ISLAM AGAMA SYUMUL

FIRMAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA; "Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan, kerana sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian." [TMQ AL-BAQARAH(2):208]

MASA ITU EMAS


KALIMAH "DAAR"


Kata dâr, dalam bahasa Arab, adalah isim musytarak; satu kata dengan banyak makna. Konotasi kata tersebut meliputi: al-arshah (halaman rumah); al-bina’ (bangunan rumah); dan al-mahallah (distrik atau wilayah). Oleh karena itu, setiap tempat yang didiami oleh suatu kaum, disebut dar (negeri atau wilayah) mereka.(1) Al.Quran dan al-Hadits sama-sama menggunakan kata tersebut dengan konotasi etimotogisnya:tempat yang dihuni. Al-Quran telah menggunakan kata tersebut sebanyak 26 kali.(2 ) Allah Swt. berfirman:

Sesungguhnya kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. (QS aI-An’am [6]: 32).

     Hadist Nabi saw. juga menggunakan kata tersebut dengan konotasi yang sama, misalnya: Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah datang ke kuburan,  kemudlan beliau bersabda, ‘As’SaIam(u) ‘alaykum dar qawm(in) mu’minin wa inna insya Allah(u) bikum lãhiqun (Semoga keselamatan tetap dilimpahkan kepada kalian, tempat kaum Mukmin. Sesungguhnya kami, insya Allah, akan menyusul kalian. (HR Muslim dari Abu Hurairah) 

     Dar (jamaknya ad-dur) juga bisa berkonotasi kabilah; bisa juga berkonotasi balad (negeri atau wilayah).[3 ] Namun demikian, konotasi etimologis tersebut telah dikonversi oleh Pembuat Syariat ketika menggunakan kata dar dalam konteks: Dar al-Islam, Dar al-Kufr, dan Dar al-harb. Ini antara lain tertihat dalam Hadis Nabi saw. yang menyatakan:

Jika kamu bertemu musuhmu, orang-orang Musyrik, ajaklah mereka pada tiga pilihan atau alternatif; mana saja di antara ketiganya, selama mereka memenuhi (seruan)-mu, terimalah dan tahanlah (untuk menyerang) mereka. Kemudian, ajaklah mereka pada Islam. Jika mereka memenuhi (seruan)-mu, terimalah dan tahanlah (untuk menyerang) mereka. Kemudian, ajaklah mereka berhijrah dari negeri mereka (Dâr Kufr) ke negeri Muhajirin (Dar Islam). Jika mereka enggan berhijrah dari sana, sampaikan kepada mereka, bahwa mereka layaknya kaum Muslim yang lain, yang kepada mereka akan diberlakukan hukum Allah, sebagaimana yang diberlakukan kepada kaum Mukmin; mereka tidak berhak mendapat bagian sedikitpun dari ghanimah dan fai’, kecuali jika mereka berjihad bersama kaum Muslim. Jika mereka enggan, mintalah mereka membayar jlzyah; jika mereka bersedia, terimalah dan tahanlah (untuk menyerang). Namun, jika mereka enggan, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. (HR Muslim dari Sulaiman bin Buraidah).

 Dalam hadis lain disebutkan:

Dar Islam telah melindungi (rakyatnya) apa saja (darah, harta, dan kehormatan mereka) yang ada di dalamnya; sementara Dar Syirk telah menjadikan apa saja (milik rakyatnya)yang ada di dalamnya menjadi halal. (HR al-Mâwardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah).


     Setelah adanya konversi dan konotasi etimologis ke konotasi syar’i, maka istilah tersebut telah menjadi istilah syariat. Sebab, syariat telah menggunakannya dengan istilah dan maksud yang dikehendakinya. Dari sini akhirnya berlaku kaidah umum di kalangan ulama ushul; jika ada kata musytarak dan manqul (yang dikorversi), maka yang manqul harus dikuatkan ketimbang yang musytarak. Para fukaha kemudian membuat definisi Dar Islam. Mazhab Hanafi, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Kasâni, menyatakan bahwa Dar Kufr akan merijadi Dar Islam jika hukum Islam berkuasa di negeri tersebut.[5] Mazhab Syâfi’i, sebagaimana yang dikemukakan oleh ar-Ramli, menyebut Dar al-Islam jika penduduknya mampu melindungi diri dari serangan musuh.[6] Sedangkan mazhab Hanbali, seperti yang dinyatakan oleh Ibn Qayyim, menyebut demikian jika negeri tersebut didiami oleh kaum Muslim dan hukum-hukum Islam diterapkan di sana.[7]
 

     Dari batasan yang dikemukakan oleh para fukaha di atas dapat disimpulkan, bahwa status Dar lslam tersebut dapat dikembalikan kepada dua hal: (1) penerapan hukum Islam; (2) kekuatan Islam yang melindungi negeri dan penduduknya, baik di dalam maupun luar negeri. Keniscayaan dua syarat tersebut sebenarnya digali dari fakta Makkah dan Madinah setelah hijrah, juga dari perintah Rasulullah saw. untuk hijrah dari negeri kufur ke negeri kaum Muhajirin (Madinah) serta dari perintah untuk memerangi wilayah yang  didiami kaum Muslim ketika ada Khilafah  Islam, sementara di wilayah tersebut hukum dan keamanan tidak berada di tangan Islam.’
 

     Dari sini dapat disimpulkan, bahwa  kata Dar Islam adalah bilad (negeri) atau wilayah yang didalamnya  hukum Islam diterapkan secara total dan keamanannya berada di tangan kaum Muslim. Negeri atau wilayah ini tidak pernah ada tanpa adanya Khilafah Islam atau negara Islam. Sebab, adanya kedua syarat tersebut meniscayakan adanya Khilafah Islam. Artinya, hanya dibawah Khilafah Islamlah kedua syarat tersebut benar-benar terwujud. Oleh karena itu, juga bisa disimpulkan, bahwa Dar Islam adalah negeri atau wilayah yang benaung di bawah Khilafah Islam. Dari sini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa negeri atau wilayah yang layak untuk dijadikan Khilafah atau Negara Islam adalah negeri atau wilayah yang mempunyai kekuasaan yang independen dari semua bentuk intervensi asing dalam mewujudkan “keamanan” dalam urusan domestik maupun luar negeri; di dalamnya juga diterapkan hukum Islam secara menyeluruh dan serentak
 

     Dengan demikian, istilah Dâr Islam mempunyai makna yang berbeda dengan istilah KhiIafah atau Dawlah Islamiyyah, meski rmasing-masing merupakan istilah syariat. Dar al-Islam mempunyai konotasi tempat di mana hukum Islam secara totalitas diterapkan dan tempat tersebut dilindungi oleh kekuasaan kaum Muslim di bawah Khilafah Islam, sedangkan Khilafah atau Dawlah Islamiyyah mempunyai konotasi institusi—dalam wujud entitas operatif—yang menerapkan hukum Islam secara total sekaligus berarti kekuasaan politik yang menerapkan hukum dan melindungi rakyat.
 

     Berbeda dengan istilah bilâd. Istilah bilad bukan istilah syariat, karena istilah ini tidak digunakan oleh nash syariat, baik al-Quran maupun as-Sunnah, kecuali dengan konotasi etimologis; tempat.[9] Penggunaan istilah biIad—yang kemudian mendapat adjektif Islam atau kufur—bukan karena hukum dan keamanannya, sebagaimana dar-, melainkan karena faktor: (1) hiyazah (penguasaan) dan (2) milk (hak milik).[10] 

Dari sini, Bilad Islamiyah (negeri Islam) dapat diklasifikasikan menjadi dua:

1.      Wilayah yang pernah dikuasai oleh kaum Muslim atau tunduk di bawah Khilafah Islam, walaupun saat ini dikuasai oleh orang kafir, seperti Andalusia. Wilayah ini tetap disebut Bilad  islamiyyah karena status asalnya tetap; sebagai wilayah yang dikuasai oleh kaum muslim  dan karena kewajiban ke depan untuk mengambilnya kembali dari tangan orang Kafir.

2.      Wilayah yang menjadi milik kaum Muslim karena selurub atau mayonitaspenduduknya pada saat ini adalah Muslim, sekalipun secara politik, para penguasa atau kepala negaranya adalah orang nonIslam, seperti lebanon.

     Sifat Islam pada negeri ini tetap sekalipun hukum yang diterapkan tidak lagi hukum Islam atau keamanan untuk melindungi urusan domestik maupun luar negeri tidak berada di tangan kaum Muslim. Sebab, adjektif Islam tersebut dikembalikan pada hiyazah (penguasaan) dan milk (hak milik), bukan pada hukum dan keamanan. Oleh karena itu, sebuah Bilad Islamiyyah dapat disebut Dar al-Islam jika bergabung dengan Khilafah Islam atau Negara Islam; ketika hukum Islam diterapkan di sana secara total dan keamanannya di tangan kaum Muslim. Demikian sebaliknya. Negeri tersebut juga dapat disebut Dar al-Kufr jika tidak bergabung dengan Khilafah Islam atau Negara Islam. Wallahu a’lam bi ash-shawab. 


Catatan Kaki:
1.       Ibn Manzhur, Lisan al- ‘Arab, Dar al-Fikr, Beirut, tt., juz IV, hIm. 298.
2.       QS al-Baqarah: 94; al-An’âm: 32, 127, dan 135; ai A’râf 145 dan 169; Yünus: 25; YOsuf: 109; ar-Ra’d: 22, 24, 25 dan 42; Ibrâhim: 28; an-NahI: 30; al Qashash 37, 77, dan 83; al-Ankabut: 64; al-Ahzâb: 29; Fâthir: 35; Shad: 46; Ghâfir: 39 dan 52; Fushitat: 28 dan al-Hasyr: 9.
3.       Ibn Manzhur, Lisan al- ‘Arab, juz IV, him. 298-9.
4.       Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqh: Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i, al-Azhar Press, Bogor, cet. I, 2003, hlm. 323-24.
5.       Al-Kasâni, &dd’I’ cs-Shanâi’, Dâr ai-Kitâb al‘Arabi, Beirut, cet. II, 1982, juz VII, htm. 130; an-Nabhâni, Syakhshiyyah al-IsIamiyyah, Dâr al-ummah, Beirut, cet. III, 1994, juz Ii, him. 259.
6.       Ar-Ramli, Nihayah al-Mutdj ‘ala Syarh al-Minhdj, Dâr ai-Fikr, Beirut, cet. terakhir, 1984, juz VIII, hIm. 82.
7.       be al-QaMm, Ahkam Ahl ad-Dzimmah, ed. Shubhi Shâlih, Dâr al-’Ilm li al-Malâyin, Beirut, cet. II, 1983, htm. 366.
8.       Abd al-Wahhãb Khallâf, as-Siyasah as-Syar’iyyah, Muassasah ar-Risâlah, Beirut, cet. V, 1993, hIm. 71; an-Nabhâni, Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz II, hlm. 259-60; Muhammad Khayr Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, Dâr al-Bayâriq, Beirut, cet. I, 1996, juz I, him. 669. Al-Qur’an, surah al-A’raf (7): 57, 58 dan sebagainya.
9.       Haikal, op. cit., Juz I, hlm. 678.

0 comments:

Post a Comment



 

MENGENAL HIZBUT TAHRIR