ISLAM AGAMA SYUMUL

FIRMAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA; "Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan, kerana sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian." [TMQ AL-BAQARAH(2):208]

MASA ITU EMAS


Showing posts with label TAFSIR. Show all posts
Showing posts with label TAFSIR. Show all posts

MASUK ISLAM SECARA KAFFAH



Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I. 

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (TQS al-Baqarah [2]: 208-209).
Tatkala seseorang mendeklarasikan diri sebagai seorang Muslim, wajib baginya masuk Islam secara totalitas. Islam harus diterima secara utuh. Tidak boleh ada bagian yang tinggalkan, diabai-kan, bahkan ditolak. Sebagaimana halnya tidak boleh memasukkan ide atau ajaran lain ke dalam Islam. Ketentuan tersebut termaktub dalam ayat di atas. Dalam ayat tersebut, kaum Muk-min diperintahkan masuk ke dalam Islam secara kâffah sekaligus tidak mengikuti langkah-langkah syetan.
   
Pengertian al-Silm
Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû [u]d-khulû fî al-silm kâffah (hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin. Mereka diperintahkan untuk masuk ke dalam al-silmi secara kâffah.
Ibnu Jarir al-Thabari mengutip pendapat banyak mufassir terkemuka, seperti Ibnu 'Abbas, Mujahid, Qatadah, al-Sudi, Ibnu Zaid, dan al-Dhahhak yang memaknai al-silm dengan al-Islâm. Pendapat ini juga dikuatkan oleh al-Thabari dan al-Samarqandi. Dengan demikian, ayat ini dapat dimaknai sebagai perintah agar memasuki Islam secara kâffah.
Sebagaimana dikutip al-Thabari, ada yang memaknai kata al-silm di sini dengan al-musâlamah, yakni perdamaian, perundingan, meninggalkan perang, dan memberikan jizyah. Itu artinya, kaum Muslim diperintahkan mengadakan perdamaian secara total. Akan tetapi, pendapat tersebut lemah.
Alasannya, sekalipun kata al-silmi juga bisa diartikan al-musâlamah, namun pengertian tersebut bertentangan dengan ayat-ayat muhkamat atau dalil  lain yang lebih jelas maknanya. Jika dimaknai sebagai perdamaian secara total, berarti tidak ada lagi perintah perang terhadap kaum kafir. Dalam menghadapi mereka, kaum Muslim hanya diperintahkan melakukan perundingan dan perdamaian.
Pengertian tersebut jelas bertentangan dengan banyak ayat dan hadits yang mewajibkan perang melawan kaum kafir. Dalam QS al-Baqarah [2]: 216 disebutkan secara tegas: Kutiba 'alaykum al-qitâl (diwajibkan atas kalian perang). Kewajiban tersebut makin dikukuhkan dengan adanya perintah kepada kaum Muslim untuk berangkat perang, baik dalam keadaan ringan maupun berat (QS al-Taubah [9]: 41). Bagi yang tidak mau berangkat, diancam dengan azab yang pedih (QS al-Taubah [9]: 39). Bahkan, perang yang diwajibkan itu bukan hanya ketika kaum Muslim diserang musuh (lihat QS al-Baqarah [2]: 190); namun juga bersifat ofensif, menyerang kaum kafir terlebih dahulu. Kaum Muslim diperintahkan memerangi kaum kafir hingga mereka bersedia membayar jizyah dan tunduk terhadap hukum Islam (lihat QS al-Taubah [9]: 29). Itu berarti, selama masih ada orang kafir yang tidak mau tunduk menjadi kafir dzimmi dan membayar jizyah, kewajiban memerangi mereka belum gugur. Perang tersebut terus dilakukan hingga tidak ada fitnah dan ketaatan hanya untuk Allah semata (lihat QS al-Baqarah [2]: 193). Semua dalil itu menunjuk-kan secara pasti wajibnya ber-perang fî sabîlil-Lâh.
Bertolak dari fakta tersebut, kata al-silm tidak bisa dimaknai al-musâlamah (perdamaian). Rasulullah SAW memang pernah melakukan perjanjian damai dengan kaum kafir. Akan tetapi, semua perjanjian dibatasi dengan waktu tertentu. Ketika masa perjanjian sudah habis, perang kembali diperintahkan. Ini makin mengokokan bahwa tidak ada perdamaian total dengan kaum kafir. Karena tidak bisa dimaknai al-musâlamah, maka kata al-silm tidak bisa dimaknai lain kecuali Islam.   
Sedangkan makna kâffah menurut banyak mufassir sebagaimana dikutip Ibnu Katsir-- adalah jamî'a[n] (semuanya, keseluruhan). Sehingga, ayat ini bermakna: Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang Mukmin, yang membenarkan rasul-Nya, untuk mengambil semua aspek Islam dan syariahnya, mengamalkan semua perintah-Nya, dan meninggalkan semua larangan-Nya, selama mereka mampu mengerjakannya. Demikian Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm. Tidak jauh berbeda, Fakhruddin al-Razi juga menjelaskan pengertian ayat ini: “Masuklah ke dalam seluruh syariah Islam, baik secara keyakinan maupun secara amalan.”  
Pengertian tersebut makin jelas jika dikaitkan dengan sabab al-nuzûl (sebab turunnya) ayat ini. Dikemukakan oleh 'Ikrimah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang Mus-lim yang sebelumnya beragama Yahudi, seperti Abdullah bin Salam, Tsa'labah, Asad bin 'Ubaid, dll, yang meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk merayakan hari Sabtu dan mengamalkan Taurat di malam hari. Kemudian turunlah ayat ini yang memerintahkan mereka untuk mengamalkan syiar-syiar Islam dan meninggalkan selainnya. Namun Ibnu Katsir memberikan catatan, penyebutan Abdullah bin Salam perlu dicermati mengingat kesempurnaan imannya sehingga amat jauh jika dia menginginkan hal itu.




Jangan Ikuti Langkah Syetan
Setelah mereka diperintahkan masuk Islam secara keseluruhan, kemudian Allah SWT berfirman: walâ tattabi'û khuthuwât al-syaythân (dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan). Syetan adalah makhluk Allah SWT yang durhaka. Oleh karena itu, semua langkahnya mengundang murka Allah SWT. Jika Allah SWT memerintahkan manusia kepada kebaikan, syetan justru menyuruh berbuat dan keji (lihat al-Baqarah [2]: 169). Jika Allah SWT memerintahkan manusia mengucap-kan perkataan yang lebih baik, syetan justru menimbulkan perselisihan di antara manusia (lihat QS al-Isra' [17]: 53). Minum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah juga disebut sebagai perbuatan syetan. De-ngan khamr dan judi itu pula syetan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara manusia (lihat QS al-Maidah [5]: 90-91). Agar tujuannya berhasil, syetan menghiasi perbuatan buruk sehingga terlihat baik oleh pelakunya (lihat QS al-Taubah [9]: 37, al-Ra'd [13]: 33). Pendek kata, semua perbuatan tercela yang dibenci dan dimurkai Allah terkumpul pada diri syetan.
Dalam ayat ini, manusia dingatkan agar tidak mengikuti langkah-langkah syetan. Al-Syaukani mengatakan, frasa ini berarti: “Janganlah kalian menempuh jalan yang diserukan oleh syetan.” Sedangkan al-Samar-qandi, menafsirkan mengikuti langkah syetan berarti taat kepada syetan.      
Kemudian Allah SWT memberikan alasan larangan tersebut dengan firman-Nya: Innahu la-kum 'aduww mubîn(sesung-guhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu). Sebagai musuh, syetan tidak suka melihat manusia bahagia. Sebaliknya, dia sangat senang jika manusia sengsara dan menderita. Syetan tahu benar, kesengsaraan dan penderitaan tiada tara adalah masuk neraka. Oleh karena itu, syetan melakukan berbagai cara dan upaya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar dan menjerumuskannya ke neraka. Allah SWT berfirman:  Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (TQS al-Baqarah [2]: 169).
Oleh karena menjadi musuh apalagi musuh yang benar-benar nyata, maka syetan harus diperlakukan sebagaimana layaknya musuh, bukan sebagai kawan, sahabat, pemimpin, atau pelindung. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala (TQS Fathir [35]: 6). Agar memperoleh kebahagiaan hakiki, manusia tidak mengikuti jalan syetan. Islam adalah satu-satunya jalan yang boleh diikuti.
Telah maklum, bahwa syariah Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Tak hanya mengatur urusan individu, seperti ibadah, makanan, pakaian, atau akhlak. Namun juga mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti sistem ekonomi, pemerintahan, pendidikan, sanksi, politik luar negeri, dan lain-lain. Semua wajib diamalkan tanpa terkecuali. Nyatalah bahwa jika kita menghendaki masuk Islam secara kâffah, maka keberadaan Daulah Khilafah menjadi niscaya. Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.

UJIAN KEBENARAN IMAN


Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta (TQS al-Ankabut [29]: 2-3).

Banyak orang merasa cukup ketika menyatakan diri sebagai Mukmin. Seolah pengakuan iman tidak mengandung konsekuensi bagi pelakunya. Padahal, pengakuan iman itu masih harus dibuktikan dalam bentuk sikap dan tindakan ketika menghadapi ujian dan cobaan. Ayat di atas memberitakan keniscayaan adanya ujian bagi pengakuan iman setiap orang untuk membuktikan kebenarannya.

Harus Diuji

Allah SWT berfirman: Aha-siba al-nâs an yutrakû an yaqûlû âmannâ wahum lâ yuftanûn (apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan [saja] mengatakan: "Kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi?). Ada beberapa riwayat mengenai sabab al-nuzûl ayat ini. Meskipun demikian, ayat ini tidak hanya berlaku untuk mereka. Sebab, kata al-nâs memberikan makna umum yang berarti meliputi seluruh manusia.

Kata hasiba dalam ayat ini bermakna zhanna (menduga, mengira). Sedangkan huruf hamzah di depannya merupakan istifhâm (kata tanya). Ibnu Katsir dan Sihabuddin al-Alusi menyimpulkan bahwa istifhâm dalam ayat ini bermakna inkâri (pengingkaran). Bisa juga, sebagaimana dinyatakan al-Syaukani, bermakna li al-taqrî' wa al-tawbîkh (celaan dan teguran). Artinya, mereka tidak dibiarkan begitu saja mengatakan telah beriman tanpa diuji dan dicoba seperti yang mereka kira. Mereka benar-benar akan diuji untuk membuktikan kebenaran pengakuan iman mereka.

Kata yuftanûn berasal dari kata al-fitnah. Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para mufassir mengenai kata tersebut. Mujahid, sebagaimana dikutip Ibnu Jarir, memaknainya lâ yuftanûn sebagai lâ yubtalûn (mereka diuji). Menurut al-Nasafi, pengertian al-fitnah di sini adalah al-imtihân (ujian) yang berupa taklif-taklif hukum yang berat, seperti kewajiban mening-galkan tanah air dan berjihad melawan musuh; melaksanakan seluruh ketaatan dan meninggalkan syahwat; ditimpa kemis-kinan, paceklik, dan berbagai musibah yang melibatkan jiwa dan harta; dan bersabar meng-hadapi kaum kafir dengan berbagai makar mereka.
Jika dikaitkan dengan nash lainnya, ujian yang diberikan Allah SWT itu tidak selalu dalam bentuk yang berat dan dibenci. Ada juga ujian yang menyenang-kan sebagiamana dalam firman-Nya: Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) (TQS al-Anbiya' [21]: 35).

Semua ujian itu berfungsi untuk membuktikan kebenaran iman seseorang. Dijelaskan Ibnu Katsir bahwa ujian yang diberikan itu sesuai dengan kadar keimanan pelakunya. Nabi SAW bersabda: Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian berikutnya dan berikutnya. Seseorang dicoba sesuai dengan (kadar) agamanya. Ketika dia tetap tegar, maka ditingkatkan cobaannya (HR al-Tirmidzi).

Menurut Ibnu Katsir ayat ini sejalan dengan beberapa ayat lainnya, seperti firman Allah SWT: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar (TQS Ali Imran [3]: 142). Juga QS al-Baqarah [2]: 214.

Terbukti Iman atau Dusta

Setelah menegaskan adanya cobaan untuk menguji keimanan manusia, Allah SWT berfirman: walaqad fatannâ al-ladzîna min qablihim (dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka). Ayat ini memberitakan bahwa ujian keimanan itu tidak hanya diberikan kepada kalian, namun juga umat-umat terdahulu. Oleh karena itu, ujian keimanan merupakan sunnatul-Lâh yang berlaku di setiap masa.

Dengan ujian dan cobaan itulah dapat diketahui pengakuan yang benar dan yang dusta. Allah SWT berfirman: falaya'lamannal-Lâh al-ladzîna shadaqû (maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar). Sebagai Dzat Yang Maha Mengetahui, Allah SWT telah mengetahui semua peristiwa, baik sebelum, sedang, maupun sudah terjadi. Oleh karena itu, al-'ilmu di sini dimaknai al-ru'yah. Hal ini sebagaimana makna lina'lama (agar Kami Mengetahui) dalam QS al-Baqarah [2]: 143) yang bermakna linarâ (agar Kami melihat). Menurut Ibnu Katsir, al-ru'yah (penglihatan) berkaitan dengan sesuatu yang ada. Sedangkan al-'ilm (pengetahuan) lebih dari itu, bisa menyangkut perkara yang ada maupun yang tidak ada.
Dalam Alquran cukup banyak diberitakan tentang orang-orang yang mampu membuktikan kebenaran imanan mereka sekalipun mendapatkan ujian yang besar. Dalam QS al-Shaffat [37]: 101-108, misalnya, dikisahkan ketegaran Ibrahim dan putranya dalam menghadapi al-balâ' al-mubîn (ujian yang nyata), berupa perintah menyembelih putranya. Perintah tersebut tentu merupakan ujian yang besar. Bagi Ibrahim, Ismail adalah perhiasan dunia yang paling dicintainya. Sementara bagi Ismail, nyawanya adalah harta paling berharga yang dia miliki. Namun mereka bersabar dengan perintah tersebut. Setelah terbukti ketaatan mereka, Allah SWT pun membatalkan perintah-Nya dan menebusnya dengan sembelihan yang besar.

Pembuktian keimanan juga berhasil ditunjukkan para ahli sihir yang bertanding dengan Musa as. Setelah melihat mukjizat Nabi Musa as, mereka segera bersujud dan menyatakan beriman. Fir'aun pun mengancam mereka akan memotong tangan dan kaki mereka secara silang dan menyalib mereka. Namun mereka tidak gentar dan tidak berpaling menjadi kafir kembali meskipun mendapatkan ancaman yang keras (lihat QS al-A'raf [7]: 115-126).

Dalam QS al-Hasyr [59]: 8-9 juga diberitakan mengenai kebenaran iman kaum Muhajirin dan Anshar. Kaum Muhajirin tetap tegar mencari karunia Allah dan ridha-Nya; menolong agama Allah dan rasul-Nya sekalipun mereka diusir dari kampung halaman dan harta mereka. Mereka pun disebut sebagai al-shâdiqûn (orang-orang yang benar). Demikian pula kaum Anshar yang dengan senang hati menerima kehadiran kaum Muhajirin. Bahkan lebih meng-utamakan dari saudaranya atas diri mereka.

Allah SWT berfirman: wala-ya'lamanna al-kâdzibîn (dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta). De-ngan ujian tersebut, akan terlihat pula orang-orang yang dusta pengakuannya. Pengakuan iman mereka hanya terbatas di mulut saja, tidak melebihi kerongkongan. Dalam Alquran juga banyak dikisahkan tentang kaum yang gagal membuktikan kebe-naran iman mereka.

Dalam QS al-Baqarah [2]: 246 diceritakan mengenai Bani Israil yang meminta agar diangkat seorang pemimpin untuk mereka. Mereka juga menegaskan tidak akan keberatan jika diperintahkan untuk berperang di jalan-Nya. Akan tetapi, ketika diangkat pemimpin dan perang benar-benar diwajibkan, sebagian besar mereka berpaling.

Demikian pula kaum Munafik di Madinah. Ketika Madinah dikepung pasukan kaum Musyrikin, mereka mengatakan bahwa Allah SWT dan rasul-Nya hanya menjanjikan tipu daya (lihat QS al-Ahzab [33]: 12). Tak hanya itu, mereka bahkan memprovokasi penduduk Yatsrib untuk pulang dari medan pe-rang. Padahal sebelumnya mereka tekah berjanji kepada Allah untuk tidak mundur dari peperangan (lihat QS al-Ahzab [33]: 13, 15). Sikap mereka itu menjadi bukti nyata bahwa keimanan mereka dusta. Allah SWT pun berfirman: Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tiada akan menunda untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat (TQS al-Ahzab [33]: 14).

Demikianlah. Keimanan yang benar pasti akan melahirkan ketaatan terhadap syariah-Nya. Oleh karena itu, keterikatan dan ketaatan terhadap syariah bisa dijadikan sebagai tolok keimanan seseorang. Ketika seseorang senantiasa terikat dan taat terhadap syariah, sesulit dan seberat apa pun, keimanannya telah terbukti benar. Sebaliknya, ketika tidak mau taat, apalagi menolak, tentulah keimanannya patut diragukan. Semoga kita termasuk orang yang benar.  

Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.
 

MENGENAL HIZBUT TAHRIR