PERLAKUAN ISLAM TERHADAP NON MUSLIM
PERLAKUAN ISLAM TERHADAP NON MUSLIM
Oleh: MR Kurnia
Islam merupakan sistem kehidupan yang memberikan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Allah SWT telah menurunkan Islam untuk mengatur kehidupan manusia, baik Muslim mahupun non-Muslim. Hal ini didasarkan pada perintah Allah SWT (Lihat, QS an-Nisa' [4]:105).
Dalam sistem Islam, warga non-Muslim sebagai ahludz dzimmah, harta, jiwa dan kehormatan mereka dilindungi. Di dalam Islam, umat lain akan mendapatkan perlindungan yang penuh dari negara, dengan jaminan keperluan hidup,seperti; pakaian, tempat tinggal dan makanan yang sama, juga jaminan kesihatan, pendidikan dan keamanan. Bukankah Nabi saw. sendiri pernah mengatakan (yang maksudya): Siapa yang menzalimi non-Muslim yang telah melakukan perjanjian atau meremehkannya, membebaninya di luar batas kemampuan, mengambil sesuatu tanpa kerelaannya, maka aku menjadi musuhnya pada Hari Kiamat. (HR Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Kerananya, syariat Islam yang diterapkan oleh Khilafah mengharuskan pencegahan atas adanya penindasan, penghinaan, penyiksaan dan pengusiran, baik dilakukan oleh sesama warga mahupun oleh negara.
Berkaitan dengan akidah, warga non-Muslim dibiarkan untuk memiliki keyakinan mereka masing-masing. Tidak boleh ada paksaan dalam keyakinan dan peribadatan; mereka boleh menganut Islam dengan sukarela dan atas pilihannya. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 256).
Sementara itu, dalam masalah hukum, ada aturan yang menjadikan Islam sebagai syarat penerapannya, namun ada pula yang tidak mensyaratkan Islam. Solat, zakat, haji, puasa, dan sebagainya merupakan hukum yang mensyaratkan keislaman. Dalam hal-hal tersebut, hukum Islam hanya berlaku bagi kaum Muslim saja. Warga non-Muslim tidak boleh dipaksa untuk menunaikannya. Sebaliknya, mereka dipersilakan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya; termasuk di dalamnya hal-hal yang bersifat peribadi seperti pernikahan, tatacara mewarisi, boleh poligami atau tidak, perceraian, pakaian, dan hal-hal sejenis yang dipandang sebagai bahagian dari akidah agamanya. Semua itu menjadi hak warga non-Muslim untuk menjalankannya sesuai dengan aturan agamanya masing-masing. Dalam pemerintahan Islam kaum Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dll dijamin untuk menjalankan ibadah dan ritual keagamaan tanpa adanya gangguan dari siapapun. Dengan kata lain, hal-hal yang terkait dengan bahagian agamanya, mereka diperkenankan untuk melaksanakan ajaran agamanya itu. Dalam persoalan ini mereka tidak boleh dipaksa untuk melaksanakan syariah Islam.
Untuk itu, syariah Islam telah menetapkan:
Dalam sistem Islam, warga non-Muslim sebagai ahludz dzimmah, harta, jiwa dan kehormatan mereka dilindungi. Di dalam Islam, umat lain akan mendapatkan perlindungan yang penuh dari negara, dengan jaminan keperluan hidup,seperti; pakaian, tempat tinggal dan makanan yang sama, juga jaminan kesihatan, pendidikan dan keamanan. Bukankah Nabi saw. sendiri pernah mengatakan (yang maksudya): Siapa yang menzalimi non-Muslim yang telah melakukan perjanjian atau meremehkannya, membebaninya di luar batas kemampuan, mengambil sesuatu tanpa kerelaannya, maka aku menjadi musuhnya pada Hari Kiamat. (HR Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Kerananya, syariat Islam yang diterapkan oleh Khilafah mengharuskan pencegahan atas adanya penindasan, penghinaan, penyiksaan dan pengusiran, baik dilakukan oleh sesama warga mahupun oleh negara.
Berkaitan dengan akidah, warga non-Muslim dibiarkan untuk memiliki keyakinan mereka masing-masing. Tidak boleh ada paksaan dalam keyakinan dan peribadatan; mereka boleh menganut Islam dengan sukarela dan atas pilihannya. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 256).
Sementara itu, dalam masalah hukum, ada aturan yang menjadikan Islam sebagai syarat penerapannya, namun ada pula yang tidak mensyaratkan Islam. Solat, zakat, haji, puasa, dan sebagainya merupakan hukum yang mensyaratkan keislaman. Dalam hal-hal tersebut, hukum Islam hanya berlaku bagi kaum Muslim saja. Warga non-Muslim tidak boleh dipaksa untuk menunaikannya. Sebaliknya, mereka dipersilakan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya; termasuk di dalamnya hal-hal yang bersifat peribadi seperti pernikahan, tatacara mewarisi, boleh poligami atau tidak, perceraian, pakaian, dan hal-hal sejenis yang dipandang sebagai bahagian dari akidah agamanya. Semua itu menjadi hak warga non-Muslim untuk menjalankannya sesuai dengan aturan agamanya masing-masing. Dalam pemerintahan Islam kaum Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dll dijamin untuk menjalankan ibadah dan ritual keagamaan tanpa adanya gangguan dari siapapun. Dengan kata lain, hal-hal yang terkait dengan bahagian agamanya, mereka diperkenankan untuk melaksanakan ajaran agamanya itu. Dalam persoalan ini mereka tidak boleh dipaksa untuk melaksanakan syariah Islam.
Untuk itu, syariah Islam telah menetapkan:
a. mewajibkan manusia untuk menghormati hak-hak orang lain dalam meyakini sesuatu sesuai dengan akidah mereka.
b. mewajibkan para pemilik keyakinan untuk menjaga keyakinannya dan membelanya. (Abdul Qadir Audah, At-Tasyrî` al-Jinâ'i al-Islâmi, 1/31-32)
Selain itu, ada hukum-hukum yang tidak mensyaratkan keislaman. Hukum ini ada dua kategori.
Pertama: hukum yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. sebagai hukum yang khusus bagi warga non-Muslim. Mereka diberikan kebebasan untuk menjalankannya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Mereka tidak boleh dipaksa untuk melaksanakan hukum Islam. Misalnya adalah hukum yang terkait dengan makanan dan minuman. Dulu ketika Rasulullah saw. memasuki Yaman, Beliau tidak memaksa non-Muslim untuk keluar dari agamanya, tidak memaksa mereka untuk meninggalkan khamr; mereka hanya wajib membayar jizyah (Ibnu Hajar, Talhis al-Habir, IV/123). Begitu juga, sejarah mencatat para Sahabat, tatkala memasuki Mesir, membiarkan warga non-Muslim meminum khamr. Makanan dan minuman yang diperbolehkan oleh agama mereka hukumnya boleh bagi mereka sekalipun boleh jadi syariah Islam mengharamkannya atas kaum Muslim. Hanya saja, mereka tidak boleh memproduksinya untuk dijajakan di tengah masyarakat Muslim.
Kedua: apabila terdapat hukum yang tidak mempersyaratkan keimanan dan keislaman serta tidak ada ketentuan lain dari Rasulullah saw., maka hukum tersebut diterapkan bagi semua warga,baik muslim mahupun non-muslim. Hal ini mencakup aspek hukum, peradilan, ekonomi, muamalah, `uqubat (sanksi hukum), sistem pemerintahan, jaminan keperluan rakyat, dan sejenisnya. Dalam masalah-masalah umum seperti ini seluruh rakyat diperlakukan sama tanpa memperhatikan suku, bangsa, agama, warna kulit, atau pertimbangan apapun.
Kedua: apabila terdapat hukum yang tidak mempersyaratkan keimanan dan keislaman serta tidak ada ketentuan lain dari Rasulullah saw., maka hukum tersebut diterapkan bagi semua warga,baik muslim mahupun non-muslim. Hal ini mencakup aspek hukum, peradilan, ekonomi, muamalah, `uqubat (sanksi hukum), sistem pemerintahan, jaminan keperluan rakyat, dan sejenisnya. Dalam masalah-masalah umum seperti ini seluruh rakyat diperlakukan sama tanpa memperhatikan suku, bangsa, agama, warna kulit, atau pertimbangan apapun.
Terkait persoalan umum/publik seperti ini, pemerintahan Islam menjamin non-Muslim diperlakukan sama dengan kaum Muslim sebagai warga negara.
Setiap warga negara dijamin:
(a) keperluan pokok (pakaian, makanan dan tempat tinggal);
(b) keperluan kolektif strategis (pendidikan, kesihatan, dll);
(c) aspirasi politik (berhak mengadu kepada Khalifah apabila hak-hak mereka tidak terpenuhi);
(d) jaminan kesihatan;
(e) jaminan persamaan hukum.
Baik Muslim ataupun non-Muslim bebas bekerja, berusaha, berniaga, mengelola harta, jual-beli, sewa-menyewa, bertransaksi, mengembangkan harta, mendirikan perusahaan, dan muamalah lainnya. Syaratnya, harus memenuhi aturan sistem ekonomi Islam. Misalnya, tidak menggunakan sistem riba; usahanya halal sesuai dengan syariah (seperti bukan judi, pelacuran, hiburan yang bercampur dengan seks bebas); serta tiada penipuan.
Jika terjadi pelanggaran hukum dalam persoalan umum/publik, hukum Islamlah yang diterapkan terhadap semua warga tanpa membezakan agama. Hukum ini perlu dipandang sebagai hukum negara. Siapapun yang menerima rasuah, mencuri, berlaku zalim, melanggar kehormatan sesama, dll ,maka dilaksanakan atasnya hukum Islam oleh pengadilan.
Sekalipun demikian, ada memang beban yang berbeza antara Muslim dengan non-Muslim. Di antaranya, ketika terjadi kesepakatan antara kaum Muslim dan non-Muslim untuk hidup bersama dalam Khilafah Islam, maka wajib bagi non muslim untuk memberikan sebahagian hartanya sebagai jizyah. Hal ini bukanlah ganti ketidakislamannya melainkan sebagai ganti dari jaminan keamanan dan perlindungan dari serangan musuh terhadap mereka (Mutawalli, Al-Islam wa Nizham al-Hukm, hlm. 339). Jizyah ini tidak dipungut dari orang-orang miskin, lemah, dan memerlukan sedekah (Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/237). Adapun Muslim memang tidak wajib membayar jizyah, tetapi wajib berzakat. Apabila baitul-mal negara kosong, Muslim yang mampu perlu membayar dharibah(yakni dipungut dari harta kaum muslimin yang mampu). Hukum syariah Islam telah menetapkan kaum Muslim wajib berjihad ofensif ke luar negeri, sedangkan non-Muslim tidak wajib. Namun, ketika pasukan musuh menyerbu ke dalam negeri maka semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim perlu melawannya.
Non-Muslim dalam Sejarah
Non-Muslim dalam Sejarah
Itulah gambaran syariah Islam yang merupakan rahmatan lil `alamin. Kerahmatan ini diperuntukkan baik bagi kaum Muslim mahupun non-Muslim. Itu bukan hanya sekadar sikap ideal atau cita-cita belaka, melainkan telah tercatat dengan tinta emas dalam sejarah.
Sebagai misal, sejak awal tegaknya pemerintahan Islam pertama di Madinah, non-Muslim diperlakukan dengan amat baik. Kaum Yahudi, misalnya, dibiarkan melaksanakan simbol-simbol agama mereka. Dalam Piagam Madinah disebutkan:
Orang Yahudi dari Bani 'Auf merupakan satu umat bersama orang-orang Mukmin. Bagi orang Yahudi adalah agama mereka dan bagi orang Islam adalah agama mereka, kecuali orang yang zalim dan berdosa. Sesungguhnya ia tidak dirosakkan atau dibinasakan kecuali oleh dirinya sendiri dan keluarganya.
Orang Yahudi dari Bani 'Auf merupakan satu umat bersama orang-orang Mukmin. Bagi orang Yahudi adalah agama mereka dan bagi orang Islam adalah agama mereka, kecuali orang yang zalim dan berdosa. Sesungguhnya ia tidak dirosakkan atau dibinasakan kecuali oleh dirinya sendiri dan keluarganya.
Demikian halnya dengan kaum Nasrani Najran. Nabi saw. membuat ketetapan:
Bagi penduduk Najran dan juga tanahnya merupakan tetangga bagi Allah dan menjadi tanggungan Muhammad saw. mencakup harta, jiwa, tanah, agama, orang papa dan kaya, keluarga dan juga tempat ibadah mereka serta segala yang berada di bawah tangan mereka. Tidak akan mengubah salah satu rahib dari beberapa rahib mereka, salah satu pendeta dari pendeta mereka, atau salah satu pemimpin agama dari beberapa pemimpin agama mereka. Tidak ada darah Jahiliah. Mereka tidak akan dirugikan atau dipersulit. Tentera tidak akan merampas tanah mereka dan mereka yang meminta dengan benar. Di antara mereka adalah bahagian satu sama lain tanpa melakukan kezaliman ataupun dizalimi. (Al-Baladzury, Futuh al-Buldan, hlm. 72).
Amru bin Ash adalah wali di Mesir. Beliau menyampaikan kepada penduduk Kristen di sana tentang jaminan perlakuan dari pemerintahan Islam terhadap mereka. "Ini adalah apa yang diberikan oleh Amr bin `Aash kepada penduduk Mesir, iaitu keamanan. Memberikan kepada mereka keamanan terhadap diri mereka, gereja dan juga agama mereka, serta daerah laut dan darat mereka. Semuanya tidak akan mendapatkan gangguan." Inilah di antara keputusan beliau. (Ath-Thabari, Târîkh ath-Thabari, IV/229).
Perlakuan mulia Islam melalui pemerintahannya terjadi juga pada masa Khalifah Umar bin al-Khathab. Khalifah Umar memberikan keamanan bagi penduduk Elya (al-Quds) penganut Kristen. Jaminan tersebut berbentuk keamanan terhadap diri, gereja dan agama mereka. Mereka tidak pernah dipaksa terkait dengan agama mereka. Khalifah Umar pun menetapkan semua rakyat tidak boleh menyakiti mereka (Al-Baladzury, Op. Cit., hlm. 136).
Pada waktu beliau masuk ke kota Baitul Maqdis dibuat Perjanjian Umariah:
Telah menjamin keamanan jiwa, harta, gereja dan salib mereka, bahawa gereja mereka itu tidak akan diduduki, tidak akan diruntuhkan, tidak akan dikurangi, baik gedungnya mahupun harta bendanya, dan bahawa orang Yahudi tidak akan dibiarkan tinggal bersama-sama dengan mereka.
Pada waktu beliau masuk ke kota Baitul Maqdis dibuat Perjanjian Umariah:
Telah menjamin keamanan jiwa, harta, gereja dan salib mereka, bahawa gereja mereka itu tidak akan diduduki, tidak akan diruntuhkan, tidak akan dikurangi, baik gedungnya mahupun harta bendanya, dan bahawa orang Yahudi tidak akan dibiarkan tinggal bersama-sama dengan mereka.
Hal ini tertulis dalam piagam bersejarah yang ditandatangani oleh Umar untuk Patriach Gereja itu, St. Sophrone. Dengan demikian hilanglah segala rasa takut yang mungkin ada di kalangan orang-orang Masehi terhadap kaum Muslim yang telah menang perang.
Bahkan, ketika rumah seorang Yahudi hendak digusur oleh Amr bin al-'Ash untuk pembangunan masjid, yang bererti perampasan hak milik peribadi, Khalifah Umar pun marah, seraya meminta gabenornya itu untuk mengembalikan hak milik peribadi Yahudi tersebut. Kita juga diingatkan dengan kisah sang kepala negara, Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang bersengketa dengan orang Yahudi soal baju besi, dimana pada akhirnya dimenangkan oleh orang Yahudi, yang merupakan rakyat jelata itu.
Bahkan, ketika rumah seorang Yahudi hendak digusur oleh Amr bin al-'Ash untuk pembangunan masjid, yang bererti perampasan hak milik peribadi, Khalifah Umar pun marah, seraya meminta gabenornya itu untuk mengembalikan hak milik peribadi Yahudi tersebut. Kita juga diingatkan dengan kisah sang kepala negara, Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang bersengketa dengan orang Yahudi soal baju besi, dimana pada akhirnya dimenangkan oleh orang Yahudi, yang merupakan rakyat jelata itu.
Dalam Tafsir al-`Alusi (III/13) disebutkan ada seorang laki-laki Anshar dari Bani Salim bin `Auf. Ia memiliki dua orang anak yang beragama Kristen, sedangkan dia sendiri beragama Islam. Ia berkata kepada Nabi saw., "Patutkah aku memaksa keduanya yang tidak mahu berpindah dari agamanya?" Dalam menghadapi hal ini, turunlah ayat:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Kerana itu, siapa saja yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul/tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 256).
Keadaan seperti itu pun telah dibuktikan oleh sejarah Islam sepanjang 800 tahun ketika Sepanyol hidup dalam naungan Islam. Tiga agama besar—Islam, Kristen dan Yahudi—boleh hidup berdampingan. Masing-masing pemeluknya bebas menjalankan syariat agamanya dan dijamin oleh negara. Inilah yang diabadikan oleh Mc I Dimon, sejarawan Barat, dalam Spain in the Three Religion.
Menolak Propaganda
Saat ini ada propaganda menyudutkan Islam. Jika syariah Islam diterapkan maka non-Muslim akan diperlakukan semena-mena, bahkan dibantai. Propaganda ini tidak lebih dari black campaign (propaganda jahat). Secara normatif dan imani, stigma ini telah dibantah dan disanggahkan. Begitu juga secara historis. Yang terjadi justeru sebaliknya. Kaum Muslim dan non-Muslim hidup damai dalam syariah Islam.
Menolak Propaganda
Saat ini ada propaganda menyudutkan Islam. Jika syariah Islam diterapkan maka non-Muslim akan diperlakukan semena-mena, bahkan dibantai. Propaganda ini tidak lebih dari black campaign (propaganda jahat). Secara normatif dan imani, stigma ini telah dibantah dan disanggahkan. Begitu juga secara historis. Yang terjadi justeru sebaliknya. Kaum Muslim dan non-Muslim hidup damai dalam syariah Islam.
Berbeza dengan itu, Kapitalisme yang tengah berkuasa pada saat ini telah terbukti merugikan masyarakat, baik Muslim mahupun non-Muslim. Bahkan ideologi Kapitalisme telah menghancurkan agama-agama. Kerananya, seluruh manusia yang percaya dan hendak menjalankan agamanya sejatinya menjadikan Kapitalisme sebagai musuh bersamanya. Lalu, carilah penggantinya iaitu Islam.
Bagi kaum Muslim, marilah berjuang untuk menegakkan Islam. Janganlah terjebak pada stigmatisasi/propaganda terhadap Islam dan para pengembangnya. Bagi non-Muslim, pelajarilah Islam dan sejarahnya dari sumber yang jujur. Dokonglah penegakkan syariah Islam dan Khilafah. Itulah kehidupan masa depan yang akan menjadikan umat manusia hidup dalam kedamaian.
Bagi kaum Muslim, marilah berjuang untuk menegakkan Islam. Janganlah terjebak pada stigmatisasi/propaganda terhadap Islam dan para pengembangnya. Bagi non-Muslim, pelajarilah Islam dan sejarahnya dari sumber yang jujur. Dokonglah penegakkan syariah Islam dan Khilafah. Itulah kehidupan masa depan yang akan menjadikan umat manusia hidup dalam kedamaian.
Wallahu a`lam bi ash-shawab.
0 comments:
Post a Comment