SUNNI-SYIAH DALAM NAUNGAN KHILAFAH
Sekilas Tentang Sunni dan Syiah
Salah satu upaya kaum kafir memecah-belah kesatuan dan persatuan umat Islam adalah mengadu domba kaum Muslim melalui isu perbedaan mazhab, aliran kalam, kelompok dan golongan. Melalui agen-agennya, kaum kafir terus menanamkan fanatisme dan sentimen mazhab, kelompok dan golongan agar kaum Muslim sibuk memusuhi saudara-saudaranya sendiri dan melupakan musuh sejati mereka, yakni orang-orang kafir yang terus memerangi Islam dan kaum Muslim siang dan malam. Kaum kafir juga tidak segan-segan membentuk faksi-faksi di tubuh kaum Muslim untuk menimbulkan kesesatan, perselisihan dan permusuhan.
Di antara isu sentimen kelompok yang terus dieksploitasi untuk menghancurkan kesatuan kaum Muslim adalah isu Sunni-Syiah. Isu ini secara efektif digunakan oleh Amerika Serikat, pasca invasi di Irak, untuk memecah-belah kekuatan kaum Muslim serta mengalihkan medan pertempuran sebenarnya, yakni berperang melawan tentara Amerika Serikat, ke arah perang antara kelompok Sunni dan Syiah. Amerika Serikat juga mempersenjatai dan mendanai kelompok-kelompok di Irak untuk menimbulkan konflik internal di tubuh kaum Muslim. Dengan cara seperti itu, perlawanan kaum Muslim menjadi lemah, dan eksistensi penjajahan Amerika Serikat di Irak bisa tetap bertahan hingga sekarang.
Padahal kaum Sunni dan Syiah di Irak dan juga negeri-negeri Islam yang lain sejak ribuan tahun yang lalu bisa hidup harmonis dan berdampingan satu dengan yang lain. Tidak hanya itu saja, di sepanjang lintasan sejarah Khilafah Islamiyah, kelompok Sunni dan Syiah, mendapatkan perlakuan yang sama, baik di depan hukum maupun politik. Dalam batas-batas tertentu, pemikiran hukum dan kalam Sunni dan Syiah berkembang dan diakomodasi dengan baik oleh penguasa-penguasa Islam pada saat itu. Hal ini bisa dimengerti, karena Negara Khilafah adalah institusi politik yang bertugas mengatur urusan rakyat dengan syariah Islam, tanpa memandang lagi latar belakang agama, mazhab, golongan, suku, ras dan lain sebagainya; dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Dalam konteks ri’ayah, Negara Khilafah berdiri di atas semua kelompok, golongan dan agama serta memperlakukan kelompok-kelompok tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan syariah yang dilegalisasinya. Negara Khilafah bukanlah negara milik kelompok tertentu, mazhab tertentu, atau untuk agama tertentu; tetapi ia adalah institusi yang menaungi dan mengatur seluruh entitas yang ada di dalam Daulah Khilafah Islamiyah tanpa terkecuali, berdasarkan syariah Islam.
Adapun konflik-konflik bersenjata yang terjadi pada masa Kekhilafahan jarang sekali disebabkan karena faktor perbedaan pendapat dalam bidang fikih, mazhab, maupun kelompok; tetapi lebih diakibatkan karena intrik-intrik politik di pusat-pusat kekuasaan,riddah dan bughat.
Perkembangan Sunni dan Syiah
1. Syiah.
Kemunculan Sunni dan Syiah dapat ditelusuri dari intrik politik seputar siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi saw. sebagai kepala Negara. Pada awalnya, persoalan ini tidak pernah menyulut pertikaian di antara para Sahabat, kecuali hanya percikan-percikan belaka. Bahkan para Sahabat tidak pernah menjadikan masalah tersebut sebagai alat untuk menikam maupun menyerang Sahabat yang lain. Hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib pun, persoalan siapa yang paling berhak menjadi khalifah atau imam, bukanlah penyebab yang menyulut terjadinya Perang Jamal maupun Perang Shiffin. Namun, persoalan ini kemudian dieksploitasi sekelompok orang untuk memecah belah kesatuan dan persatuan kaum Muslim.
Sumber-sumber terpercaya dari kalangan Sunni dan Syiah sepakat bahwa pihak yang menyebarkan benih-benih fitnah di kalangan kaum Muslim adalah orang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam, yakni Abdullah bin Saba’1. Dialah orang pertama yang menyebarkan pemikiran-pemikiran beracun, seperti kedustaan atas nama Ahlul Bait; pendiskreditan terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman ra.2; pengkultusan terhadap Ali dan seruan untuk hanya berpihak kepadanya; penentangan terhadap Khalifah Utsman bin Affan ra.3; dan lain sebagainya.
Menurut Dr. Amir an-Najjar, Abdullah bin Saba’ jualah yang memiliki andil dalam mengobarkan Perang Jamal dan Perang Shiffin. Propaganda-propaganda sesat Abdullah bin Saba’ menemukan momentumnya setelah majelis tahkîm (Ramadhan, 37 H/657 Masehi) gagal menyelesaikan pertikaian antara Khalifah Ali ra. dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Kegagalan ini menyebabkan lahirnya kelompok Syiah (pendukung Ali) dan Khawarij, kelompok yang memisahkan diri dari kelompok ‘Ali maupun Muawiyah.4
Di kemudian hari, perselisihan tersebut tidak hanya berpengaruh dalam membentuk sikap politik kelompok Syiah dan Khawarij, tetapi juga memberikan andil dalam pembentukan pemikiran-pemikiran keagamaan mereka. Intrik ini telah bergeser sedemikian jauh dari persoalan politik ke arah persoalan ideologis. Lahirlah kelompok-kelompok yang mengembangkan ajaran-ajaran ekstrem yang tidak pernah dikenal oleh kaum Muslim sebelumnya.
Kelompok Syiah terus berkembang dan tetap eksis hingga sekarang. Yang paling menonjol adalah Syiah Itsnai ‘Asyarah (Syiah 12). Ada pula kelompok Syiah Imamiyah (Syiah 6), Syiah Zaidiyah, Kaisaniyah, Ismailiyah, Fathimiyah dan lain sebagainya. Hampir seluruh kelompok Syiah menyakini sepenuhnya bahwa hak Imamah telah ditetapkan oleh nash syariah kepada Ali ra. dan keturunannya. Hanya saja, di antara kelompok-kelompok Syiah tersebut terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan siapa keturunan Ali ra. yang berhak memegang tampuk Imamah. Dari sisi fikih dan akidah, kelompok Zaidiyah sangat dekat dengan Ahlus Sunnah. Oleh karena itu, karya ulama Zaidiyah juga sering dijadikan rujukan kalangan Sunni. Kelompok Zaidiyah juga tidak sampai mencela atau mencerca para Sahabat besar seperti halnya kelompok-kelompok Syiah lainnya.Kelompok Zaidiyyah memperlakukan para Sahabat sebagaimana kelompok Sunni.
2. Sunni.
Terkait dengan kelompok Sunni, keragaman pendapat dalam kelompok ini di bidang fikih, ushul fikih, kalam dan bidang-bidang lain juga sangatlah kaya. Di bidang fikih, berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Zhahiri, dan lain sebagainya. Di bidang ilmu tauhid berkembang pemikiran Imam Asy’ari, Maturidi, Thahawi, Bazdawi, Asnawi, Isyfiraini, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Walaupun dalam banyak persoalan mereka berbeda pendapat, para ulama Sunni telah menggariskan pokok-pokok keimanan yang tidak boleh diselisihi oleh kaum Muslim; yakni iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat serta qadla dan qadar. Pandangan mereka terhadap persoalan Imamah atau Khilafah juga beragam. Hanya saja, seluruh ulama Sunni mengakui legalitas tiga khalifah sebelum Ali ra. serta mengakui keadilan para Sahabat Nabi saw. dan hak Kekhilafahan tidak hanya di tangan Ali ra. dan keturunannya saja meski sebagian mazhab Syafii berpandangan bahwa khalifah harus dijabat oleh suku Quraisy.
Dalam konteks kalam, pandangan Imam Asy’ari dalam menyikapi ayat-ayat shifat berbeda dengan pandangan Imam Maturidi. Selain itu, pandangan dan perlakuan ulama-ulama Sunni terhadap Ahlul Bait selalu bersandarkan pada wasiat dan pesan Nabi saw. Dalam pandangan ulama Sunni, Ahlul Bait tidaklah terjaga dari dosa alias ma’shûmsebagaimana Rasulullah saw. Hanya saja, Ahlul Bait mendapatkan kedudukan dan tempat yang sangat mulia di sisi kelompok Sunni, sebagaimana para Sahabat besar Nabi saw. yang lain.
Dalam lintasan sejarahnya yang panjang, keragaman pendapat yang terdapat pada kelompok Sunni dan Syiah pada batas-batas tertentu tidak pernah menyulut terjadinya konflik yang pelik, kecuali setelah isu Sunni-Syiah ini dipolitisasi sedemikian rupa untuk menimbulkan perpecahan di tengah-tengah kaum Muslim serta untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Namun, dari sisi pemikiran hukum maupun politik, kalangan Sunni dan Syiah sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat. Kedua kelompok ini bisa hidup berdampingan dan saling menghormati satu sama lain. Kenyataan ini bisa dilihat dari sikap para ulama kalangan Sunni terhadap ulama Syiah dan sebaliknya. Ulama-ulamamu’tabar dari kalangan Sunni menempatkan Ahlul Bait [yang oleh kalangan Syiah dijadikan sebagai panutan dan pemimpin mereka] pada kedudukan yang tinggi dan mulia.
Ibnu Syihab az-Zuhri (50-123 H), misalnya, seorang ulama besar dari kalangan Sunni, memberikan komentar terhadap Ali Zainal Abidin dengan ungkapan, “Saya belum menyaksikan seseorang yang lebih ahli dalam bidang hukum daripada Ali bin al-Husain. Hanya saja, beliau ini sedikit berhadis.”
Ibnu Musayyab, ulama besar Sunni yang lain melukiskan kepribadian Ali bin al-Husain, “Saya belum menyaksikan orang yang lebih wara’ daripada beliau.”
Simak juga bagaimana penilaian Muhammad bin Ali atau Abu Ja’far al-Baqir (w. 133 H) terhadap Abdullah bin Umar (w. 73 H), “Di antara para Sahabat Rasulullah, tak seorang pun jika mendengarkan sabda Rasulullah saw. bersikap lebih hati-hati untuk tidak menambahi atau mengurangi daripada Abdullah bin Umar.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqât, II/125).
Di sisi lain, Imam Ja’far bin ash-Shadiq pernah menjadi guru Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Malik bin Anas ra (w. 179 H).
Dari kalangan Syiah Zaidiyah, kaum Muslim juga mengenal Zaid bin Ali ra. Pandangan-pandangan beliau mengenai syariah, hadis dan para Sahabat besar tidak ada bedanya dengan pandangan kaum Sunni, kecuali dalam bidang Imamah (kepemimpinan). Zaid bin Ali (w. 122 H) lahir di Madinah al-Munawarah. Beliau banyak belajar dari ulama-ulama Sunni terkemuka seperti Said ibn Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman, Urwah bin Zubair, Ubaidillah bin Abdillah dan ulama-ulama besar Madinah lainnya.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan Sunni dan Syiah adalah kaum Muslim dari kalangan Sunni dan Syiah yang hidup di daerah Kufah, Yaman dan negeri-negeri Islam lain; mereka bisa hidup berdampingan dengan damai dan harmonis. Adanya konflik-konflik bersenjata yang terjadi di dalam sejarah Kekhilafahan lebih diakibatkan karena alasan-alasan yang bersifat politis, semacam perebutan kekuasaan dan intrik-intrik politik.
Kebijakan Khilafah Mempersatukan Sunni-Syiah
Pada dasarnya, untuk menciptakan stabilitas negara dan persatuan umat Islam yang sangat mejemuk dan beragam tersebut, sikap resmi Negara Khilafah dapat dijabarkan sebagai berikut;
1. Mengakomodasi pendapat dan pendirian mereka selama pendapat tersebut belum dianggap menyimpang dari akidah dan syariah Islam. Kelompok-kelompok seperti ini tetap dianggap sebagai bagian dari kaum Muslim dan diperlakukan layaknya kaum Mukmin. Mereka diberi hak untuk menyebarkan pendapat dan pendiriannya di wilayah Khilafah Islamiah tanpa ada larangan sedikit pun. Mereka juga diberi hak untuk mengakses jabatan-jabatan penting Negara Khilafah.
2. Kelompok-kelompok yang telah menyimpang dari akidah Islam, atau terjatuh pada penakwilan-penakwilan yang sesat. Mereka dihukumi sebagai kelompok yang telah keluar dari Islam (murtad). Kebijakan Negara Khilafah dalam masalah ini sangat jelas:menasihati mereka agar kembali pada jalan yang lurus, menjelaskan kesesatan pendirian mereka dan memberi tenggat waktu untuk bertobat. Jika mereka menolak dan tetap dalam pendiriannya barulah mereka diperangi.
3. Kelompok-kelompok pemikiran maupun politik yang membangkang (bughat), melakukan tindak kerusakan (hirâbah), memecah-belah persatuan dan kesatuan jamaah kaum Muslim, atau melakukan persekongkolan dengan kafir harbi. Mereka ini akan ditindak dan diperlakukan sesuai dengan ketentuan syariah Islam atas pelanggaran yang mereka lakukan.
4. Selain menegakkan sanksi yang tegas atas kelompok-kelompok yang hendak merusak kesatuan kaum Muslim dan instabilitas negara, Khilafah juga melakukan upaya-upaya edukasi yang terus-menerus mengenai pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan kaum Muslim serta meninggalkan fanatisme kelompok yang berlebihan.
Kebijakan-kebijakan di atas telah dipraktikkan oleh para khalifah pada masa keemasan Islam. Misalnya, terhadap kelompok Khawarij, Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. tidak melarang mereka shalat di masjid. Mereka juga diberi bagian rampasan perang sebagaimana kaum Muslim yang lain. Beliau juga tidak melancarkan peperangan terhadap mereka, kecuali jika mereka menyerang terlebih dulu. Ketika kelompok Khawarij kalah dalam peperangan, mereka tidak dikejar-kejar untuk dibinasakan. Mereka dibiarkan kembali ke rumah masing-masing, mendapatkan perlakuan layaknya kaum Muslim dan tetap mendapatkan keamanan dari beliau.5
Sikap seperti ini juga ditempuh oleh Umar bin Abdul Aziz terhadap kelompok Khawarij pada masanya. Beliau berdiskusi dengan mereka untuk memahamkan dan menasihati mereka agar kembali kepada jalan yang benar. Saat mereka menolak serta melakukan pembangkangan barulah beliau mengirim pasukan perang.6
Pada masa Kekhilafahan Bani Umayah, tepatnya pada masa pemerintahan Mughirah bin Syu’bah, beliau tidak menggunakan kekuatan militer karena adanya perbedaan pendapat di tengah-tengah masyarakat. Jika ada orang berkata kepadanya bahwa seseorang beraliran Syiah atau Khawarij, ia pun menjawab, “Allah membiarkan mereka saling berbeda dan Allah pun akan menghukumi para hambanya yang bersalah.”7 Namun, ketika kelompok Khawarij bergerak di Kufah, membuat kerusakan dan mengobarkan pembangkangan, beliau pun bersiap memerangi mereka.8
Kebijakan serupa juga ditempuh oleh para khalifah dari Bani Abbasiyah. Khalifah al-Muktafi pernah berkirim surat kepada Abu Said al-Janabi (seorang panglima perang dari Syiah Qaramithah) yang berisi penjelasan mengenai kesesatan kelompok mereka dan ajakan untuk menghilangkan perpecahan di antara umat Islam. Khalifah Malik Syah juga pernah mengirim surat kepada kelompok Ismailiyah untuk mengajak mereka kembali pada ajaran Islam yang benar.
Akhirnya, dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesatuan dan persatuan kaum Muslim hanya bisa ditegakkan secara hakiki jika di tengah-tengah mereka ada khalifah (Khilafah) yang mengatur urusan mereka dengan syariah Islam. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]
Catatan kaki:
1 Untuk literatur Syiah, bisa dibaca karya-karya Imam al-Kasyi, an-Nubakhti dan lain-lain.Untuk literatur Sunni dapat dibaca karya Imam ath-Thabari dan lain sebagainya. Lihat: Imam al-Kasyi, Rijâl al-Kasyi, hlm. 100-101; Imam atth-Thabari, Târîkh al-Mulûk wa al-Umam, V/90.
2 Lihat: an-Nubakhti, Firqah aasy-Syî’ah, hlm. 43-44, Cet. Haidariyyah, Najaf, Iraq, 1959.
3 Tarikh Syi’ah, Rawdhah ash-Shafâ, II/292.
4 Dr Amir An Najjar, Al-Khawârij: ‘Aqîdat[an] wa Fikr[an] wa Falsafat[an] (Aliran Khawarij; Mengungkap Akar Perselisihan Umat [Terjemahan]), Penerbit Lentera, 1993, Jakarta.
5 Lihat: Ibnu Atsir, Al-Kâmil, III/169 dan 173; Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatawa, XXVIII/468.
6 Lihat diskusi antara Umar bin Abdul Aziz dengan mereka dalam Ibnu Atsir, Al-Kâmil, IV/155-156. Pada masa Abu Bakar ra., beliau bertindak tegas terhadap kelompok yang menolak pensyariatan zakat serta kaum murtad yang bermunculan di jazirah Arab. Sebagaimana ketentuan syariah, orang-orang yang murtad dari Islam harus dinasehati dan diberi tenggat waktu untuk bertobat (kembali pada Islam); mereka baru diperangi jika setelah itu mereka masih tetap membangkang.
7 Ibnu Atsir, Al-Kâmil, III/210.
8 Ibid, III/212.
0 comments:
Post a Comment