MALAPETAKA AKIBAT HANCURNYA KHILAFAH
MALAPETAKA AKIBAT
HANCURNYA KHILAFAH
Muhammad shiddiq Al Jawi
Sabda Rasulullah SAW :
“...dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
Pendahuluan
Secara praktis, kehidupan bernegara tersebut dipraktikkan langsung oleh Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah ke Madinah (23 September 622 M). Pada saat itu beliau tidak hanya berfungsi sebagai Nabi, namun juga berfungsi sebagai penguasa (al hakim) dalam kepemimpinan negara (ri`asah ad daulah). Sebagai kepala negara, Rasulullah SAW menerapkan Syariat Islam di segala bidang di dalam negeri dan menyebarkan risalah Islam ke luar negeri melalui dakwah dan jihad fi sabilillah. Pada saat beliau wafat (12 Rabiul Awal 11 H / 6 Juni 632 M), fungsi kenabian terputus dan terhenti. Namun fungsi kepemimpinan negara terus dilanjutkan oleh para shahabat dalam sebuah sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah.[2]
Khilafah inilah yang kemudian dengan berbagai pasang surutnya menghiasi sejarah Islam selama 13 abad hingga kehancurannya di tangan Mustafa Kamal --seorang antek-antek Inggris-- pada tanggal 3 Maret 1924 di Turki. Dengan demikian Mustafa Kamal telah mengokohkan sistem sekuler yang diadopsinya dari para imperialis, yakni sistem republik, yang telah diumumkan sebelumnya oleh Dewan Nasional Turki pada 29 Oktober 1922. [3]
Sikap Mustafa Kamal yang sangat keji itu sungguh merupakan aksi kriminal paling akbar pada abad ke-20 lalu, yang tercatat sebagai episode paling hitam dalam lembar sejarah umat Islam.[4] Betapa tidak, runtuhnya Khilafah sesungguhnya adalah pengkhianatan total terhadap Islam itu sendiri, sebab tegaknya Islam secara sempurna bergantung sepenuhnya pada eksistensi Khilafah.[5] Hancurnya Khilafah berarti berakhirnya penerapan Syariat Islam dalam segala aspek kehidupan dan terhentinya penyebaran risalah Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad fi sabilillah.[6] Hancurnya Khilafah berarti pula lunturnya jatidiri Islam yang hakiki sebagai ideologi dan sistem kehidupan. Islam pun akhirnya tidak lagi mengatur urusan-urusan publik, namun hanya menjadi agama yang bersifat pribadi yang hanya mengurusi ibadah ritual dan aspek moral[7], seperti halnya agama Kristen.
Runtuhnya Khilafah, dengan demikian, telah menjadi ummul jara`im, yakni biang segala malapetaka, kejahatan, dosa, dan kerusakan yang menimpa umat Islam.[8] Kiranya akan sulit kita memperkirakan betapa besarnya malapetaka dan kejahatan yang terjadi akibat hancurnya Khilafah itu.
Namun beberapa yang terpenting adalah[9] :
1. Umat Islam telah dipecah-belah menjadi negara-negara kerdil berdasarkan konsep nasionalisme dan patriotisme mengikuti letak geografis yang berbeda-beda, yang sebagian besarnya sebenarnya berada di bawah kekuasaan musuh yang kafir : Inggris, Perancis, Italia, Belanda, dan Rusia.
2. Di setiap negara boneka tersebut, kaum kafir telah merekayasa dan mengangkat para penguasa --dari kalangan penduduk pribuminya-- yang bersedia tunduk kepada mereka, untuk mentaati instruksi-instruksi kaum kafir tersebut dan menjaga stabilitas negerinya dengan cara menindas dan menyiksa rakyatnya secara kejam tanpa perikemanusiaan.
3. Kaum kafir segera mengganti undang-undang dan peraturan Islam yang diterapkan di negeri-negeri Islam dengan undang-undang dan peraturan kafir milik mereka.
4. Kaum kafir segera mengubah kurikulum pendidikan untuk mencetak generasi-generasi baru yang mempercayai pandangan hidup Barat, namun sebaliknya memusuhi Aqidah dan Syariat Islam, terutama dalam masalah Khilafah.
5. Perjuangan untuk mengembalikan Khilafah serta mendakwahkannya kemudian dianggap sebagai tindakan kriminal atau terorisme yang dapat dijatuhi sanksi oleh undang-undang.
6. Harta kekayaan dan potensi alam milik kaum muslimin telah dirampok oleh penjajah yang kafir, yang telah mengeksploitasi kekayaan tersebut dengan cara yang sejelek-jeleknya dan telah menghinakan kaum muslimin dengan sehina-hinanya.[10]
Ringkas kata, lenyapnya Khilafah adalah lenyapnya pemelihara agama Islam, sebab sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW, seorang Khalifah (Imam) –sebagai pemimpin negara Khilafah-- adalah bagaikan perisai atau benteng bagi Islam, umatnya, dan negeri-negeri Islam.
Sabda Nabi SAW :
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah ibarat perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An Nasa`i, dan Ahmad) [11]
Maka atas dasar itu, tepatlah pernyataan Imam Al Ghazali mengenai strategisnya posisi Khilafah (as sulthan) bagi penerapan dan penjagaan Islam :
“...agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.” [12]
Memang, posisi strategis Khilafah itu sesungguhnya sangat jelas dan terang. Tanpa Khilafah, rusaklah umat Islam. Lenyaplah hukum-hukum Islam. Dan lahirlah berbagai malapetaka, bencana, dan kehinaan di segala bidang.
Namun kesadaran ini nampaknya belum dimiliki secara sempurna oleh kebanyakan umat Islam. Mareka masih banyak yang berdiam diri dan hanya berpangku tangan. Padahal jika mereka hanya berdiam diri, mereka akan turut memikul dosa besar akibat musnahnya Khilafah. Sebab keberadaan Khilafah merupakan salah satu kewajiban terbesar dalam agama Islam. [13]
Maka dari itu, tulisan sederhana ini hadir di tengah umat Islam dengan tujuan untuk menggambarkan berbagai malapetaka dan kerusakan di berbagai bidang kehidupan yang terjadi akibat hancurnya Khilafah. Mudah-mudahan dengan itu umat Islam dapat lebih giat dan bersemangat berjuang mengembalikan Khilafah di muka bumi. Di samping itu, mereka diharapkan dapat mengambil pelajaran (‘ibrah) dari tragedi mengenaskan ini, agar mereka tidak terjeblos lagi dalam peristiwa serupa di kemudian hari.
Allah SWT berfirman :
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS Al Hasyr : 2)
Rasulullah SAW bersabda :
“Janganlah seorang mukmin sampai dipatuk (ular) dalam satu lubang yang sama dua kali.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dari Abu Hurairah.).[14]
Berbagai Malapetaka Akibat Hancurnya Khilafah
Berbagai malapetaka tersebut secara garis besar berupa :
1. Malapetaka ideologi,
2. Malapetaka politik,
3. Malapetaka ekonomi,
4. Malapetaka peradilan,
5. Malapetaka pendidikan,
6. Malapetaka pemikiran,
7. Malapetaka dakwah,
8. Malapetaka sosial budaya.[15]
2.1. Malapetaka Ideologi
Setelah hancurnya Khilafah, Mustafa Kamal dengan tangan besi menjalankan ajaran-ajarannya yang dikenal dengan Kemalisme, yang berisi 6 (enam) sila : republikanisme, nasionalisme, populisme (popular sovereignty), sekularisme, etatisme, dan revolusionisme.[16]
Yang paling kontroversial adalah paham sekularisme yang jelas bertentangan secara frontal dengan Islam. Pengambilan dan penerapan sekularisme inilah yang selanjutnya melahirkan perilaku tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir) di kalangan umat Islam. Inilah malapetaka ideologi yang paling menonjol akibat hancurnya Khilafah.
Berikut sekilas ulasannya.
Pertama, Umat Islam terperosok ke dalam sistem kehidupan berasaskan paham sekularisme.
Sekularisme (secularism) menurut Larry E. Shiner berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “segenerasi, seusia, seabad”. Kemudian dalam perspektif religius saeculum dapat mempunyai makna netral, yaitu “sepanjang waktu yang tak terukur” dan dapat pula mempunyai makna negatif yaitu “dunia ini”, yang dikuasai oleh setan.[17] Pada abad ke-19 (1864 M) George Jacob Holyoke menggunakan istilah sekularisme dalam arti filsafat praktis untuk manusia yang menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari supernatural.[18]
Setelah itu, pengertian sekularisme secara terminologis mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai :
“A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship" (Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan)
Atau sebagai :
"The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education."
(Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik). [19]
Jadi, sekularisme, secara ringkas, adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashlud din ‘an al hayah), yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari negara dan politik.[20]
Secara sosio-historis, sekularisme lahir di Eropa, bukan di Dunia Islam, sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem yang kontradiktif, yaitu pemikiran tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (V-XV M) yang mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik); dan pemikiran sebagian pemikir dan filsuf –misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountagne (w. 1592 M)-- yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan geraja Katolik. Jalan tengahnya, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat.[21]
Secara ideologis, sekularisme merupakan aqidah (pemikiran mendasar) yaitu pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sekularisme dengan demikian merupakan qiyadah fikriyah bagi peradaban Barat, yakni pemikiran dasar yang menentukan arah dan pandangan hidup (worldview / weltanscahauung) bagi manusia dalam hidupnya. Sekularisme juga merupakan basis pemikiran (al qa’idah al fikriyah) dalam ideologi kapitalisme, yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran lainnya, seperti demokrasi, nasionalisme, liberalisme (freedom), HAM, dan sebagainya.[22]
Jelaslah bahwa posisi paham sekularisme sangat mendasar sebagai basis ideologi kapitalisme, sebab sekularisme adalah asas falsafi yang menjadi induk bagi lahirnya berbagai pemikiran dalam peradaban Barat. Maka barangsiapa mengadopsi sekularisme, sesungguhnya ia telah mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat secara keseluruhan.
Sekularisme adalah paham kufur, yang bertentangan dengan Islam.[23] Sebab Aqidah Islamiyah mewajibkan penerapan Syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Tak ada pemisahan agama dari kehidupan dan negara dalam Islam. Karenanya wajarlah bila dalam Islam ada kewajiban mendirikan negara Khilafah Islamiyah.
Sabda Rasulullah SAW :
“...dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim)[24]
Dari dalil yang seperti inilah, para imam mewajibkan eksistensi Khilafah. Abdurrahman Al Jaziri berkata :
“Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumulah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah)...” [25]
Maka dari itu, runtuhnya Khilafah merupakan malapetaka yang sangat besar bagi umat Islam. Dampak buruknya bukan saja pada lenyapnya sistem pemerintahan Islam itu, namun juga pada merajalelanya berbagai pemikiran kufur dari ideologi kapitalisme. Malepataka ideologis ini merupakan malapetaka paling berat yang dialami oleh umat Islam, sebab sebuah ideologi akan dapat mengubah cara pandang dan tolok ukur dalam berpikir dan berperilaku. Umat Islam secara tak sadar akan memakai cara pandang musuh yang akan menyesatkannya. Inilah bunuh diri ideologis paling mengerikan yang banyak menimpa umat Islam sekarang, akibat hancurnya Khilafah.
Padahal, Rasulullah SAW sebenarnya telah mewanti-wanti agar tidak terjadi pemisahan kekuasaan dari Islam, atau keruntuhan Khilafah itu sendiri. Sabda Rasulullah :
“Ingatlah ! Sesungguhnya Al Kitab (Al Qur`an) dan kekuasaan akan berpisah. Maka (jika hal itu terjadi) janganlah kalian berpisah dengan Al Qur`an !” (HR. Ath Thabrani). [26]
Sabda Rasulullah SAW :
“Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu. Maka setiap kali satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan dengan simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah pemerintahan/kekuasaan. Sedang yang paling akhir adalah shalat.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim).[27]
Kedua, Umat Islam telah menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffar) dengan menerapkan sekularisme.
Sekularisme mungkin saja dapat diterima dengan mudah oleh seorang beragama Kristen, sebab agama Kristen memang bukan merupakan sebuah sistem kehidupan (system of life). Perjanjian Baru sendiri memisahkan kehidupan dalam dua kategori, yaitu kehidupan untuk Tuhan (agama), dan kehidupan untuk Kaisar (negara).
Disebutkan dalam Injil :
"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan" (Matius 22 : 21).
Dengan demikian, seorang Kristen akan dapat menerima dengan penuh keikhlasan paham sekularisme tanpa hambatan apa pun, sebab hal itu memang sesuai dengan norma ajaran Kristen itu sendiri. Apalagi, orang Barat –khususnya orang Kristen-- juga mempunyai argumen rasional untuk mengutamakan pemerintahan sekular (secular regime) daripada pemerintahan berlandaskan agama (religious regim), sebab pengalaman mereka menerapkan religious regimes telah melahirkan berbagai berbagai dampak buruk, seperti kemandegan pemikiran dan ilmu pengetahuan, permusuhan terhadap para ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo Galilei, dominasi absolut gereja Katolik (Paus) atas kekuasaan raja-raja Eropa, pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (excommunication), adanya surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan lain-lain.[28]
Namun bagi seorang muslim, sesungguhnya tak mungkin secara ideologis menerima sekularisme. Karena Islam memang tak mengenal pemisahan agama dari negara. Seorang muslim yang ikhlas menerima sekularisme, ibaratnya bagaikan menerima paham asing keyakinan orang kafir, seperti kehalalan daging babi atau kehalalan khamr. Maka dari itu, ketika Khilafah dihancurkan, dan kemudian umat Islam menerima penerapan sekularisme dalam kehidupannya, berarti mereka telah terjatuh dalam dosa besar karena telah menyerupai orang kafir (tasyabbuh bi al kuffar).
Sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Dawud) [29]
Dengan demikian, pada saat Khilafah hancur dan umat Islam menerapkan sekularisme dalam pemerintahannya, maka mereka berarti telah terjerumus dalam dosa karena telah menyerupai orang Kristen yang memisahakan urusan agama dari negara.[31] (Nauzhu billah min dzalik !)
2.2. Malapetaka Politik
Setelah hancurnya Khilafah, berbagai malapetaka politik menimpa umat Islam. Yang paling penting adalah : (1) diterapkannya sistem demokrasi, (2) terpecahbelahnya negeri-negeri muslim berdasar nasionalisme, (3), para penguasa negeri-negeri Islam didikte oleh negara-negara imperialis-kapitalis, (4) kekuatan militer di negeri-negeri Islam tunduk kepada kepentingan negara-negara imperialis-kapitalis, (5) berdirinya negara Israel di tanah rampasan milik umat Islam.
Pertama, Penerapan demokrasi yang memberikan hak membuat hukum kepada manusia, bukan kepada Allah.
Demokrasi adalah format sistem politik standar dalam ideologi kapitalisme, yang dipraktikkan dalam bentuk sistem pemerintahan republik. Ketika kehidupan mengalami sekularisasi, yakni agama tidak lagi mengatur berbagai urusan kehidupan, maka konsekuensinya manusia itu sendirilah yang membuat aturan kehidupan, bukan Tuhan (agama). Dari sinilah lahir demokrasi, yang memberikan kewenangan menetapkan hukum kepada manusia, bukan kepada Tuhan. Inilah makna hakiki dari prinsip kedaulatan (soreignty/as siyadah) di tangan rakyat.[32] Adapun berbagai dimensi makna dari demokrasi, seperti prinsip kekuasaan di tangan rakyat, adanya hak rakyat untuk memilih dan mengontrol penguasa, persamaan kedudukan di antara rakyat, penyebaran keadilan, kebolehan perbedaan pendapat, penyelenggaraan pemilu, dan sebagainya, sesungguhnya adalah ide-ide derivatif dan operasional yang tercabang dari prinsip substansialnya, yakni kedaulatan rakyat.
Maka dari itu, pada saat Khilafah hancur dan kemudian diterapkan demokrasi, artinya adalah bahwa manusia telah menggantikan peran Allah SWT sebagai pembuat hukum (Asy Syari’). Hukum-hukum Allah dibuang dan sebagai gantinya, diterapkan hukum-hukum buatan manusia. Sungguh, ini adalah malapetaka yang sangat besar. Sebab penerimaan dan penerapan demokrasi berarti tindak pengingkaran terhadap seluruh dalil yang qath'i tsubut (pasti sumbernya) dan qath'i dalalah (pasti pengertiannya) yang mewajibkan kaum muslimin untuk mengikuti hukum Allah dan membuang hukum thaghut buatan manusia. (Na'udzu billah min dzalik !)
Kewajiban di atas diterangkan oleh banyak ayat dalam Al Qur'an. Dan lebih dari itu, ayat-ayat yang qath'i tadi menegaskan pula bahwa siapa pun yang tidak mengikuti atau menerapkan hukum Allah, berarti dia telah kafir, dzalim, atau fasik.
Allah SWT berfirman :
"Siapa pun yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir." (Q.S. Al Maaidah : 44)
"Siapa pun yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang dzalim." (Q.S. Al Maaidah : 45)
"Siapa pun yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik." (Q.S. Al Maaidah : 47)
Berdasarkan nash ayat di atas, maka siapa pun juga yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, seraya mengingkari hak Allah dalam menetapkan hukum --seperti halnya orang-orang yang meyakini demokrasi-- maka dia adalah kafir tanpa keraguan lagi, sesuai nash Al Qur'an yang sangat jelas di atas. Hal ini karena tindakan tersebut --yakni tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan mengingkari hak membuat hukum yang dimiliki Allah-- berarti ingkar terhadap ayat-ayat yang qath'i dalalah. Padahal orang yang mengingkari ayat yang qath'i adalah kafir, dan ini disepakati oleh seluruh fuqaha.[33]
Karena itu, hancurnya Khilafah telah mendatangkan musibah besar karena kemudian terbukalah pintu lebar bagi negeri-negeri Islam untuk menerapkan ide demokrasi yang kufur. Sungguh sangat menyedihkan, negeri-negeri Islam itu telah menetapkan prinsip kedaulatan rakyat dalam konstitusi mereka, mengikuti format politik negara-negara Barat yang imperialis.[34]
Kedua, Negeri-negeri muslim terpecah-belah menjadi banyak negara berdasar paham nasionalisme.
Sebagai akibat tiadanya institusi pemersatu umat Islam, yakni Khilafah, kini umat Islam yang satu terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara berasaskan paham kebangsaan (nation-state). Ini adalah suatu kondisi yang sangat jauh dari tabiat asli umat Islam sebagai umat yang satu, yang wajib hidup dalam negara yang satu dengan seorang Khalifah yang satu.
Sungguh, sejarah telah membuktikan bahwa eksistensi negara-bangsa bagi Umat Islam adalah sebuah kondisi yang abnormal yang menghancurkan persatuan umat. Kaum muslimin tak pernah mengenal paham nasionalisme sepanjang sejarahnya sampai adanya upaya imperialis untuk memecah-belah negara Khilafah pada abad ke-17 M. Mereka melancarkan serangan pemikiran melalui para missionaris dan merekayasa partai-partai politik rahasia untuk menyebarluaskan paham nasionalisme dan patriotisme. Banyak kelompok missionaris –sebagian besarnya dari Inggris, Perancis, dan Amerika-- didirikan sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 M untuk menjalankan misi tersebut. Namun saat itu upaya mereka belum berhasil. Namun pada tahun 1857, mereka mulai memetik kesuksesan tatkala berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian Scientific Society) yang menyerukan nasionalisme Arab. Sebuah sekolah misionaris terkemuka lalu didirikan di Syiria oleh Butros Al Bustani, seorang Kristen Arab (Maronit), dengan nama Al Madrasah Al Wataniyah. Nama sekolah ini menyimbolkan esensi misi Al Bustani, yakni paham patriotisme (cinta tanah air, hubb al-watan). Langkah serupa terjadi di Mesir, ketika Rifa'ah Badawi Rafi' At Tahtawi (w. 1873 M) mempropagandakan patriotisme dan sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa partai politik yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki Muda (Turkiya Al Fata) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk mengarahkan gerak para nasionalis Turki. Kaum misionaris kemudian memiliki kekuatan riil di belakang partai-partai politik ini dan menjadikannya sebagai sarana untuk menghancurkan Khilafah.[35]
Sepanjang masa kemerosotan Khilafah, kaum kafir berhimpun bersama, pertama kali dengan perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 ketika Inggris dan Perancis merencanakan untuk membagi-bagi wilayah negara Khilafah. Kemudian pada 1923, dalam Perjanjian Versailles dan Lausanne, rencana itu mulai diimplemetasikan. Dari sinilah lahir negara-negara Irak, Syria, Palestina, Lebanon, dan Transjordan. Semuanya ada di bawah mandat Inggris, kecuali Syria dan Lebanon yang ada di bawah Perancis. Hal ini kemudian diikuti dengan upaya Inggris untuk merekayasa lahirnya Pakistan. Jadi, semua negara-bangsa ini tiada lain adalah buatan kekuatan-kekuatan Barat yang ada di bawah mandat mereka.[36]
Munculnya negara-bangsa Indonesia juga tak lepas dari rekayasa penjajah menyebarkan nasionalisme dan patriotisme di Dunia Islam. Hal itu dapat dirunut sejak berdirinya negara-negara bangsa di Eropa pada abad ke-19. Perubahan di Eropa ini, dan juga adanya persaingan yang hebat antara kekuatan-kekuatan Eropa di Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19, menimbulkan dampak politis terhadap negara-negara jajahan Eropa, termasuk Hinda Belanda. Dampak momumentalnya adalah dicanangkannya Politik Etis pada tahun 1901. Kebijakan ini pada gilirannya membuka kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan Barat. Melalui pendidikan Barat inilah paham nasionalisme dan patriotisme menginfiltrasi ke tubuh umat Islam di Hindia Belanda, yang selanjutnya mengilhami dan menjiwai lahirnya gerakan-gerakan pergerakan nasional di Indonesia, Boedi Utomo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan sejenisnya.[37]
Cengkeraman paham nasionalisme di tubuh umat akibat rekayasa penjajah ini, disertai hancurnya Khilafah sebagai pemersatu umat, telah membuat kesatuan umat Islam porak-poranda dan hancur-lebur. Ikatan Islam berdasar Aqidah Islamiyah digantikan ikatan kebangsaan berdasar kesamaan identitas etnis, bahasa, atau budaya. Sungguh Allah SWT tidak meridhai umat Islam terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara seperti sekarang ini.
Allah SWT berfirman :
“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (QS Ali Imran : 103)
Sabda Rasulullah SAW :
“Barangsiapa datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian terhimpun pada satu orang laki-laki (seorang Khalifah), dia (orang yang datang itu) hendak memecah kesatuan kalian dan menceraiberaikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim)
Nash-nash seperti di atas mewajibkan umat untuk bersatu, di bawah satu negara Khilafah dan satu Imam, tidak dibenarkan umat memiliki lebih dari seorang Imam.
Abdurrahman Al Jaziri menegaskan :
“Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumulah— bersepakat pula bahwa kaum muslimin tidak boleh pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” [38]
Maka dari itu, runtuhnya Khilafah merupakan malapetaka besar bagi umat ini, karena dengan itu umat Islam menjadi terpecah-belah atas dasar paham nasionalisme yang kufur.
Ketiga, Para penguasa negeri-negeri Islam dikendalikan dan didikte oleh negara-negara imperialis-kapitalis Barat.
Setelah umat Islam terpecah belah, maka dengan sendirinya mereka menjadi lemah dan dapat dikendalikan dan dikontrol oleh para penjajah. Berlakulah di sini kaidah ‘devide et impera’ (farriq tasud) (pecah belahlah, lalu kuasai). Karena itu, terpecahbelah-nya umat Islam –akibat hancurnya Khilafah—membawa dampak buruk berikutnya, yakni para penguasa negeri-negeri Islam kemudian dapat dikendalikan dan dikontrol sesuai program negara-negara imperialis.
Hal ini misalnya dapat dilihat sejak berakhirnya Perang Dunia II. Pada saat itu banyak negara jajahan yang menuntut kemerdekaan. Menghadapi tantangan ini, negara-negara kapitalis (terutama AS, Inggris, Perancis) kemudian melakukan konsolidasi dan merekayasa langkah-langkah untuk melanggengkan imperialisme melalui cara-cara baru. Pada Juli 1944 negara-negara penjajah itu mengadakan pertemuan di Bretton Woods (AS) yang hasilnya di bidang politik adalah : pembentukan PBB (1945) dan deklarasi HAM (1945). Di bidang ekonomi hasilnya adalah : pembentukan World Bank/IBRD (1946), pendirian IMF (1947), dan pendirian GATT (1947). Semua langkah ini tiada lain adalah teknik-teknik baru untuk terus melestarikan imperialisme di dunia.[39]
Bagi Indonesia khususnya, pengaruh kuat negara-negara kapitalis-imperialis terhadap kebijakan pemerintah Indonesia nampak sangat telanjang, bukan rahasia lagi. Pemerintah tak malu-malu menempatkan dirinya sebagai budak negara-negara penjajah yang kafir itu. Sekedar contoh, kebijakan pemerintah untuk menaikkan TDL (Tarif Dasar Listrik) sebesar rata-rata 16% tahun 2002 [40] juga kenaikkan harga BBM sebesar 20%-25% awal 2002,[41] jelas menunjukkan tunduknya mereka kepada keinginan para penjajah, meskipun mereka menutup-nutupinya dengan sejuta kebohongan yang sangat memuakkan, seperti untuk menutup defisit APBN, maraknya penyelundupan BBM keluar negeri, subsidi yang salah sasaran, dan sebagainya.
Kalau dahulu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid masih merasa “enggan” untuk menyengsarakan rakyat, kini pemerintahan Megawati tidak lagi merasa “ewuh-pakewuh” sedikit pun. Abdurrahman Wahid pernah membongkar alasan kebijakannya yang kontroversial untuk menaikkan harga BBM. Tatkala menjawab pertanyaan salah seorang jamaah seusai salat Jumat di Mesjid Baiturrahim, Istana Merdeka (18 Mei 2001), dia menyatakan: "Sebenarnya bagi pemerintah, menaikkan harga itu juga tidak enak. Pemerintah tidak ingin menaikkan apa-apa. Hanya saja, kita terikat peraturan IMF yang tidak boleh ada subsidi.” [42]
Jadi yang dilakukan pemerintah di bawah rezim Megawati tidak berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Mereka secara terang-terangan telah mengutamakan kepentingan IMF yang dikendalikan oleh AS, daripada kepentingan rakyatnya sendiri. Sikap mereka mencabut subsidi BBM, listrik dan menaikkan tarif telepon, jelas merupakan kebijakan yang didiktekan oleh IMF. Padahal, menyerahkan urusan umat Islam kepada kaum kafir –seperti IMF— adalah suatu tindakan yang diharamkan Islam.
Allah SWT berfirman :
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mu`min” (QS. An Nisaa` : 141).[43]
Namun kenyataan pahit seperti inilah yang dihadapi umat Islam saat ini. Semua itu tak lain karena lemahnya kekuatan politik penguasa negeri-negeri Islam yang terpecah-belah, setelah hancurnya payung pemersatu kekuatan umat Islam, Khilafah Islamiyah.
Keempat, Kekuatan militer di negeri-negeri Islam tunduk kepada kepentingan negara-negara imperialis-kapitalis Barat untuk mempertahankan sistem kehidupan sekuler.
Pada saat kejayaan Khilafah, kekuatan militernya didedikasikan untuk kepentingan Islam semata, yakni untuk menjaga eksistensi negara Khilafah, menjaga penerapan Syariat Islam, menjamin keamanan rakyat, dan menyebarkan risalah Islam ke luar negeri melalui jalan dakwah dan jihad fi sabilillah.[44]
Namun setelah Khilafah lenyap dan berdiri negara-negara sekuler, kekuatan militer di Dunia Islam –seperti halnya para penguasanya—akhirnya mengalami perubahan orientasi untuk kemudian tunduk kepada ideologi dan kepentingan negara-negara imperialis, yakni mempertahankan sistem sekuler yang ada. Hal ini misalnya terjadi di Aljazair awal 90-an tatkala kekuatan militer membatalkan hasil pemilu yang dimenangkan FIS yang bercita-cita menghancurkan sekularisme dan mendirikan Khilafah.[45] Di Turki, ketika Arbakan (pemimpin partai Refah) tahun 1996 terpilih sebagai perdana menteri –berkoalisi dengan Tansu Chiller—Arbakan harus tunduk di bawah institusi militer yang fanatik kepada sekularisme.[46] Kekuatan militer Uzbekisten juga dimanfaatkan untuk menangkapi dan menyiksa para aktivis Hizbut Tahrir yang bercita-cita mendidikan Khilafah. [47]
Sangat memilukan, kekuatan militer yang seharusnya digunakan untuk kepentingan Islam, ternyata malah diabdikan untuk membela kepentingan dan ideologi sekuler penjajah. Para penguasa dan para petinggi militer tega melakukan semua itu hanya untuk memperkaya diri sendiri, walaupun harus membunuh rakyatnya sendiri. Sudah bukan rahasia lagi, untuk mendapatkan loyalitas negara-negara di Dunia Islam, Amerika Serikat tak segan-segan memberi dana besar untuk memerangi Islam. Ketika Megawati mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Bush guna membicarakan hubungan militer Indonesia-AS di Washington DC 20/9/2001, Jurubicara Gedung Putih Ary Fleitcher menyatakan, AS akan memberi hadiah kepada Indonesia sebesar 130 juta US dolar atas dukungan Indonesia terhadap politik AS memerangi terorisme. Hadiah itu kemungkinan besar berupa pemulihan kembali bantuan militer kepada Indonesia yang terputus akibat kasus Timor Timur.[48]
Itulah perilaku penguasa negeri ini, yang tega bersekutu dengan penjajah untuk memerangi rakyatnya sendiri dengan imbalan sejumlah uang. Kekuatan militer yang seharusnya untuk melindungi rakyat, kini dengan “hadiah” AS akan diarahkan untuk menumpahkan darah rakyatnya sendiri dengan dalih memerangi terorisme. Inilah salah satu malapetaka yang memilukan akibat hancurnya Khilafah, sehingga kemudian kekuatan militer di negeri-negeri Islam bukan digunakan untuk kemaslahatan Islam, melainkan diabdikan kepada negara-negara imperialis-kapitalis Barat untuk mempertahankan paham sekularisme yang kufur.
Keenam, Berdirinya negara Israel di tanah rampasan milik umat Islam.
Pada saat Khilafah masih eksis, cita-cita kaum Yahudi untuk mendirikan negara Israel di Palestina gagal total. Namun masalahnya menjadi lain tatkala konstelasi politik Timur Tengah berubah akibat hancurnya Khilafah dan wilayah-wilayah bekas kekuasaannya dibagi-bagi di antara negara-negara imperialis. Israel akhirnya berdiri di tanah Palestina pada tahun 1948.
Sejarah mencatat, Qurrah Shu Affandi, seorang petinggi Freemasonry dari Turki pernah berusaha menyuap Sultan Abdul Hamid II (menjadi Khalifah 1876-1909) dengan imbalan agar kaum Yahudi diberi tanah di Palertina. Petinggi Freemasonry itu berkata kepada Khalifah,”Saya datang sebagai wakil dari gerakan Freemasonry untuk memberikan kehormatan kepada Anda. Saya harap Anda bersedia menerima 5 juta lira emas sebagai hadiah untuk Anda pribadi. Di samping itu kami pinjamkan 100 juta lira emas untuk kas negara tanpa bunga selama satu tahun. Namun kami harap Anda memberikan sebagian hak-hak khusus kepada kami untuk menguasai tanah Palestina.” Sultan Abdul Hamid II lalu marah dan berkata kepada ajudannya,”Tahukah kamu apa yang diinginkan babi ini ?” Lalu Sultan berkata kepada wakil Freemasonry itu,”Enyahlah kamu dari hadapanku, hai orang hina !” Orang Yahudi itu lalu keluar dan terus pergi ke Italia. Dari sana dia mengirim surat kepada Sultan, isinya : “Anda telah menolak tawaran kami. Ongkos penolakan ini akan menimpa Anda pribadi, dan juga akan banyak menimpa kekuasaan Anda.” [49]
Sejak saat itu, kaum Yahudi yang kafir berusaha keras untuk menghancurkan Khilafah dengan berbagai cara, karena ini dianggap sebagai jalan untuk mendirikan negara Yahudi yang menjadi cita-cita mereka. Setelah Khilafah jatuh pada 1924, upaya zionis untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina berhasil terwujud pada tahun 1948 berkat rekayasa negara-negara penjajah kafir melalui kekuatan PBB.
2.3. Malapetaka Ekonomi
Hancurnya Khilafah juga mengakibatkan malapetaka-malapetaka di bidang ekonomi. Sesungguhnya malapetaka ekonomi ini sangat banyak ragamnya, namun yang menonjol adalah : (1) Penerapan sistem kapitalisme yang ribawi atas umat Islam, dan (2) perampokan kekayaan alam milik umat Islam oleh kaum penjajah yang kafir.
Pertama, Penerapan sistem kapitalisme yang ribawi atas umat Islam.
Kapitalisme adalah nama bagi sistem ekonomi yang ciri utamanya adalah pemilikan privat atas alat-alat produksi, serta pemanfaatannya dalam kegiatan produksi dan distribusi untuk memperoleh laba dalam mekanisme pasar yang kompetitif.[50] Karena sistem ekonomi kapitalisme merupakan fenomena paling menonjol dalam peradaban Barat, maka istilah kapitalisme digunakan juga untuk menunjukkan ideologi Barat itu sendiri, sebagai suatu sistem sosial yang menyeluruh.[51]
Secara ideologis, akar kapitalisme adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Ketika agama dipisahkan dari kehidupan, maka lahirlah paham kebebasan (liberalism/freedom). Dari paham kebebasan inilah, khususnya kebebasan kepemilikan, lahirlah sistem ekonomi kapitalisme.[52]
Ketika Khilafah hancur dan diterapkan sistem ekonomi kapitalisme yang kafir di negeri-negeri Islam, lahirlah malapetaka ekonomi yang tak terperikan dalam tubuh umat. Betapa tidak, kapitalisme yang berbasiskan kebebasan tentu tidak mengajarkan perasaan berdosa ketika menerapkan sistem bunga (interest). Padahal bunga termasuk salah satu jenis riba yang diharamkan Islam. Mengambil riba adalah dosa besar.
Sabda Rasulullah SAW :
"Riba itu mempunyai 73 pintu (dosa). Yang paling ringan dosanya adalah seperti dosa seorang laki-laki yang bersetubuh dengan ibu kandungnya sendiri ..." (HR. Ibnu Majah dan Al Hakim, dari Abdullah bin Mas’ud RA).
"Satu dirham yang diperoleh seseorang dari hasil riba, lebih besar dosanya daripada 36 kali berbuat zina dalam Islam." (HR. Baihaqi, dari Anas bin Malik RA)
Ini baru segi dosa riba. Belum lagi aspek lain misalnya merajalelanya ketimpangan antara kaya dan miskin pada masyarakat yang menerapkan kapitalisme, baik dalam skala sebuah negara maupun skala global-internasional. Dalam skala global, penerapan kapitalisme terbukti semakin memiskinkan negara-negara terjajah dan semakin membuat kaya negara-negara penjajah yang kafir. Banyak data kuantitatif yang membeberkan kenyataan buruk ini. Pada tahun 1985, negara-negara industri yang kaya (seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang hanya mempunyai 26 % penduduk dunia, ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 % penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia.[53]
Pengalaman di Indonesia, penerapan kapitalisme juga menghasilkan ketimpangan yang parah. Pada tahun 1985, misalnya, pendapatan nasional (GNP) Indonesia besarnya adalah 960 dolar AS per orang setahunnya. Pendapatan nasional yang cuma 960 dolar itu, 80 % daripadanya merupakan nilai aktivitas ekonomi dari 300 grup konglomerat saja. Sedangkan selebihnya (hampir 200 juta rakyat) kebagian 20 % saja dari seluruh porsi ekonomi nasional. Dari 300 grup bisnis konglomerat itu, yang dimiliki non-pribumi berjumlah 224 grup (sekitar 75 %), sedang pribumi cuma 76 grup bisnis (25 %) yang asetnya pun tidak sampai 10 % dari aset konglomerat non-pribumi.[54]
Jelaslah, penerapan kapitalisme pasca hancurnya Khilafah adalah sebuah malapetaka besar yang tak hanya menimpa umat Islam, tapi juga seluruh umat manusia di kolong langit.
Kedua, Kekayaan alam milik umat Islam dirampok oleh kaum penjajah yang kafir.
Sebagai akibat lanjut dari penerapan sistem kapitalisme seperti disinggung di atas, maka lahirlah perampokan kekayaan alam umat Islam oleh para imperialis, yang berkolusi dengan para pejabat pribumi yang berkhianat, korup, dan menghisap darah rakyat.
Dalam tulisan berjudul "Inkonstitusional", di kolom Resonansi Harian Republika, pada tahun 1998 menjelang jatuhnya Suharto, Amien Rais menulis : "Bisakah kita mengambil pelajaran dari PT Freeport Indonesia di Irian Jaya ? Perusahaan tambang Amerika ini sejak 1973 telah menambang emas, perak, dan tembaga di Irian Jaya. Sekarang ini setiap hari, 125.000 ton bijih tambang diruntuhkan dari gunung-gunung di pegunungan Jaya Wijaya. Dari jumlah biji tambang sekian itu, diperoleh konsentrat sekitar 6000 ton. Setiap ton konsentrat mengandung 300 kg tembaga, 60 gram perak, dan 30 gram emas. Walhasil selama seperempat abad, kekayaan bangsa yang sudah digotong ke luar negeri kurang lebih 1620 ton emas, 3420 ton perak, dan 162 juta ton tembaga. Sekian ton emas itu, kalau dirupiahkan dengan harga sekarang [1998] bernilai lebih dari 400 triliun rupiah. Tahun 1991 Freeport sudah mengantongi izin penambangan lagi untuk masa 30 tahun ditambah dua kali sepuluh tahun (dus, setengah abad) dengan wilayah eksploitasi yang lebih luas lagi. Mau dibawa ke manakah Indonesia yang kita cintai bersama ?"
Mengapa PT Freeport Indonesia (PT. FI) dapat leluasa merampok kekayaan alam milik umat Islam ? Ya, perampokan itu dapat mulus berlangsung karena sebagian pejabat Indonesia (dan sanak keluarganya) telah berkhianat untuk memperkaya diri sendiri dengan cara berkolusi dengan para kapitalis yang kafir. Seperti diketahui, PT Nusamba Mineral Industries, sebuah anak perusahaan Nusamba, menguasai 4,7% saham PT.FI. Memang jumlah sahamnya sedikit, daripada saham perusahaan induk Freeport McMoRan serta perusahaan Jepang dan Jerman yang menjadi penampung produk salah satu tambang emas & tembaga terbesar di dunia itu, yang pada tahun1995 punya pendapatan sebesar hampir 1,5 milyar dollar AS ! Kelompok Nusamba, seperti kita ketahui, dikuasai oleh tiga yayasan yang diketuai Suharto (Dakab, Dharmais, Supersemar) yang bersama-sama memiliki 80% saham perusahaan itu. Sedangkan 20% sisanya, dibagi rata antara Bob Hasan dan Sigit Harjojudanto.[55]
Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika kekayaan para pejabat dan keluarganya yang korup itu jumlahnya sangat luar biasa, di luar perkiraan rakyat banyak. Taksiran nilai total kekayaan Suharto dan keluarganya adalah sebesar US$ 40 milyar. Sungguh, ini lebih dari cukup untuk melepaskan Indonesia dari krisis ekonomi, tak perlu mengemis-ngemis ke IMF.[56]
2.4. Malapetaka Peradilan
Walaupun pengambilan berbagai undang-undang dari negara-negara Barat sudah terjadi sebelum runtuhnya Khilafah, namun dengan runtuhnya Khilafah, semakin terbukalah pintu dosa umat Islam untuk mengambil hukum-hukum kufur dari kaum imperialis. Inilah malapetaka peradilan yang menimpa umat akibat runtuhnya Khilafah. Malapetaka di bidang ini yang terpenting adalah : (1) Penerapan sistem hukum kufur warisan penjajah dalam peradilan, dan (2) Penentangan terhadap upaya penerapan hukum Islam.
Pertama, Peradilan menerapkan sistem hukum kufur warisan penjajah.
Dalam pembukaan UUD 1945 terdapat deklarasi penentangan terhadap penjajahan dan pengakuan religius bahwa kemerdekaan Indonesia adalah rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Namun semua itu akhirnya menjadi ironi, sebab hukum-hukum Islam –yang menjadi bagian rahmat Allah SWT— ternyata tidak dijadikan hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kecuali sedikit, seperti hukum nikah, dan yang semacamnya. Yang dijadikan hukum bernegara adalah hukum warisan penjajah Belanda, misalnya kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yang disebut juga Wetboek van Strafrecht. Bagaimana mungkin kita menolak hadirnya penjajah yang kafir di negeri ini tetapi kemudian mengambil hukum-hukum dan juga filsafat hidup mereka (sekularisme) ?
Sebenarnya, menerapkan hukum Islam adalah wajib dan sebaliknya menerapkan hukum-hukum yang bukan hukum Islam adalah haram.
Allah SWT berfirman :
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham-mad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan,..." (QS An-Nisaa' : 65)
Ayat di atas menegaskan bahwa umat Islam tidaklah dianggap beriman secara sebenar-benarnya sampai berhukum kepada hukum Islam yang dibawa Rasulullah SAW. Maka dari itu, berhukum dengan hukum Islam adalah wajib, sebaliknya berhukum kepada selain hukum Islam adalah haram. Maka, hukum-hukum penjajah buatan manusia wajib ditolak dan tidak boleh diterapkan, karena bukan merupakan hukum Islam.
Namun sayang, pemahaman yang jelas dan jernih itu kadang menjadi kabur, tatkala ada (ulama !) yang berkata bahwa boleh saja mengambil hukum-hukum selain Islam (buatan manusia), selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.[57] Pendapat ini tidak benar. Sebab “hukum –selain hukum Islam-- yang tidak bertentangan dengan hukum Islam” faktanya tetap bukanlah hukum Islam. Sebab hukum Islam (al hukm asy syar’i) adalah khithab Asy Syari’ (seruan Allah SWT) yang berkaitan dengan perbuatan hamba. Selama sebuah hukum tidak bersumber dari khithab Asy Syari’ –yang terwujud dalam Al Kitab dan As Sunnah— maka dari segi apa pun dia bukanlah hukum Islam, walau pun ia tidak bertentangan dengan hukum Islam. Jadi, yang menjadi masalah itu sebenarnya bukanlah suatu hukum itu bertentangan atau tidak dengan hukum Islam, melainkan apakah suatu hukum itu hukum Islam atau bukan.[58]
Apalagi, sesungguhnya hukum-hukum warisan penjajah sangat banyak yang bertentangan dengan hukum Islam. Misalnya saja definisi zina dalam pasal 284 KUHP. Definisi zina menurut imperialis adalah "Barangsiapa melakukan persetubuhan dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istrinya, maka diancam dengan sanksi pidana." Jadi perzinaan hanya terjadi jika kedua pelakunya sudah menikah. Mafhumnya, kalau pelaku zina belum menikah, yakni seorang perjaka bujangan bersetubuh dengan gadis, itu dianggap bukan zina.[59] [Subhanallah !]
Hancurnya Khilafah sesungguhnya berdampak juga terhadap pemahaman Syariat Islam di kalangan umat Islam. Sebab dengan hancurnya Khilafah, banyak hukum-hukum Islam yang lenyap dari penerapannya. Akhirnya, orang yang hidup pada masa sekarang tak dapat lagi menjangkau realitas hukum-hukum Islam itu kecuali hanya berupa gambaran atau bayangan dalam benak. Ini tentu menambah lemahnya pemahaman umat Islam terhadap hukum Islam. Faktor ini, ditambah faktor-faktor lain seperti dominannya paham sekularisme, nasionalisme, dan pragmatisme, dapat membuat orang kehilangan kepercayaan terhadap Syariat Islam. Bahkan, tak jarang orang menjadi apatis dan memusuhi upaya penerapan Syariat Islam.
Itulah yang terjadi di Indonesia ketika banyak pihak yang mencela penerapan hukum rajam yang dilakukan Ja’far Umar Thalib terhadap seorang anggota pasukan Laskar Jihad di Ambon. Sebelum itu PDIP pernah menolak pemberlakuan penerapan Syariat Islam di Aceh, meski kemudian PDIP buru-buru mengoreksi sikapnya yang salah itu. Begitu pula perkembangan terakhir dari para tokoh seperti Ahmad Syafii Maarif (pimpinan Muhammadiyah), Hasyim muzadi (ketua PBNU), dan Nurcholish Madjid, yang menolak perubahan pasal 29 UUD 1945, yang oleh sementara pihak hendak diamandemen agar mengakomodir penerapan Syariat Islam, sesuai Piagam Jakarta.[61] Jelas sikap-sikap para pimpinan itu menunjukkan respons yang sangat buruk dan tercela dari orang-orang yang dianggap sebagai pimpinan umat. Hal itu juga menunjukkan kegagalan mereka dalam memahami hakikat Syariat Islam dan metode penerapannya dalam kehidupan. Sangat menyedihkan, umat Islam dipimpin oleh orang-orang yang lebih berpihak pada sekularisme daripada Islam. Adakah musibah yang lebih buruk lagi daripada musibah ini ?
2.5. Malapetaka Pendidikan
Pendidikan bukan sekedar media transfer ilmu pengetahuan, namun juga merupakan alat pembentuk kepribadian, yakni alat pembentuk pola pemikiran dan perasaan, serta pola berperilaku manusia. Maka dari itu, barangsiapa menguasai sistem pendidikan, dia akan dapat mencetak generasi-generasi baru dengan format kepribadian yang dikehendakinya.
Jika demikian halnya, maka penerapan sistem pendidikan bercorak sekularistik pasca hancurnya Khilafah, adalah sebuah malapetaka yang besar.
Malapetaka yang menonjol adalah :
(1) adanya kurikulum dan sistem pendidikan yang mengacu kepada falsafah hidup Barat, yaitu sekularisme, dan
(2) lahirnya generasi-generasi sekularistik hasil sistem pendidikan tersebut.
Pertama, Kurikulum dan sistem pendidikan diformat mengikuti peradaban sekularisme Barat.
Setelah Khilafah hancur, sebagian besar negeri-negeri Islam merancang kurikulum pendidikannya sesuai model pendidikan kaum imperialis, yakni berasaskan ide sekularisme.[62]
Sistem pendidikan tersebut terbukti telah mengajarkan pemikiran-pemikiran tidak Islami pada satu sisi, dan pada sisi lain, mengajarkan Islam yang telah terdistorsi jauh sekali dari hakikat Islam yang sebenarnya. Pemikiran yang tak Islami itu misalnya adalah paham sekularisme, nasionalisme, dan demokrasi. Selain itu, pemikiran yang tidak Islami juga nampak dari adanya pensakralan ilmu-ilmu sosial –yang diambil dari negara-negara imperialis-kapitalis— seperti ilmu ekonomi, sosiologi, pendidikan, dan psikologi, yang dianggap sebagai pengetahuan yang netral-universal. Padahal ilmu-ilmu itu sesungguhnya sangat sarat-nilai (value-bond) –yakni nilai-nilai kehidupan Barat yang sekularistik—dan bukan jenis pengetahuan yang dapat digeneralisir seperti halnya ilmu-ilmu kealaman (sains).[63]
Sedang distorsi Islam nampak dengan adanya indoktrinasi di segala tingkat pendidikan bahwa Islam bukanlah agama yang mengatur kehidupan bernegara. Islam hanya mengatur ibadah dan moral. Kalaupun diajarkan Fiqih Siyasah, isinya hanyalah aspek teoritis belaka, dan sudah ditundukkan pada agenda besar sistem pendidikan, yaitu sekularisme.[64]
Kedua, lahir generasi-generasi yang berkepribadian sekularistik.
Akibat berikutnya dari kurikulum dan sistem pendidikan sekularistik seperti telah disinggung di atas, lahirlah generasi-generasi Islam yang rusak kepribadiannya. Walaupun mereka muslim, namun pola pikir dan pola sikap mereka tidak lagi menggunakan standar Islam, tetapi standar ide sekularisme.
Tidak sedikit dari para intelektual –yang ucapannya sudah dianggap ‘wahyu’ oleh para pengagumnya yang fanatik-buta— yang bicara mengatasnamakan Islam, padahal ide-idenya adalah ide sekuler yang diberi bungkus dan label Islam. Ibaratnya, mereka menjual daging babi yang diberi label daging sapi. Abdurrahman Wahid, misalnya, pernah menyatakan bahwa negara Islam itu tidak wajib. Selain itu, menurutnya, mereka yang menghendaki negara Islam hanyalah orang-orang yang gagal memahami hakikat ajaran Islam. Dengan mulutnya Gus Dur berkata, ”Saya sendiri dalam menjalankan pemerintahan juga berpegang pada keputusan para ulama, yaitu kita tidak wajib mendirikan negara Islam, melainkan wajib menegakkan keimanan Islam dan akhlak Islam di dalam diri orang-orang yang percaya. Dengan kata lain, tidak ada kewajiban mendirikan negara Islam. Kalau ini tidak diterima orang, bagi saya orang itu belum paham.” [65] Nurcholis Madjid, misalnya, dalam bukunya Tidak Ada Negara Islam mengatakan bahwa dalam Al Qur`an tidak ada perintah mendirikan Daulah Islamiyah karena tidak ada kata daulah (negara). Yang ada adalah kata duulah (peredaran/pergiliran) dalam surat al Hasyr : 7. Kalau logika ini diterapkan juga secara fair untuk Nurcholish Madjid, maka sungguh aneh bin ajaib, Nurcholis Madjid telah menerima ide republik dan demokrasi, meskipun kata ad dimuqratiyah (demokrasi) dan al jumhuriyah (republik) tidak pernah ada dalam Al Qur`an !
Itulah malapetaka memilukan yang menimpa umat di bidang pendidikan. Akibat hancurnya Khilafah, lahirlah sistem pendidikan sekularistik yang pada gilirannya melahirkan generasi-generasi yang pola pikirnya mengikuti kaum penjajah yang kafir. Sungguh mengenaskan !
2.6.Malapetaka Pemikiran
Memang, sebelum runtuhnya Khilafah pemikiran-pemikiran asing sudah mulai menyusup ke tubuh umat akibat ulah negara-negara Barat yang telah melancarkan Perang Pemikiran (Al Ghazw Al Fikri) dan Perang Budaya (Al Ghazw Ats Tsaqafi). Namun setelah runtuhnya Khilafah, serangan pemikiran-pemikiran asing itu semakin menggila. Serangan itu ibarat air bah yang melanda dan menenggelamkan kampung-kampung karena bendungan penahannya telah jebol. Penerapan sistem pendidikan sekularistik, seperti disinggung sebelumnya, turut memperparah malapetaka pemikiran ini.
Malapetaka pemikiran ini antara lain :
(1) Adanya distorsi gambaran Khilafah oleh kaum kafir dan antek-anteknya,
(2) Muncul pemikiran-pemikiran yang menyerang Islam, seperti dialog antar agama, teologi inklusif, dialog Islam-Barat,
(3) Ulama-ulama mengada-adakan “fiqih baru”, seperti fiqhul waqi’, fiqhul muwazanat, fiqhul maslahat, dan sebagainya.
Pertama, adanya distorsi gambaran Khilafah oleh kaum kafir dan antek-anteknya.
Ketika Khilafah dihapuskan oleh Mustafa Kamal pada tahun 1924, seharusnya para ulama melakukan pembelaan dan perjuangan mengembalikan Khilafah. Namun kewajiban ini tampaknya tak berlaku bagi Syaikh Ali Abdur Raziq, penulis kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm. Buku yang dipublikasikan di Kairo tahun 1925 itu (satu tahun setelah kehancuran Khilafah) malah menentang Khilafah dan mendorong umat Islam untuk mengadopsi sekularisme yang kufur. Menurut Ali Abdur Raziq, umat Islam seharusnya mengambil sistem politik Eropa, yaitu republik, bukan Khilafah. Agama Islam yang hakiki, menurutnya, tak ada hubungannya dengan Khilafah, sebab Khilafah telah melahirkan berbagai bencana, kejahatan, dan malapetaka bagi umat manusia.[66]
Pola pikir Kristen yang ditawarkan buku itu sungguh merupakan malapetaka besar bagi umat Islam. Sayang, hancurnya Khilafah menjadi faktor utama yang justru menaikkan popularitas buku itu dan pemikiran-pemikiran beracun di dalamnya. Buku itu lalu mengilhami lahirnya banyak buku lainnya yang mengingkari wajibnya Khilafah.[67]
Selain itu, ada pula sebagian intelektual (muslim!) yang mengungkapkan kelemahan-kelemahan Khilafah pada masa Utsmaniyah, bukan untuk mengkritisinya seraya mempertahankan hukum wajibnya Khilafah, namun untuk membenarkan tindakan Mustafa Kamal yang menghapuskan Khilafah.[68] Pola pikir semacam ini jelas tidak fair. Jika kelemahan seorang Khalifah dijadikan alasan untuk menghapus sistem Khilafah, mengapa para intelektual itu (sic !) tak pernah menyerukan penghapusan sistem republik ketika melihat penyimpangan kekuasaan zaman Suharto?
Kedua, Muncul pemikiran-pemikiran yang menyerang Islam, seperti isu fundamentalisme, teologi inklusif, dialog antar agama, pluralisme, dialog Islam-Barat, dan sebagainya.
Serangan pemikiran tersebut sekilas nampaknya bukan rekayasa negara-negara imperialis. Yang melontarkannya biasanya tokoh-tokoh yang dianggap intelektual atau pemikir muslim. Namun jika ditelusuri lebih jauh, akan tersingkaplah bahwa semua serangan itu adalah rekayasa negara-negara imperialis. Para intelektual itu hanyalah corong atau penyambung lidah kaum kafir.
Stigma fundamentalisme yang ditujukan kepada para aktivis Islam, misalnya, sebenarnya merupakan rekayasa dan kebijakan Amerika Serikat.
Ini bisa dibuktikan misalnya, dari pernyataan mantan Presiden AS Richaed Nixon ketika dia mendeskripsikan lima ciri kaum “fundamentalis Islam”, yaitu :
(1) mereka digerakkan kebencian yang besar kepada Barat,
(2) mereka bersikeras untuk mengembalikan peradaban Islam yang lalu dengan membangkitkan masa lalu itu,
(3) mereka yang bertujuan untuk mengaplikasikan Syariat Islam,
(4) mereka yang mempropagandakan bahwa Islam adalah agama dan negara, dan
(5) mereka yang menjadikan masa lalu sebagai penuntun masa depan.[69]
Begitu pula ide teologi inklusif/pluralis yang menganggap semua agama itu benar dan tak boleh ada pemeluk agama yang menganggap agamanya sendiri yang benar (truth claim). Ide yang sering dilontarkan kaum modernis ini memang bukan dari Islam, tetapi berasal dari kaum Kristen, yakni dari keputusan Konsili Vatikan II tahun 1963-1965 yang merevisi prinsip extra ecclesium mulla salus (hanya agama Kristen saja yang benar/selamat). Konsili itu lalu menetapkan teologi baru bahwa keselamatan tidak lagi menjadi monopoli umat Kristiani. Gereja Kristen mengakui adanya keselamatan di luar Kristen.
Konsili Vatikan itulah kiranya yang mengilhami pemikiran sebagian tokoh –seperti Nurcholish Madjid— yang kemudian menafsirkan Islam dalam arti “berserah diri atau pasrah kepada Tuhan”. Jadi siapa pun yang berserah diri dan patuh kepada Tuhan, dia muslim, meskipun agamanya Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan sebagainya. Jadi semuanya sama, semuanya muslim, semuanya selamat.[70]
Inilah malapetaka pemikiran yang sangat berat yang menimpa umat Islam saat ini. Hendaknya umat Islam berhati-hati, karena demi Allah, ide-ide semacam ini dapat memurtadkan seorang muslim dari Islam !
Ketiga, Ulama-ulama mengada-adakan “fiqih baru”, seperti fiqhul waqi’, fiqhul muwazanat, fiqhul maslahat, dan sebagainya.
Sesungguhnya sudah jelas bagi para ulama bahwa kenyataan (al waqi’) bukanlah sumber hukum Islam. Sumber hukum Islam hanyalah wahyu (Al Qur`an dan As Sunnah) atau apa yang ditunjukkan wahyu sebagai sumber hukum, seperti Ijma’ Shahabat dan Qiyas.
Namun seiring dengan merajalelanya penerapan hukum Barat –pasca hancurnya Khilafah— yang bercorak positivistik (menjadikan fakta empiris sebagai sumber pemikiran)[71], banyak ulama yang terpengaruh dengan pola pikir Barat ini. Kenyataan masyarakat kemudian menjadi bahan pertimbangan untuk memutuskan status hukum. Kenyataan bukan ditempatkan sebagai objek yang akan menjadi sasaran penerapan hukum (manath al hukm), melainkan sebagai subjek yang mendasari status hukum, yang sama tingkatnya dengan dalil syar’i. Maka lahirlah apa yang disebut fiqhul waqi’, fiqhul muwazanat, dan fiqhul maslahat.
Hukuman mati bagi orang murtad, misalnya, dianggap tidak manusiawi pada masa sekarang. Maka orang murtad hendaknya dibiarkan saja, karena sesuai dengan prinsip kebebasan beragama yang bercorak modern dan maju. Hukum waris yang menetapkan perbandingan 2 : 1 (dua bagian pria sama dengan satu bagian wanita), dirasakan tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan dan kemaslahatan zaman sekarang. Maka ia harus diubah menjadi 1 : 1 (bagian pria dan wanita sama). Hukuman rajam atau potong tangan dianggap tidak cocok untuk masyarakat modern yang kapitalistik dan humanis, dan hanya cocok untuk masyarakat agraris dan biadab pada masa Nabi SAW. Jadi hukuman itu bisa diganti dengan penjara. Hukum larangan menjadi pemimpin negara bagi wanita, cocok untuk masa Nabi yang sistem kekuasaannya cenderung absolut. Kalau sekarang, dengan kekuasaan yang demokratis dan prinsip pembagian kekuasaan Trias Politica, berarti wanita boleh menjadi pemimpin negara. Hukum bunga bank sebenarnya haram, karena termasuk riba. Tapi karena darurat dan maslahat, hukumnya menjadi boleh, minimal syubhat. Demikianlah seterusnya.
Sungguh, pendapat-pendapat tersebut tak dapat dikategorikan sebagai hasil ijtihad yang sahih. Jadi kualitasnya rendah sekali. Di samping itu, pendapat-pendapat itu merupakan bukti kekalahan ideologis yang sangat nyata. Sayang sekali, para intelektual dan ulama yang seharusnya membongkar kepalsuan metode berpikir penjajah, ternyata malah larut dan menggunakan metode berpikir mereka.
2.7. Malapetaka Dakwah
Dakwah untuk menyerukan Islam adalah suatu perbuatan yang mulia. Apalagi dakwah untuk mengamalkan Islam secara total dalam wadah negara dan masyarakat Islam. Namun hancurnya Khilafah telah menimbulkan malapetaka untuk kegiatan dakwah ini.
Malapetaka yang menonjol di antaranya :
(1) Dakwah kepada Islam menjadi lebih berat dan sukar karena penerapan Islam dalam kehidupan bernegara tidak ada lagi, dan
(2) Para pejuang dakwah yang hendak mengembalikan Khilafah dicap sebagai penjahat atau teroris.
Pertama, Dakwah kepada Islam menjadi lebih sulit karena penerapan Islam secara praktis dalam kehidupan bernegara tidak ada lagi.
Termasuk fitrah pada manusia, yakni ia akan lebih mempercayai fakta-fakta konkret yang dapat diindera daripada hal-hal ghaib atau pemikiran semata. Karena itulah, pada awal dakwah Rasulullah di Makkah, yang beriman kepada Islam hanya sekitar 300 orang. Namun setelah Islam termanifestasi dalam Daulah Islamiyah di Madinah dan manusia dapat melihat penerapan Islam secara nyata, masuklah mereka ke dalam Islam secara berbondong-bondong. Bangsa-bangsa Persia, Turki, Kurdi, Barbar, dan Afghanistan tercatat dalam sejarah sebagai bangsa-bangsa yang masuk Islam ketika negara Khilafah eksis. Andaikata negara Khilafah tak ada, niscaya mereka tak akan masuk Islam dan Islam tak akan tersebar luas seperti sekarang. [72]
Ketika Khilafah hancur pada tahun 1924, maka salah satu malapetakanya adalah malapetaka dakwah ini, yakni orang menjadi sulit mempercayai dakwah yang menunjukkan keunggulan masyarakat Islam, karena faktanya memang tidak ada. Maka dari itu, tak sedikit muslim yang menyatakan bahwa Khilafah itu hanyalah suatu utopia belaka. Orang pun mungkin mengakui bahwa pemikiran Islam tentang negara atau masyarakat memang bagus, tapi dia akan segera bertanya, “Lalu faktanya mana ?”
Hal ini tentu berbeda ketika ada seruan dan ajakan untuk mengambil kapitalisme, demokrasi, HAM, dan ide-ide Barat lainnya. Manusia akan cepat menerima seruan tersebut –walaupun itu seruan batil dan palsu-- sebab ada negara-negara yang menerapkan ide-ide tersebut dalam realitas empirik, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan sebagainya.
Namun demikian, malapetaka dakwah ini tentu tidak boleh secara syar’i menghentikan perjuangan mengembalikan Khilafah, betapa pun beratnya perjuangan itu. Dakwah untuk mendirikan Khilafah dan melanjutkan kehidupan Islam wajib terus berlangsung, baik ketika Khilafah ada maupun tidak ada. Sebab Rasulullah SAW tetap terus berdakwah dan berjuang menyerukan Islam, sekali pun pada saat itu masyarakat Islam belum terwujud. Beliaulah suri teladan kita.[73]
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS Al Ahzab : 21)
Kedua, Para pejuang yang menyerukan kembalinya Khilafah dicap sebagai penjahat atau teroris.
Eksistensi Khilafah sebenarnya wajib menurut Islam. Tak ada yang berbeda pendapat dalam masalah ini kecuali orang sekuler dan orang sesat.[74] Maka dari itu, para pengemban dakwah yang menyerukan Khilafah sebenarnya menyerukan sesuatu yang wajib, seperti halnya kewajiban lainnya semisal shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.
Namun ternyata masalahnya menjadi lain ketika Khilafah roboh pada tahun 1924. Setelah itu, para penguasa negeri-negeri Islam mengadopsi sekularisme sehingga pejuang yang berupaya mendirikan negara Islam (Khilafah) akan dianggap melakukan pemberontakan yang pantas diganjar dengan hukum berat. S.M. Kartosuwiryo, misalnya, yang memimpin gerakan Darul Islam, dieksekusi mati pada bulan September 1962 setelah bergerilya 13 tahun lamanya.[75]
Penumpasan upaya mendirikan Khilafah, seperti telah disinggung sebelumnya, juga terjadi negeri-negeri Islam lainnya seperti di Aljazair awal 90-an dan di Uzbekisten tahun 1999.
Perkembangan mutakhir pada akhir 2001 dan awal 2002 juga menampakkan gejala senada. Siapa saja yang menginginkan kembalinya Khilafah, atau menyerukan penerapan Syariah Islam, akan dianggap teroris sehingga layak ditangkap dan diadili. Pemerintah Malaysia telah menangkap para aktivis Islam yang menghendaki pendirian negara Islam di Malaysia. Pemerintah Yaman menangkap 21 aktivis asal Indonesia yang dianggap berbahaya lantaran mempelajari Islam aliran “keras”. Pemerintah Filipina menangkap Fathurrahman Al Ghazi dengan tuduhan akan meledakkan kantor-kantor strategis milik AS. Pemerintah Indonesia “menanyai” Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang dianggap sebagai anggota Al Qaida.[76]
Betapa malangnya nasib umat Islam ! Orang-orang yang baik telah dianggap jahat sementara yang jahat dianggap malaikat. Lawan dianggap kawan dan sebaliknya kawan dianggap lawan. Sungguh, sulit sekali dibayangkan para aktivis dan pejuang Islam akan dianggap penjahat kalau saja Khilafah masih ada. Namun ketika Khilafah hancur dan sekularisme dijadikan standar berpikir, malapetaka yang berat menimpa umat Islam. Para pejuang Islam harus menerima nasib pahit karena dianggap musuh[77] dan dikategorikan sebagai teroris atau penjahat.
2.8.Malapetaka Sosial Budaya
Setelah Khilafah hancur, negeri-negeri Islam beramai-ramai menerapkan sekularisme. Kebebasan (freedom/liberalism) yang merupakan ide cabang dan konsekuensi logis dari sekularisme, menjadi sesuatu yang tak terelakkan lagi. Berbagai sarana dan media digunakan untuk mengekspresikan kebebasan itu. Hal ini pada gilirannya telah merusak moral generasi muda sehingga mereka terjerumus ke dalam berbagai perilaku tatasusila.
Malapetaka sosial ini setidaknya terlihat dari : (1) Merajalelanya sarana-sarana kebebasan untuk merusak moral, dan (2) Lahir generasi bejat moral sebagai akibat sarana-sarana kebebasan gaya Barat tersebut.
Pertama, Merajalelanya sarana-sarana kebebasan untuk merusak moral.
Berbagai sarana dan media yang mengusung kebebasan ini antara lain iklan-iklan dan acara tertentu di televisi, film-film porno, tabloid-tabloid porno, VCD porno, internet, dan sebagainya. Semua sarana ini disahkan oleh penguasa sekuler saat ini.
Iklan di televisi, misalnya, kini tak malu-malu menganjurkan seks bebas. "Untuk menghindari penularan virus HIV/AIDS, gunakan kondom!" kata iklan. Jadi televisi berusaha memberi kenyamanan kepada para pelaku seks bebas. Berbagai film, sinetron, dan telenovela di televisi juga tak lepas dari misi menghancurkan moral masyarakat. Hampir semuanya menayangkan perilaku perselingkuhan dan tradisi zina, misalnya adegan ciuman sampai persetubuhan. Demikian pula film kartun Crayon Sin-Chan yang 'membimbing' anak-anak ke jalan sesat untuk bertingkah laku cabul dan amoral.
Kebebasan juga memunculkan puluhan majalah, koran, dan tabloid cabul yang begitu mudah dijumpai di pinggir-pinggir jalan. Sebut saja Popular, Kosmopolitan, Liberty, Amor, Top, Pop, Neo, Map, Mona, atau Tragis. Ada pula yang namanya mengerikan, seperti Hot, Wow, Lipstick, Desah, Asmara, De Suga, Kiss, Jeritan Hati, dan banyak lagi. Kerap pula kita jumpai kumpulan anak-anak remaja di rental dan tempat penjualan video compact disk (VCD). Yang menyedihkan, VCD pornolah yang banyak diminati kalangan muda dan remaja. Teknologi internet juga banyak dimanfaatkan untuk mengakses kemaksiatan.[78]
Kedua, Lahir generasi bejat moral sebagai akibat kebebasan gaya Barat.
Dengan adanya berbagai sarana seperti telah disebut di atas, yang didukung sepenuhnya oleh pemerintahan sekuler sekarang tanpa rasa berdosa, tidak mengherankan kalau kemudian muncul generasi yang bermoral bejat dan berperilaku amoral.
Kasus HIV/AIDS di Indonesia, misalnya, menjadi semakin dahsyat. RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, saat ini didatangi 4-10 penderita HIV/AIDS tiap minggunya. Data bulanan Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan menyebutkan, selama April 2001 terjadi penambahan 2 kasus HIV dan 5 kasus AIDS. Itu yang diketahui. Sementara para ahli sering menyatakan bahwa data tentang HIV/AIDS ini bagaikan gunung es, yang tampak di permukaan sedikit tapi yang terpendam di bawah permukaan sangat banyak.
Akibat budaya zina pula, aborsi menjadi kebiasaan remaja-remaja putri. Sebuah penelitian tentang aborsi menunjukkan, 2,5 juta aborsi terjadi per tahun dan 1,5 juta di antaranya dilakukan oleh kalangan remaja.[79]
Selain itu, banyak penelitian yang menunjukkan betapa dahsyat perilaku zina di tengah masyarakat yang konon religius ini. Salah satu penelitan dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 'Plan' dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) awal tahun 2000, untuk mengetahui perilaku seks remaja di Kota Bogor (Jabar). Hasilnya luar biasa. Dari 400-an responden, 98,6% remaja berusia 10-18 tahun sudah mengenal pacaran, di antaranya 50,7% melakukan cumbuan ringan, 25% melakukan cumbuan berat, 6,5% telah melakukan hubungan seks. Sebanyak 28 responden (lelaki dan perempuan) telah melakukan hubungan seks bebas, 6 orang dengan penjaja seks, 5 orang dengan teman, 17 orang dengan pacar.[80]
Demikianlah sekilas data mengenai kualitas generasi yang dihasilkan oleh sebuah rejim sekuler yang menuhankan kebebasan. Dan tentunya kita paham, bahwa rejim yang bejat ini dimungkinkan eksis di muka bumi karena mereka telah berkiblat sepenuhnya kepada Barat, setelah kiblat umat yang sebenarnya, yakni negara Khilafah, hancur pada tahun 1924.
3. Penutup
Demikianlah uraian singkat tentang beberapa malapetaka yang muncul akibat hancurnya Khilafah. Kiranya yang disebutkan hanyalah contoh, yang sebenarnya hanya secuil saja dari jutaan malapetaka yang terjadi. Namun contoh sedikit ini sesungguhnya lebih dari cukup untuk menyadarkan kita akan besarnya malapetaka yang menimpa umat ini. Ia sudah cukup menyadarkan kita, betapa dosarnya dosa kita di hadapan Allah SWT bila kita hidup tanpa Khilafah.
Benarlah sabda Rasulullah SAW :
“...dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim)Maka tak ada pilihan lain bagi kita, kecuali harus terus berjuang dengan istiqamah untuk mengembalikan Khilafah di muka bumi. Kita harus terus berjuang, betapa pun beratnya upaya itu, betapa pun banyaknya waktu yang diperlukan, dan betapa pun besarnya pengorbanan yang harus dikeluarkan. Tak ada waktu lagi untuk menimbang-nimbang, sebab pilihannya telah jelas : kehinaan di dunia dan akhirat akibat diinjak-injak sistem kufur seperti sekarang ini, ataukah berjuang demi kemuliaan dan kemenangan di bawah naungan Khilafah, walau pun untuk itu darah harus tertumpah !
Ya Allah, kami sudah menyampaikan. Saksikanlah !
DAFTAR PUSTAKA
Al Aqabi, Abdurrahman. 1998. “Madza Khasira Al Muslimun bi Ghiyab Al Khilafah”. Majalah Al Wa’ie. No. 134. Rabi’ul Awal 1419 H / Juli 1998 M. Hal. 26-28.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1969. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir. Cetakan Ketiga. Tanpa Tempat Penerbit : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir.
----------. 1973. Nazharat Siyasiyah li Hizbit Tahrir. Cetakan Pertama. Tanpa Tempat Penerbit : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir.
----------. 1994. Ad Daulah Al Islamiyah. Cetakan Kelima. Beirut : Darul Ummah.
Ar Ra`is, Dhiyauddin. 2001. Teori Politik Islam (An Nazhariyat As Siyasiyah Al Islamiyah). Terjemahan oleh Abdul Hayyie Al Kattani dkk. Cetakan Pertama. Jakarta : Gema Insani Press.
Asy Sya’rawi, ‘Ayid. 1992. At Talwits Al Fikri wa Al I’lami fi Al ‘Alam Al Islami. Cetakan Kedua. Beirut : Darun Nahdhah Al Islamiyah.
At Tamimi, Asy Syaikh As’ad Bayudh. 1994. Impian Yahudi dan Kehancurannya Menurut Al Qur`an (Zawalu Isra`il Hatmiyah Qur`aniyah). Terjemahan oleh Salim Basyarahil. Cetakan Kelima. Jakarta : Gema Insani Press.
Belhaj, Ali. 1994. Tanbihul Ghafilin wa I’lamul Ha`irin bi Anna Al Khilafah min A’zhami Wajibati Hadza Ad Din. Cetakan Pertama. Beirut : Darul ‘Uqaab.
----------. 1994. Fashlul Kalam fi Muwajahah Zhulmi Al Hukkam. Cetakan Pertama. Beirut : Darul ‘Uqaab.
----------. 1994. Ad Damghah Al Qawwiyyah li Nasfi ‘Aqidah Ad Dimuqrathiyah. Cetakan Pertama. Beirut : Darul ‘Uqaab.
Husaini, Adian. 2001. Jihad Osama Versus Amerika. Cetakan Pertama. Jakarta : Gema Insani Press.
----------.2002. Penyesatan Opini : Sebuah Rekayasa Mengubah Citra. Cetakan Pertama. Jakarta : Gema Insani Press.
Jameelah, Maryam. 1965/1988. Islam and Modernism. Lahore : Mohammad Yusuf Khan & Sons.
Jarisyah, M. A. & M.S. Az Zaibaq. 1992. Taktik Strategi Musuh-Musuh Islam (Asalib Al Ghazw Al Fikri li Al ‘Alam Al Islami). Terjemahan oleh As’ad Yasin.Cetakan Pertama. Solo : CV. Pustaka Mantiq.
Khayr, Muhammad. 1998. “Wahdatul Muslimin fi Asy Syari’ah Al Islamiyah.” Majalah Al Wa’ie. No. 134. Rabi’ul Awal 1419 H / Juli 1998 M. Hal. 6-13.
Ridwan. M.A.M. 1997. Negara (Khilafah) Yang Islami (Ath Thariqu li ‘Audati Al Khilafah Ar Rasyidah wa Ba’tsu Ummah Al Islami Al ‘Uzhma). Terjemahan oleh S. Pranowo. Cetakan Pertama. Jakarta : Misykat Komunikasi.
Shodiq, Abdulloh. 1994. Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kemal. Cetakan Kedua. Pasuruan : PT. Garoeda Buana Indah.
‘Umayrah, ‘Isham. 2000. “Hadmu Daulah Al Khilafah Ummul Jara`im.” Majalah Al Wa’ie. No. 158. Rabi’ul Awal 1421 H / Juni 2000 M. Hal. 27-32.
----------. 2000. “Ahammiyah Al Isytighal bi As Siyasah Muhadharah fi Dzikra Jarimah Ilgha` Al Khilafah.” Majalah Al Wa’ie. No. 159. Rabi’ul Akhir 1421 H / Tamuz 2000 M. Hal. 8-13.
Zallum, Abdul Qadim. 1990. Kayfa Hudimat Al Khilafah. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah.
----------. 1994. Afkar Siyasiyah. Cetakan Pertama. Beirut : Darul Ummah.