyyah. Habib ar-Rahman (Sumber Khilafah.com Journal 2 April 2003).
Wallahu a’lam bis shawab. [Al-Mujadid]
0 comments:
Post a Comment