ADAKAH ZAKAT PROFESI(PENDAPATAN) DALAM ISLAM?
ADAKAH ZAKAT PROFESI(PENDAPATAN) DALAM ISLAM?
Jawab: Sebelum menentukan apakah zakat profesi disyariatkan atau tidak oleh Islam, terlebih dahulu harus dipahami bahwa zakat adalah ibadah yang telah ditetapkan tata caranya oleh syara’, baik yang berhubungan dengan syarat-syaratnya, pihak yang wajib menunaikan serta yang berhak menerima, jenis benda yang wajib dizakati, kadar, dan cara-cara pendistribusiannya. Syariat Islam telah menetapkan jenis-jenis binatang yang wajib dizakati, misalnya sapi, kambing, domba, dan onta. Tidak ada zakat untuk unggas (burung, dan ayam), udang, jengkerik, belut dan sebagainya; meskipun dipelihara dalam jumlah yang besar. Syariat juga telah menetapkan jenis-jenis tanaman yang wajib dizakati. Tidak ada zakat untuk fakihah (buah-buahan), sayur mayur, terung, lobak dan lain sebagainya (lihat Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy Adillatuh).
Akan tetapi, jika unggas, buah-buahan dan sayur-mayur tersebut dijadikan komoditas perdagangan, maka penjual wajib membayar zakatnya. Akan tetapi, zakat yang dikeluarkannya bukan dari zakat ternak atau zakat sayur-mayur dan buah-buahan, akan tetapi zakat perdagangan. Tidak ada zakat bagi mobil, maupun bangunan. Namun, jika mobil dan bangunan itu dijadikan barang dagang, maka keduanya wajib dizakati. Sebab, kedua barang tersebut telah dijadikan komoditas perdagangan, sehingga berlaku zakat perdagangan.
Tatkala berkomentar terhadap zakat tanaman, Hasan al-Bashriy, at-Tsauriy dan Imam Sya’bi berpendapat bahwa tidak wajib zakat kecuali pada jenis-jenis yang mempunyai keterangan yang tegas yaitu: gandum, padi, biji-bijian, kurma dan anggur. Yang lainnya tidak wajib, karena tidak ada keterangannya. Imam asy-Syaukani berpendapat bahwa pendapat madzhab ini adalah pendapat yang paling rajih (Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, bab Zakat).
Ibnul Qayyim berpendapat, “Tiada tuntunan dari Nabi Saw untuk memungut zakat dari kuda, baghal, keledai, tidak pula dari sayur-sayuran, semangka, krambaja, buah-buahan yang tidak ditakar dan disimpan, kecuali anggur dan kurma. Sebab, Rasulullah Saw telah mengambil zakatnya sekaligus, tanpa memisahkan yang basah dan kering.” (ibid, bab zakat).
Dalam sebuah hadits riwayat Daruquthniy dituturkan, bahwasanya ‘Abdullah bin Musghirah bermaksud memungut zakat dari hasil tanah Musa bin Thalhah berupa sayur-sayuran. Musa bin Thalhah berkata, “Kamu tidak boleh memungutnya, karena Rasulullah saw pernah mengatakan bahwa tidak wajib zakat pada sayur-sayuran.” [HR. Daruquthniy dan al-Hakim, hadits mursal dan kuat].
Atsram meriwayatkan, bahwa seorang pejabat pada masa Umar mengirim surat kepadanya tentang kurma, dimana dinyatakan oleh pejabat itu bahwa buah persik dan delima lebih banyak dan berlipat ganda hasilnya daripada buah kurma. Umar membalas surat itu, bahwa tidak dipungut zakat dari padanya, sebab, itu termasuk pohon berduri (Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, bab zakat).
Untuk itu, para ‘ulama terdahulu beristinbath, bahwa jika tidak ada nash sharih yang menyatakan benda ini, hewan ini, atau tumbuhan ini wajib dizakati, mereka tidak menzakati benda, tumbuhan, maupun hewan tersebut. Dengan kata lain, tidak ada zakat pada jenis benda yang tidak ditetapkan oleh syariat. Jika seseorang menetapkan bahwa benda ini, tumbuhan ini, atau hewan ini harus dizakati, sedangkan syara’ tidak menetapkannya, sungguh ia telah mensejajarkan dirinya dengan Sang Pembuat Hukum (syâri’) itu sendiri.
Demikian pula mengenai zakat profesi. Sesungguhnya, Islam tidak pernah mensyariatkan zakat profesi. Ini bisa kita lihat dari kenyataan, bahwa para fuqaha dan ahli tahqiq ternama, tidak pernah membahas masalah ini (zakat profesi) dalam kitab-kitab fiqh mereka. Padahal, pada saat itu, profesi pegawai negara, misalnya qadliy, pencatat, dokter, dan sebagainya sudah ada, baik sejak zaman shahabat hingga masa tabi’în. Namun, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw menarik zakat berdasarkan profesi mereka, misalnya profesi petani, nelayan, dokter, dan sebagainya. Bahkan, sikap generasi awal-awal Islam menolak pemungutan zakat jika jenisnya tidak ditentukan oleh nash syara’. Mereka juga tidak pernah berdalil dengan alasan keadilan dan kesetaraan, apalagi berdalil bahwa hasil dari hewan ini, atau tumbuhan ini, atau profesi ini lebih besar, sehingga tidak adil jika tidak ada zakatnya. Sebab, alasan-alasan semacam ini hanya lahir dari hawa nafsu, bukan dari akal yang dibimbing oleh syariat Islam. Perhatikan riwayat-riwayat berikut:
1. Dalam sebuah hadits riwayat Daruquthniy dituturkan, bahwasanya ‘Abdullah bin Musghirah bermaksud memungut zakat dari hasil tanah Musa bin Thalhah berupa sayur-sayuran. Musa bin Thalhah berkata, “Kamu tidak boleh memungutnya, karena Rasulullah saw tidak pernah mengatakan bahwa tidak wajib zakat pada sayur-sayuran.” [HR. Daruquthniy dan al-Hakim, hadits mursal dan kuat].
2. Atsram meriwayatkan, bahwa seorang pejabat pada masa Umar mengirim surat kepadanya tentang kurma, dimana dinyatakan oleh pejabat itu bahwa buah persik dan delima lebih banyak dan berlipat ganda hasilnya daripada buah kurma. Umar membalas surat itu, bahwa tidak dipungut zakat dari padanya, sebab, itu termasuk pohon berduri (Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, bab zakat).
Dari riwayat-riwayat ini bisa diketahui, bahwa para shahabat tidak pernah memungut zakat dari sesuatu yang tidak ditentukan nashnya secara jelas, meskipun hasilnya berlimpah ruah, atau berlipat ganda. Ayam yang dipelihara dalam jumlah ribuan bahkan jutaan, tidak boleh dipungut zakatnya. Sebaliknya, kambing yang jumlahnya 50 ekor harus ditarik zakatnya.
Adapun dalil yang digunakan oleh pihak yang mewajibkan zakat profesi, adalah:
1. Berhujjah dengan apa yang disebut dengan mâl al-mustafâd. Mereka menyatakan bahwa terhadap mâl al-mustafâd harus dizakati sebesar 1/40 begitu diterima. Mereka juga menyandarkan pada pendapat-pendapat para shahabat, semisal Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah; sebagian tabi’in misalnya al-Zuhriy, al-Hasan, Makhul, dan al-Bashriy.
2. Mereka juga mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat uang dan harta, bahkan ada pula yang mengkaitkan dengan zakat hasil pertanian. Mereka beralasan, jika petani saja harus mengeluarkan zakat ketika panen, sedangkan hasilnya tidak seberapa dibanding profesi seorang dokter, insinyur, dan lain-lain, maka betapa tidak adilnya jika zakat profesi tidak disyariatkan.
Kritik Atas Zakat Profesi
A. Pendapat Shahabat Bukanlah Dalil Syara’
Pada dasarnya riwayat-riwayat yang berbicara tentang mâl al-mustafâd, semuanya berstatus hadits mauquf, yakni hanya bersambung pada thabaqat shahabat belaka. Dalam konteks seperti ini, maka hadits-hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah untuk membenarkan adanya zakat profesi, sebab ia didasarkan pada pendapat para shahabat. Pendapat shahabat bukanlah dalil syara’, dan tidak absah digunakan sebagai hujjah (Taqiyuddin an-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz III, hal. 478). Imam Syafi’iy menolak berhujjah dengan pendapat para shahabat. Beliau berkata, “Tidak diperkenankan memberi hukum atau berfatwa melainkan berdasarkan berita yang benar yang berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah.” (Dr. Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm al-Ushûl al-Fiqh).
B. Seandainya status hadits tentang mâl al-mustafâd tidak perlu dipersoalkan, maka mâl al-mustafâd yang tersebut di dalam hadits-hadits tersebut tidak seketika diambil zakatnya ketika diterima, akan tetapi berbicara pada konteks yang lain; yakni ketika telah sampai nishab dan haul. Adapun hadits yang digunakan hujjah dalam masalah mâl al-mustafâd adalah sebagai berikut:
Pertama, Hubairah bin Yaryam berkata, “’Abdullah bin Mas’ud telah memberi kami sebuah baju, kemudian ia mengambil zakat dari baju itu.” (Abu ‘Ubaid, al-Amwâl, hal.504).
Kedua, dari Yazid dari Hisyam bin Hisaan dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, dituturkan bahwasanya ‘Ikrimah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh harta (mâl al-mustafâd). Ibnu ‘Abbas berkata, “Ia harus mengeluarkan zakat saat ia menerimanya.”
Terhadap hadits yang pertama, Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwâl menyatakan, “Menurut saya, berdasarkan hadits riwayat dari Abu Bakar dan ‘Utsman, maka maksud dari riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud ini adalah keduanya memungut zakat tatkala harta tersebut telah wajib dizakati sebelum pemberian, bukan tatkala seseorang itu menerima pemberiannya.”
Pengertian semacam ini ditunjukkan oleh hadits lain yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud sendiri: “Siapa saja yang menerima harta (mâl al-mustafâd) maka tidak ada zakat di dalamnya hingga mencapai haul.” (Imam Dzahabi mengomentari hadits ini, bahwa di dalam isnadnya terdapat Khusaif bin ‘Abdurrahman al-Jazariy al-Haraniy Abu ‘Aun salah seorang mawaliy Bani Umayyah; dan ia dilemahkan oleh Imam Ahmad. Namun, Ibnu Mu’in berkata ia adalah laki-laki yang baik dan terpercaya).
Adapun hadits yang kedua, ‘Abu ‘Ubaid berkomentar sebagai berikut, “Orang menafsirkan —atau sebagian orang— bahwa yang dimaksud oleh Ibnu ‘Abbas adalah harta emas dan perak. Menurut saya, maksud dari perkataan Ibnu ‘Abbas di atas tidaklah demikian. Saya adalah orang yang lebih faqih dibandingkan mereka (orang yang menafsirkan dengan emas dan perak). Sebab, penafsiran semacam itu bertentangan dengan pendapat umat Islam. Menurut saya, bahwa yang dimaksud oleh Ibnu ‘Abbas adalah zakat atas apa yang keluar dari tanah. Sebab, penduduk Madinah menamakan tanah-tanah mereka dengan harta (al-amwâal). Kami tidak menjumpai satupun hadits di dalam sunnah yang menyatakan bahwa harta wajib dizakati ketika dizakati, kecuali apa yang keluar dari tanah. Seandainya maksud dari perkataan Ibnu ‘Abbas tidaklah demikian, sungguh saya tidak tahu apa maksud dari haditsnya.” (Pentahqiq kitab al-Amwâl, Muhammad Khalil al-Harâs menyanggah pendapat Abu ‘Ubaid ini dan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Ibnu ‘Abbas adalah harta tersebut tumbuh sedikit-demi sedikit. Jika ia telah mencapai haul dan terpenuhi nishabnya, maka harta tersebut harus dikeluarkan zakatnya tatkala telah mencapai nishab).
Pentahqiq kitab al-Amwâl, Muhammad Khalil al-Harâs, dalam cacatan kaki, menyatakan, “Hadits ini (hadits riwayat Ibnu ‘Abbas/hadits kedua) diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, maknanya adalah jika harta tersebut telah mencapai nishab, maka ia harus dikeluarkan zakatnya dan tidak harus menungguh tercapainya haul, kemudian baru dikeluarkan zakatnya).”
Dari komentar Abu ‘Ubaid di atas bisa disimpulkan, bahwa mâl al-mustafâd yang termaktub dalam riwayat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, dan lain-lainnya, tidak serta merta ditarik zakatnya ketika diterima, akan tetapi baru ditarik ketika telah mencapai nishab dan haul.
Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwâl menuturkan beberapa riwayat tentang al-mâl al-mustafâd yang selalu dikaitkan dengan haul.
Ashim bin Dlamrah dari Ali ra, bahwanya ia berkata, “Tidak ada zakat bagi al-mâl al-mustafâd hingga ia mencapai haul (tersimpan selama satu tahun).” [HR. Abu Dawud, Imam Ahmad, dan al-Baihaqiy].
Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Nafi’ dari Ibnu ‘Umar [HR. Daruquthniy dan Ibnu Abi Syaibah]. Riwayat senada juga dituturkan oleh al-Qatadah dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Umar (Abu ‘Ubaid, al-Amwâl, hal.503-504).
Muhammad bin ‘Uqbah berkata, “Saya bertanya kepada Qasim bin Muhammad tentang zakat. Ia berkata, ‘Adapun Abu Bakar, jika seorang laki-laki hendak mengambil pemberiannya, ia bertanya, apakah orang tersebut memiliki harta yang layak untuk dizakati. Jika orang itu menyatakan bahwa ia memiliki harta yang layak untuk dizakati, maka Abu Bakar balas mengambil sebagian harta yang hendak ia ambilnya. Jika laki-laki itu menyatakan bahwa ia tidak memiliki harta yang layak untuk dizakati, maka Abu Bakar menyerahkan pemberiannya kepada laki-laki itu’.”
Riwayat senada juga diketengahkan oleh Muhammad bin Abu Bakar. Dalam riwayat lain dituturkan, bahwasanya Ibnu Abi Salamah meriwayatkan dari ‘Umar bin Husain dari ‘Aisyah anak perempuan dari Qudamah bin Madzmuun, perempuan itu berkata, “’Ustman bin ‘Affan jika mengeluarkan pemberian, ia mengirimnya kepada bapakku. Kemudian ia berkata, ‘Jika kamu memiliki harta yang wajib dizakati, maka kami akan membuat perhitungan dari pemberianmu’.”
Ini menunjukkan bahwa, pembahasan mâl al-mustafâd, terkategori dalam zakat mâl (emas dan perak) yang mensyaratkan adanya nishab dan haul. Para ‘ulama sepakat bahwa haul menjadi syarat bagi zakat mâl.
Berbeda dengan zakat profesi yang dikenalkan oleh Yusuf Qaradlawiy. Sesungguhnya ia telah memasukkan zakat profesi dalam kategori mâl al-mustafâd, dan menariknya begitu diterima; bisa bulanan, harian, mingguan, tergantung diterimanya harta tersebut. Menurutnya, gaji dokter, insinyur, wiraswastawan dan sebagainya terkategori mâl al-mustafâd. Oleh karena itu, ia harus ditarik zakatnya begitu diterima, yakni 1/40-nya. Sesungguhnya, pendapat semacam ini adalah pendapat ganjil yang tidak pernah dikenal oleh ‘ulama-‘ulama masa awal Islam. Bahkan, maksud dari mâl al-mustafâd yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud sama sekali berbeda dengan zakat profesi yang diketengahkan oleh Yusuf Qaradhawiy.
Benar, ada beberapa harta yang diperselisihkan para ulama mengenai syarat haulnya. Ada harta-harta tertentu yang penarikan zakatnya dilakukan begitu diterima, tanpa harus menunggu haul. Namun ada pula, yang harus menungguh hingga mencapai nishab dan haul. Contoh harta yang tidak mensyaratkan adanya haul adalah, zakat pertanian, rikaz, dan barang temuan. Namun, ini tidak berarti, bahwa kebolehan zakat profesi —tanpa syarat haul— harus diakui karena ulama berselisih pendapat tentang syarat haul. Tidak boleh dinyatakan demikian. Sebab, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa untuk mâl al-mustafâd langsung bisa ditarik ketika diterima, akan tetapi harus menunggu haul dan nishab —kami telah memaparkan seluruh dalil tentang mâl al-mustafâd yang dikaitkan dengan nishab dan haul.
Adapun riwayat-riwayat lain yang menyanggah pendapat Qaradlawiy adalah sebagai berikut:
Dari Mukhâriq, dituturkan bahwa Thâriq telah berkata, “Pada masa ‘Umar harta pemberian-pemberian kami tidak dikeluarkan zakatnya, hingga kami mengeluarkan zakatnya.”
Abu ‘Ubaid berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa zakat tidak diambil dari pemberian kecuali harta yang telah dimiliki oleh mereka. Seandainya pemberian itu harus dizakati, tentunya ‘Umar akan mengambil zakat darinya.” (Abu ‘Ubaid, al-Amwâl, hal. 505).
C. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan dengan sharih tentang wajibnya zakat profesi, maka seorang muslim tidak boleh menetapkan adanya zakat profesi. Seorang muslim tidak boleh berpandangan, bahwa tidak disyariatkannya zakat profesi adalah bentuk ketidakadilan dan kedzaliman. Sebab, petani yang pendapatannya tidak seberapa tetap dikenai zakat ketika panen, sedangkan dokter, insinyur dan profesi lain “yang tidak terlalu berat” dibandingkan profesi petani justru tidak ditarik zakatnya. Mungkin kita bisa memberikan ilustrasi yang serupa untuk menangkis syubhat ini. Rasulullah Saw telah menarik zakat dari unta, sapi, kerbau, kambing dan domba; namun beliau tidak menarik zakat pada kuda, keledai, baghal, dan sebagainya. Rasulullah Saw bersabda, “Telah maafkan bagimu mengenai kuda dan hamba sahaya, dan tidak wajib zakat pada keduanya.” [HR. Ahmad dan Abu Dawud]. Tentunya kita tidak mungkin berfikiran, “mengapa peternak domba ditarik zakatnya sedangkan peternak kuda atau keledai tidak ditarik, bukankah ini tidak adil?” Jika kita berfikiran seperti ini, berarti kita telah menyangsikan keadilan hukum yang telah digariskan oleh Allah dan RasulNya.
D. Adapun pengqiyasan antara zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, maupun zakat maal, adalah tertolak. Sebab, tidak ada ‘illat dalam zakat hasil pertanian, sehingga layak untuk diqiyaskan pada profesi selain petani. Adapun mengenai ‘illat adanya keadilan dan kesetaraan, sesungguhnya ‘illat semacam ini tidak bernilai sama sekali untuk membangun hujjah. Sebab, ‘illat yang absah digunakan untuk qiyas adalah ‘illat syar’iyyah, bukan ‘illat ‘aqliyyah. Padahal, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa ‘illat zakat adalah untuk kesetaraan dan keadilan. Selain itu, zakat hasil pertanian tidak boleh diqiyaskan dengan zakat profesi karena petani harus mengeluarkan zakat tatkala ia memanennya. Pendukung zakat profesi menyatakan, bahwa saat panen sama dengan saat gajian, jadi seorang dokter ketika gajian harus ditarik zakatnya juga. Sesungguhnya qiyas semacam ini adalah qiyas serampangan yang didasarkan pada hawa nafsu belaka. Sesungguhnya, nash yang berbicara tentang zakat hasil pertanian tidak mengandung ‘illat sama sekali, sehingga layak digunakan dalil untuk qiyas. Perhatikan firman Allah SWT, “Keluarkanlah zakat biji makanan itu pada hari panennya.” (Qs. al-An’âm [6]: 141). Nash ini berbicara pada konteks khusus, yakni zakat biji makanan, dan tidak berbicara pada aspek yang lain. Oleh karena itu, hukumnya hanya berlaku pada konteks biji makanan, dan tidak boleh dianalogkan dengan yang lain. Selain itu, nash ini tidak menunjukkan adanya ‘illat sama sekali. Padahal syarat utama qiyas adalah adanya ‘illat. Lantas, apa bisa kita mengqiyaskan sesuatu yang tidak ada ‘illatnya?
Dengan demikian, zakat profesi adalah bentuk peribadatan baru yang tidak pernah dikenal baik di zaman Rasulullah, shahabat, maupun ulama-ulama terkenal. Bahkan, mereka tidak pernah menyinggung masalah ini dalam kitab-kitab fiqh mereka. Ini menunjukkan bahwa zakat profesi tidak pernah disyariatkan di dalam Islam. Jika demikian, kita bisa menyimpulan bahwa zakat profesi harus ditolak demi menegakkan hujjah dan kebenaran. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
(Tim Konsultan Ahli Hayatulislam [TKAHI])
0 comments:
Post a Comment