KONSEP IBADAH
Konsep Ibadah
Ibadah Secara Bahasa
Secara bahasa, `ibadah berasal dari kata `abada–ya'budu–`ibadah/`ubudiyyah yang ertinya beribadah atau menyembah. Menurut Abdul Qadir ar-Razi, Mukhtar as-Shihah 1/172, asal `ubudiyyah adalah al-khudhu' (ketundukan) dan ad-dzullu (kerendahan), Ibadah juga bererti inqiyadz, yakni kepatuhan (Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, 4/235). Dengan demikian, secara bahasa ibadah dapat diertikan sebagai bentuk kerendahan, ketundukan, dan kepatuhan kepada al-Ma'bud (yang disembah).
Ibadah Secara Istilah Dan Syariat
Seorang hamba (al-`abd, jamaknya al-`abid, al-`ibad, al-`ubbad) adalah orang yang rendah, tunduk, dan pasrah. Al-Jauhari berkata, ibadah adalah ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kepasrahan, yang hanya layak ditujukan kepada Allah. Ibadah adalah ketundukan kepada-Nya dan tidak ada ketundukan yang lebih tinggi selain kepada-Nya. Al-`Abd (hamba) disebut hamba kerana kerendahan dan ketundukannya kepada tuannya (Abu Abdullah al-Ba'li, al-Muthalli' 1/93). Sedangkan Imam at-Thabari mengertikan ibadah sebagai ketundukan kepada Allah dengan menjalankan ketaatan dan merendahkan diri kepada-Nya dengan kepasrahan (Tafsir at-Thabari, 1/160).
Untuk beribadah, seorang hamba wajib mengenepikan keinginan hawa nafsunya, mendahulukan keinginan yang disembahnya, mentaati ketentuan-Nya. Oleh kerana itu, ibadah juga diertikan sebagai perbuatan seorang mukallaf (yakni orang yang dibebani hukum) menyalahi keinginan hawa nafsunya sebagai pengagungan kepada Tuhannya (l-Jurjani, at-Ta'rifat, 1/189). Al-Manawi menambahkan, bahawa ibadah adalah mengagungkan Allah dan mentaati perintah-perintah-Nya. Ibadah juga bererti perbuatan-perbuatan yang menunjukkan batas paling akhir dari kerendahan dan ketundukan (at-Ta'arif, 1/498).
Maka dari itu, Imam Ibn Taimiyah, sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh ibn Ahmad al-Hakami, mengatakan bahawa ibadah merupakan sebutan yang mencakup semua yang dicintai dan diredhai Allah berupa perkataan dan perbuatan, baik dari segi batin mahupun zahir (Al-Hakami, Ma'arij al-Qabul, 1/84).
Konsep Ibadah Umum Dan Ibadah Khusus
Allah menciptakan manusia tidak lain untuk beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman:Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (Qs. ad-Dzariyat [51]: 56).
Ibnu Abbas berkata, maksudnya adalah, "agar mereka menetapi ibadah kepada-Ku." Mufasir lain mengatakan, maksudnya adalah "agar mereka tunduk dan merendahkan diri kepada-Ku." (Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir, 8/43).
Maksud ayat di atas adalah agar mereka menjadi hamba Allah, melaksanakan hukum-Nya, dan patuh pada apa yang ditetapkan Allah kepada mereka (Ibn Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa' wa an-Nihal, 3/80). Inilah hakikat ibadah. Ibadah tidak lain adalah mengikuti dan patuh, diambil dari al-`ubudiyyah; seseorang hanya menyembah Zat yang ia patuhi dan yang dia ikuti perintah (ketentuan)-Nya (Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, 1/90). Kerana itu, orang yang menyalahi ketentuan aturan-aturan Allah dan mentaati aturan-aturan selain-Nya, dia hakikatnya bukan hamba Allah, dan pada saat yang sama ia telah menyekutukan Allah dengan yang lain. Ibadah secara umum ini hanya boleh dilaksanakan secara sempurna jika kita menjadikan Allah sahaja sebagai Pembuat hukum/aturan yang wajib ditaati.
Walhasil, secara umum segala bentuk ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah merupakan ibadah. Hanya saja, kata ibadah kemudian digunakan untuk menyebut bentuk ketaatan yang lebih khusus. Para ulama menyebutnya sebagai ibadah mahdhah, dan disebut "ibadah" saja. Ibadah mahdhah ini, seperti yang dikatakan oleh an-Nawawi, adalah ibadah yang murni, di dalamnya tidak terdapat campuran selainnya (al-Majmu', 1/373).
Ibadah merupakan bentuk sebenar hubungan seorang hamba (manusia) dengan Allah selain hubungan dalam bentuk akidah. Dikatakan ibadah mahdhah jika di dalamnya hanya terdapat bentuk hubungan ini dan tidak terdapat bentuk hubungan yang lain, iaitu tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan dirinya sendiri yakni masalah makanan, minuman, pakaian, dan akhlak; dan tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan manusia yang lain yakni masalah muamalat dan `uqubat. Contoh ibadah mahdhah ini adalah shalat, puasa, zakat, haji, doa, zikir, membaca al-Qur'an, kurban Idul Adha, dan sebagainya.
Berbeza dengan jual-beli, kontrak kerja, perwakilan, pemerintahan, hubungan sosial, dan sejenisnya; di dalamnya ada hubungan manusia dengan manusia lainnya sehingga tidak disebut ibadah.Al-Mawardi, dalam al-Hawi, memberikan batasan ibadah, iaitu apa saja yang dinyatakan untuk beribadah dengannya sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan menurut Imam al-Haramayn (al-Juwayni), ibadah (mahdhah) merupakan kerendahan dan ketundukan dengan ber-taqarrub kepada yang disembah, al-Ma'bud, yakni Allah SWT, melalui perbuatan yang diperintahkan oleh-Nya (al-Majmu', 1/373).
Ibadah itu bersifat tawqifiyah, ertinya ditentukan oleh Allah dan diambil apa adanya, tidak ada penambahan dan pengurangan, bahkan wajib kembali pada ketentuan nash dan dalil syariat. Ada sebahagian orang yang memutar-belitkan ibadah dan mengembangluaskan ketentuan ibadah (semisal zakat) dengan alasan menyesuaikan zaman. Ini ertinya mengubah tatacara dan ketentuan ibadah yang sudah ditentukan Allah. Ini tentu saja tidak boleh lagi disebut dengan ibadah.
Agar ibadah menjadi sah dan berpahala, maka pelaksanaannya harus memenuhi tiga ketentuan pokok:
(1) harus dilandasi iman
(2) harus ikhlas semata-mata karena Allah, tidak boleh dilakukan demi selain Allah
(3) harus dilakukan sesuai dengan tatacara dan ketentuan ibadah yang telah ditentukan Allah dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, tidak boleh ada tambahan atau pengurangan.
Hudzaifah r.a. pernah berkata, "Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh sahabat Rasulullah, janganlah engkau beribadah dengannya."
Imam Malik juga pernah berkata, "Apa yang hari itu (masa Nabi Saw) tidak termasuk dalam ketentuan agama, maka pada saat ini (masa Imam Malik) juga tidak termasuk dalam ketentuan agama. Beribadah kepada Allah SWT hanya dilakukan dengan apa yang Dia syariatkan."
Tanpa itu semua aktiviti ibadah tidak akan diterima dan tidak mendekatkan dirinya kepada Allah. Yang ada bukan ta'abbud ila Allah (beribadah kepada Allah), tetapi taba'ud `an Allâh (menjauh diri dari Allah).
Dinukil dari Samrah:
Betapa banyak tukang ibadah yang bodoh dan betapa banyak orang berilmu yang jahat. Kerana itu, berhati-hatilah kamu terhadap orang-orang bodoh dari kalangan tukang ahli ibadah dan terhadap orang-orang jahat dari kalangan ulama. Sesungguhnya keburukan mereka terhadap agama lebih besar daripada keburukan syaitan. (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, demikian dikatakan oleh al-Manawi, dalam Faydh al-QadIr, 4/17).
0 comments:
Post a Comment